Catatan Kritis Ibnu Khaldun tentang Diskursus Pembantaian Imam al-Husain
Pada artikel sebelumnya telah dibahas bagaimana Abu Bakar Ibnu al-Arabi, ulama terkenal dari madzhab Maliki, berpandangan bahwa Imam al-Husain mati terbunuh oleh syariat kakeknya sendiri dengan alasan bahwa al-Husain sendiri memberontak kepada pemerintahan yang sah dan memecah belah umat Islam. Dalam artikel tersebut juga disimpulkan bahwa Ibnu al-Arabi ini ulama yang sangat pro Bani Umayyah dan karenanya, pandangannya tentang terbunuhnya imam al-Husain ini tidak objektif dan klaimnya bisa dikatakan lebih mendukung Bani Umayyah ketimbang Bani Hasyim.
Pandangan Ibnu al-Arabi ini jelas menuai banyak kritikan dari para ulama lainnya. Salah satunya ialah ulama dari kalangan yang semadzhab fikih dengannya yang bernama Ibnu Khaldun, cendekiawan muslim abad pertengahan yang terkenal lewat bukunya al-Muqaddimah. Ibnu Khaldun dalam kritikannya tersebut mengatakan:
وقد غلط القاضي أبو بكر بن العربي المالكي في هذا فقال في كتابه الذي سماه بالعواصم من القواصم ما معناه أن الحسين قتل بشرع جده، وهو غلط حملته عليه الغفلة عن اشتراط الإمام العادل، ومن أعدل من الحسين في زمانه في إمامته وعدالته في قتال أهل الآراء.
“Dalam hal ini, al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi yang bermadzhab Maliki memiliki pandangan yang keliru dalam kitabnya yang berjudul al-Awashim min al-Qawashim. Ibnu al-Arabi mengatakan bahwa Imam al-Husain terbunuh berdasarkan syariat kakeknya. Jelas ini merupakan pandangan yang tidak benar karena kelalaianya mengenai syarat pemimpin yang adil (yang boleh membunuh pemberontak). Sementara itu, siapakah yang lebih adil di zamannya dari al-Husain di masanya dan di kepemimpinannya?”
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kesalahan Ibnu al-Arabi terletak kepada kelalaiannya tentang sifat adil yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin jika ingin membunuh para pemberontak. Sayangnya, Yazid ini bukan tipe pemimpin yang adil. Menariknya, kritik Ibnu Khaldun ini tidak sampai menjudge Ibnu al-Arabi sebagai penganut paham nashibiyyah (paham yang membenci Ali bin Abi Thalib dan keluarganya).
Selain mengkritik pandangan Ibnu al-Arabi, Ibnu Khaldun memiliki pandangan yang menarik terkait peristiwa pembantaian al-Husain cucu Nabi Muhammad SAW. Dalam al-Muqaddimah, beliau membahas alasan kenapa al-Husain memberontak terhadap Yazid bin Muawiyah ditambah dengan latar belakang yang membuatnya tertuntut untuk melakukan revolusi:
وأما الحسين فإنه لما ظهر فسق يزيد عند الكافة من أهل عصره بعثت شيعة أهل الكوفة للحسين أن يأتيهم فيقوموا بأمره. فرأى الحسين أن الخروج على يزيد متعين من أجل فسقه لا سيما من له القدرة عليه...
“Ketika Yazid bin Muawiyah melakukan banyak tindak kefasikan sehingga sangat terkenal di semua lapisan masayarakat di masanya, Imam al-Husain dikirimi surat oleh orang-orang Syiah Kufah agar datang kepada mereka dan menjadi pemimpin untuk melakukan aksi revolusi. Bagi al-Husain, melakukan pemberontakan terhadap Yazid wajib dilakukan karena kefasikannya, terutama bagi orang yang mampu melakukan itu.”
Tujuan al-Husain memberontak bukan karena motif politik tapi lebih karena motif keagamaan, yakni karena Yazid bin Muawiyah telah melakukan banyak tindak kefasikan, apalagi di masanya, Ka’bah yang merupakan tempat suci umat Islam dihancurkan dengan menjanik. Ini jelas merupakan tindak kefasikan. Tapi apakah al-Husain termasuk orang yang mampu menjalankan misi sucinya tersebut? Ibnu Khaldun mengatakan:
وظنها من نفسه بأهليته وشوكته. فأما الأهلية فكانت كما ظن وزيادة وأما الشوكة فغلط يرحمه الله فيها، لأن عصبية مضر كانت في قريش، وعصبية قريش في عبد مناف، وعصبية عبد مناف إنما كانت في بني أمية، تعرف ذلك لهم قريش وسائر الناس ولا ينكرونه..فقد تبين لك غلط الحسين، إلا أنه في أمر دنيوي لا يضر الغلط فيه. وأما الحكم الشرعي فلم يغلط فيه لأنه منوط بظنه، وكان ظنه القدرة عليه...
“Imam al-Husain berasumsi bahwa dirinya memiliki kecakapan, kemampuan dan kekuatan politik untuk itu. Jika dilihat dari segi kecakapan, al-Husain jelas masuk ke dalam kriteria pemimpin yang handal bahkan lebih. Namun jika dilihat dari segi kekuatan politik, beliau salah mengkalkulasi. Hal demikian karena kekuatan politik Mudar ada pada Quraisy, kekuatan politik Qurasih ada pada Abdu Manaf sedangkan kekuatan politik Abdu Manaf ada pada Bani Umayyah. Hal demikian sudah jamak diketahui bersama oleh suku-suku Quraysh dan suku-suku Arab lainnya…karena itu, jelaslah bahwa kalkulasi politik al-Husain sangat keliru. Namun kekeliruan ini terjadi pada urusan yang sifatnya duniawi jadi tidak memperburuk citra dirinya. Sedangkan jika dilihat dari syariat, Imam al-Husain tidak bersalah karena hukum yang ia putusakan tergantung kepada asumsinya (dzhan). Dalam ijtihadnya tersebut, ia merasa mampu menyudahi kefasikan Yazid…”
Ibnu Khaldun lewat kutipan di atas tidak sedang mengkritik al-Husain dari segi kecakapannya dalam memimpin dan memobilisasi masa atau dari segi kecakapan berpolitiknya. Bahkan penulis kitab al-Muqaddimah ini menegaskan bahwa al-Husain memiliki kemampuan lebih dalam hal itu. Hanya saja lewat kacamata ashabiyyah (akan kita bahas nanti teori ini), al-Husain kurang begitu memperhatikan kekuatan lawan politiknya.
Ini artinya legitimasi agama (melawan kefasikan penguasa) dan kecakapan politik individu saja tidak cukup untuk keberhasilan suatu revolusi. Harus ada sokongan yang kuat yang Ibnu Khaldun sebut sebagai ashabiyyah. Sayangnya, al-Husain tidak mempertimbangkan bahwa sebelum Islam dan beberapa dekade setelah wafatnya Nabi ashabiyyah Arab hanya terkumpul secara kuat dalam Bani Umayyah. Memang Bani Umayyah dan Bani Hasyim merupakan satu keturunan dari leluhur yang sama yang bernama Abdi Manaf namun dalam soal kekuatan politik, Bani Umayyah lah yang terkuat.
Jika demikian halnya pandangan al-Husain tentang perlunya melakukan revolusi terhadap Yazid bin Muawiyah, lantas bagaimana pandangan para sahabat lain?
وأما غير الحسين من الصحابة الذين كانوا بالحجاز ومع يزيد بالشام والعراق ومن التابعين لهم، فرأوا الخروج على يزيد، وإن كان فاسقا، لا يجوز لما ينشأ عنه من الهرج والدماء. فأقصروا عن ذلك ولم يتابعوا الحسين، ولا أنكروا عليه ولا أثموه، لأنه مجتهد وهو أسوة المجتهدين.
“…para sahabat selain al-Husain yang tinggal di Hijaz dan yang tinggal di Suriah dan Irak bersama Yazid berikut para tabi’in melihat bahwa pemberontakan terhadap Yazid meski ia fasik tetap tidak diperbolehkan sebab akan menimbulkan pertumpahan darah dan kerusuhan massal. Karena itu, mereka mengurungkan diri untuk tidak memberontak dan tidak mengikuti pandangan al-Husain. Kendati demikian, mereka tidak mengingkari atau bahkan menyalahkan Imam al-Husain. Sebab keputusan al-Husain ialah keputusan seorang mujtahid yang bisa benar dan bisa salah dan beliau merupakan teladan bagi para mujtahid.”
Di sini kita temukan bahwa para sahabat lain sebenarnya memiliki pandangan yang berbeda dengan al-Husain. Ibnu Khaldun sendiri menegaskan bahwa di kalangan sahabat, yang berpandangan mengenai perlunya melakukan pemberontakan hanya ada dua: Imam al-Husain dan Abdullah bin Az-Zubair. Ini artinya mayoritas sahabat Nabi memandang tidak perlu melakukan aksi revolusi bahkan tidak boleh karena dikhawatirkan akan memakan korban lebih banyak lagi.
Melalui beberapa kutipan ini, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Khaldun seolah menawarkan dua alternatif pembacaan terhadap fenomena revolusi dan syahidnya Imam al-Husain; pertama, pembacaan secara politik dan kedua, pembacaan secara agama. Bagi Ibnu Khaldun, Imam al-Husain, karena tidak mempertimbangkan kekuatan politik lawan dan kekuatan politik dirinnya sendiri, terjebak pada keputusan yang tergesa-gesa, yakni memenuhi panggilan orang-orang Syiah dari Kufah yang mengajaknya melakukan revolusi terhadap pemerintahan Yazid bin Muawiyah yang fasik dan zalim.
Jika melihat peta kekuatan lawan politik al-Husain saat itu, kita akan menemukan kekuatan yang lebih besar, ditambah lagi saat itu ashabiyyah Arab atau katakanlah suara politik terbanyak dipegang oleh Bani Umayyah di berbagai wilayah kekuasaan Islam (Hal demikian juga sebenarnya dipertegas oleh banyak sejarawan lainnya seperti al-Maqrizi dan al-Mas’udi).
Sementara itu, Imam al-Husain jika dilihat dari pengikut yang mengantarkannya ke Kufah hanya berjumlah 100 orang (sebagian riwayat mengatakan 73 orang). Jelas jika dilihat secara perimbangan kekuatan politik, dibanding Yazid bin Muawiyah dari Bani Umayyah, Imam al-Husain kalah telak. Apalagi syiah yang mendukungnya di Kufah masih belum jelas identitasnya, apakah memiliki loyalitas yang tinggi atau rendah terhadapnya. Namun di kemudian hari, saat terkepung di Karbala, Imam Husain menyadari betapa lemah pengikut yang loyal kepadanya dari orang-orang Kufah. Terbukti mereka tidak membantu ataupun menyambut sedikitpun kedatangan di padang Karbala, Kufah.
Hal demikian sebenarnya sudah sangat disadari oleh para sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Said al-Khudriy dan lain-lain. Mereka menasihati imam al-Husain agar tidak pergi ke Kufah karena takut terjadi apa-apa pada beliau. Ibnu Umar setelah mendengar berangkatnya Imam al-Husain ke Kufah langsung menyusulnya dalam dua atau tiga hari perjalanan untuk mendesak al-Husain agar mengagalkan niatnya. Sayangnya, cucu Nabi ini bersikeras menuruti hasrat politik orang-orang Syiah Kufah. Ibnu Umar sampai meneteskan air mata. Lalu terjadilah pembantaian. Sesuatu yang dikhawatirkan para sahabat besar saat itu.
Melalui pembacaan Ibnu Khaldun ini, jelaslah bahwa Imam al-Husain tidak membaca peta politik di sekelilingnya. Hal demikian semakin diperparah lagi dengan kalkulasi kekuatan politik al-Husain yang kurang begitu matang. Inilah yang dimaksud Ibnu Khaldun sebagai kekeliruan Imam al-Husain ketika berijtihad soal revolusi, ijtihad soal dunia.
Sementara itu, jika dilihat dari pembacaan secara agama, Imam al-Husain, kata Ibnu Khaldun, sangatlah benar. Ijtihad dalam agama mengimplikasikan asumsi atau dzhan. Sementara asumsi-nya Imam al-Husain ialah bahwa ia telah benar karena membela kebenaran dan menumpas pemimpin yang fasik dan lalim dan dalam hal ini, beliau, kata Ibnu Khaldun, mati syahid dalam membela kebenaran.
Lalu bagaimana dengan para sahabat yang berpandangan bahwa memberontak Yazid bin Muawiyah tidak diperbolehkan meski dia fasik? Ibnu Khaldun tidak menyalahkan pandangan para sahabat Nabi ini. Bahkan pandangan ini, kata Ibnu Khaldun, menjadi pandangan mayoritas di kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in saat itu. Pandangan imam Husain tentang perlunya memberontak dan pandangan sahabat mengenai ketidakbolehan memberontak semuanya dihasilkan dari ijtihad dan semuanya tidak berdosa.
Ibnu Khaldun mengibaratkan hal demikian dengan kasus minum arak yang terbuat dari perasan anggur. Bagi Mazhab Hanafi, hal demikian diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Namun bagi as-Syafi’I minum arak dari nabidz ini jelas diharamkan. Jika ada seorang hakim dari madzhab as-Syafi’I yang memutuskan untuk memberi hukuman had terhadap peminum nabidz dari kalangan Hanafi, maka baik hakim maupun peminum nabidz tidak boleh dikatakan salah satunya yang salah. Artinya mereka berdua sama-sama tidak berdosa. Mereka semua berangkat dari persepsi dan cara pandangnya masing-masing.
Dengan demikian, ringkasnya, Yazid bin Muawiyah memerangi al-Husain berangkat dari logika negara yang menginginkan stabilitas dan keamanan sedangkan al-Husain memerangi Yazid berangkat dari logika revolusi yang menginginkan perubahan total atas sistem yang ambruk. Soal sahabat Nabi yang mendukung Yazid bin Muawiyah, kata Ibnu Khaldun, tidak bisa disalahkan juga. Namun Ibnu Khaldun juga tidak menafikan kenyataan bahwa Yazid juga fasik.
Melalui penjelasan ini, apakah kita sedang dihadapkan pada sikap Ibnu Khaldun yang penuh ambivalen? Jelas tidak. Ibnu Khaldun melihat persoalan ini melalui sudut pandang masing-masing pihak yang sedang berkonflik; dari sudut pandang Yazid sebagai pemerintah yang sah dan dari sudut pandang Husain sebagai revolusioner, dan semua benar jika berangkat dari alasannya masing-masing.
Kalau begitu, kepada siapa Ibnu Khaldun harus memihak? Ini tentu pertanyaan tidak relevan.
Namun demikian, untuk menjawab itu, Ibnu Khaldun menyitir pandangan Ali bin Abi Thalib pasca perang Jamal dan perang Siffin soal siapa yang masuk neraka dan siapa yang masuk surga? apakah dari kelompok Ali ataukah lawan politiknya? Kata Imam Ali bin Abi Thalib, siapapun orangnya dan dari pihak manapun yang didukungnya asalkan memiliki hati yang bersih dalam membela kebenaran, maka ia masuk surga.
Di sini yang menjadi standar kebenaran dalam melihat pertikaian sahabat bagi Ibnu Khaldun (dan mungkin ulama ahlusunnah) ialah kebersihan hati tanpa melihat pihak siapa dan kelompok apa, baik dari kubu Ali atau kubu lawan politiknya, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Tentu ini jawaban yang cerdas dari Ibnu Khaldun yang berangkat dari semangat yang netral dan tanpa berpihak kepada kepentingan ideologis tertentu seperti yang dilakukan Abu Bakar Ibnu al-Arabi ketika melihat persoalan syahidnya Imam al-Husain.
Kalau prinsip ini digunakan untuk membaca peta konflik Yazid bin Muawiyah dan Imam al-Husain bin Ali yang masing-masingnya berangkat dari logika yang bisa dibenarkan: logika negara dan logika revolusi, berarti dua-duanya bisa benar?
Yang jelas, dalam prinsip Ali bin Abi Thalib yang dipegang teguh Ibnu Khaldun ini bukan pendapat, tindakan, aksi atau perbuatan apa yang dinilai sebagai kendali kebenaran, tetapi niat yang tulus yang muncul dari hati yang bersihlah yang menentukan kebenaran. Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy