Relasi Ashabiyyah dan Khilafah dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (Bagian II)

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa Ibnu Khaldun menghindari pembahasan yang sering dilakukan oleh ahli kalam dan ahli fikih soal khilafah. Dalam pandangannya, seolah pembahasan khilafah dalam perspektif kalam dan fikih justru tidak menukik pada inti persoalan.

Teori-teori khilafah dalam kitab-kitab fikih dan kalam hanya mengulas apa yang seharusnya bukan membahas apa yang adanya. Ibnu Khaldun jelas menghindari pembahasan pinggiran seperti ini. Ia mencoba membahas khilafah dari perspektif ashabiyyah.

Ibnu Khaldun dari sini kemudian menyebut bahwa sistem khilafah sebenarnya ditegakkan di atas dasar ashabiyyah dan pergantian sistem khilafah menjadi sistem kerajaan juga tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang ashabiyyah.

Walaupun Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi yang jelas tentang makna Ashabiyyah, namun Muhammad Abid al-Jabiri dalam bukunya yang sangat komperehensif tentang Ibnu Khaldun, Fikr Ibnu Khaldun: al-Ashabiyyah wa Ad-Daulah mendefinisikan Ashabiyyah sebagai: “Ikatan sosial-psikologis yang secara sadar dan tak sadar mengikat individu dalam suatu komunitas tertentu dan ikatan ini didasarkan kepada kedekatan secara material dan non-material secara berkesinambungan. Ikatan ini makin menguat ketika ada ancaman dari luar yang mengancam individu dalam komunitas atau yang mengancam keberlanjutan komunitas secara langsung.”

Khilafah dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan produk perkembangan masyarakat Arab Islam yang sangat khas di masanya. Khilafah berubah menjadi sistem kerajaan juga akibat dari perkembangan kondisi dan situasi yang terjadi dalam masyarakat Arab Islam itu. Jadi sistem khilafah muncul berdasarkan prasyarat objektif yang memungkinkannya untuk muncul.

Sebelum lahirnya Islam, kabilah-kabilah Arab hidup penuh dengan kekerasan, perpecahan dan keprimitifan. Kabilah-kabilah Arab belum mampu membentuk negara sendiri. Bahkan kabilah-kabilah Arab tersebut hidup secara terpisah dan kadang saling berperang antara satu kabilah dengan kabilah yang lainnya. Yang kuat malah menindas yang lemah. Namun ketika Islam datang, kehidupan kabilah-kabilah Arab berubah secara total dan drastis.

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa orang-orang Arab sebelum kemunculan Islam terbiasa makan kalajengking, kelelawar, usus unta dan makanan-makanan menjijikan lainnya. Dengan kata-kata lain, Arab pra Islam merupakan bangsa yang sangat terbelakang sampai makanan enak pun hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan yang sangat terbatas. Sedangkan pada umumnya, masyarakat Arab hanya memakan makanan yang sebenarnya tidak layak. Artinya penghasilan ekonomi di masa itu sangatlah sedikit.

Namun setelah Islam datang, kabilah-kabilah Arab yang saling perang ini dapat disatukan sehingga muncul ashabiyyah Arab secara kuat dan menyeluruh dan ashabiyyah ini semakin solid berkat ajaran Islam dan janji kemenangannya di masa mendatang. Ketika kabilah-kabilah Arab dapat disatukan berkat kemunculan agama Islam, mereka terdorong untuk mengekspansi bangsa Persia dan bangsa Romawi dan mampu mengalahkan mereka dalam waktu yang relatif singkat. Setelah menguasai wilayah Persia dan beberapa wilayah Romawi, kabilah-kabilah Arab lama kelamaan menjadi kaya raya. Sahabat-sahabat Nabi dan keturunannya menjadi aristokrat.

Data kekayaan para sahabat seperti yang dikutip Ibnu Khaldun dari Muruj ad-Dzahab karya al-Mas’udi semakin mempertegas kenyataan bahwa mereka kaya atau lebih kaya ketika Islam mulai melebarkan sayap-sayap ekspansinya ke negeri terjauh. Satu orang yang ikut berperang dengan menggunakan kuda mendapat ghanimah sebesar tiga puluh ribu emas. Dengan kekayaan yang melimpah ini, tentu gaya hidup kabilah-kabilah Arab berubah secara drastis.

Kabilah-kabilah Arab - yang asalnya terpecah belah dan hidup serba kekurangan dan yang pada tahap selanjutnya mengalami peningkatan taraf hidup setelah disatukan ashabiyyahnya oleh Islam - tentu membutuhkan didirikannya intitusi dan lembaga. Sementara itu, puncak terpenting dari institusi dan lembaga tersebut menurut Ibnu Khaldun ialah berkumpulnya semangat persatuan kabilah-kabilah Arab. Dalam semangat persatuan tersebut, bercampur baurlah fanatisme nasab Arab dengan fanatisme keagamaan lalu terbentuklah negara.

Fanatisme keagamaan ini pada tahap selanjutnya menghidupkan kembali agama Ibrahim, leluhur bangsa Arab. Dengan menghidupkan kembali ajaran Ibrahim dan menyadarkan kembali bahwa mereka berasal dari satu rumpun bangsa yang sama, kabilah-kabilah Arab pada tahap selanjutnya dapat mendirikan negara besar yang menandingi kemegahan negara kerajaan Persia dan imperium Romawi.

Jadi kedatangan Islam membuat bangsa Arab bertransformasi dari kondisi tidak ada Negara (alla daulah) menjadi kondisi bernegara (daulah). Kondisi ketiadaan negara berarti kondisi dimana masyarakat Arab saat itu tidak memiliki aturan-aturan sehingga menimbulkan kekacauan dalam tatanan sosial. Mereka saling perang. Namun dengan dibentuknya negara, masyarakat Arab dapat bersatu dan tunduk kepada aturan-aturan agama yang menjadi pemersatunya.

Ashabiyyah Arab seperti ini tentu lahir dan digerakkan oleh hukum sosial (taba’il al-umran) tertentu. Hukum inilah yang menuntut didirikannya negara atau pemerintahan, atau sebut saja tabail al-umran ini menuntut kehadiran otoritas politik dan agama yang dapat mengatur barisan umat Islam dan mendorong mereka untuk berjihad. Kebutuhan untuk mendirikan institusi negara ini sangatlah mendesak terlebih pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pasca wafatnya Nabi, persoalan pertama yang dihadapi umat Islam saat itu ialah persoalan khalifah, pengganti Nabi yang mampu mengurus dunia dan menjaga agama secara sekaligus (siyasat ad-dunya wa hirasat ad-din).

Persoalan pengganti nabi dalam urusan agama dan politik ini dapat diselesaikan tanpa mengalami konflik internal yang akut di tubuh Negara yang baru berdiri tersebut. Bagi Ibnu Khaldun, hal demikian terjadi karena pengaruh agama masih sangat kuat. Kata Ibnu Khaldun, berdirinya khilafah tidak bisa dilepas dari bayang-bayang mukjizat. Karena itu, di masa awal-awal berdirinya sistem khilafah, pengaruh ashabiyyah tidak terlalu kuat dan bahkan ashabiyyah dapat ditundukkan di bawah kekuatan agama. Jadi khilafah yang didasarkan kepada ashabiyyah tidak terlalu berlaku untuk masa awal-awal khilafah, yakni masa Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab.

Kemunculan sistem khilafah, bagi Ibnu Khaldun sama saja dengan peristiwa penaklukan-penaklukan ke negeri terjauh serta keadilan dan kesetaraan  yag muncul di masa awal Islam. Semua itu dalam pandangan Ibnu Khaldun tidak akan bisa dilepaskan dari mukjizat dan peristiwa di luar kebiasaan. Artinya Ibnu Khaldun mengembalikan peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di masa-masa awal Islam ini kepada mukjizat dan bukan kepada  hukum sosial yang mengaturnya.

Kendati demikian, setelah berakhir masa awal-awal Islam ini, semua peristiwa sosial dikembalikan lagi ke hukum asalnya, yakni hukum sosial, atau dalam bahasa Ibnu Khaldun, hukum sosial ini disebut sebagai taba’i al-umran, karakteristik peradaban atau hukum-hukum sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Umran dalam kitab al-Muqaddimah tidak selalu berarti peradaban namun bisa juga masyarakat atau kumpulan manusia (al-ijtima wat tasakun). Jadi pasca awal Islam ini, mukjizat sudah tidak berlaku lagi, dan yang berlaku ialah ashabiyyah. Mukijizat hanya berlaku bagi masa awal-awal Islam dimana para sahabat saat itu masih melihat malaikat, turunya wahyu dari langit dan seterusnya.

Ketika semua peristiwa yang terjadi di awal kemunculan Islam dikembalikan Ibnu Khaldun kepada mukjizat dan peristiwa luar biasa, lalu apa relevansinya ashabiyyah di masa ini? Apakah Ibnu Khaldun dengan sendirinya mengabaikan hukum sebab akibat dalam penjelasannya tentang masa kenabian dan masa khilafah? Apa juga kaitan ashabiyyah dengan persyaratan khalifah harus dari kabilah quraisy? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita jawab dalam tulisan selanjutnya tentang Ibnu Khaldun.

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved