Apa dan Bagaimana Konsep Wahyu dalam Kristen?
Berbeda dari Islam dan Yahudi, wahyu dalam Kristen terfokus kepada sosok Yesus. Yesus lahir dan dibesarkan di kalangan Yahudi. Ketika Yesus diutus sebagai sang Mesiah, di kalangan orang-orang Yahudi ada yang beriman dan ada pula yang ingkar.
Ketika kekristenan ditolak di kalangan Yahudi saat itu, ada seorang tokoh Yahudi yang pada awalnya sangat memusuhi Yesus dan para pengikutnya namun kemudian memeluk ajaran kekristenan.
Tokoh itu bernama Paulus sang Rasul. Paulus ditugaskan untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekristenan di luar kalangan Yahudi, atau sebut saja masyarakat pagan. Paulus dalam hal ini banyak berdebat dengan “kaum pagan” tersebut.
Di kalangan lawan polemis Paulus yang berasal dari kaum pagan ada pula yang menjadi pengikut ajaran-ajaran filsafat Yunani. Sebagai konsekwensinya, Paulus pun pada tahap selanjutnya terpengaruh oleh filsafat Yunani dan kemudian menahbiskan ajaran trinitas, ajaran yang pada nantinya dianggap sebagai dogma resmi bagi kalangan Kristen.
Sedangkan konsep-konsep lain yang lahir dari tubuh kekristenan awal di luar ajaran Paulus ini dianggap sebagai heretik atau bid’ah atau mungkin bisa dicap sebagai sesat.
Dalam konsepsi Yahudi, wahyu ialah keluarnya Allah dari kesendiriannya. Artinya hanya ada Allah sendiri dan tidak ada yang bersama-Nya lalu karena ingin dikenal dan diketahui eksistensinya Ia ciptakan alam semesta berikut isinya.
Allah tetap dalam keesaannya atau kesendirian-Nya saat alam semesta dan seisinya telah tercipta. Dalam konsepsi Yahudi, Allah berada di atas alam dan tidak bisa dijangkau oleh makhluknya. Meski dalam perjanjian lama banyak sekali ayat-ayat yang berisi seolah Allah berjisim dan mengambil tempat, namun seperti yang dijelaskan oleh seorang filosof Yahudi terkemuka, Musa bin Maymun, penulis kitab Dilalat al-Hairin yang terkenal, ayat-ayat ini harus dipahami sebagai ayat-ayat metaforis.
Sedangkan dalam konsepsi Kristen, terutama dengan doktrin trinitasnya, Allah memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk tubuh; Allah mewujud nyata dalam tubuh Yesus, sang Putera, yang dalam doktrin trinitas diyakini sebagai tidak memiliki Bapa dan bahkan Putera ini ialah Allah itu sendiri (tentu Putera di sini harus dipahami sebagai metafor bagi firman Allah).
Dalam perjanjian lama kita lihat bahwa Allah memanifestasikan dirinya di hadapan makhluknya dalam berbagai bentuk dan kesempatan, yang kemudian dalam keyakinan Kristen mencapai tahap kesempurnaan manifestasinya dalam diri Yesus.
Dengan kata-kata lain, dalam pandangan kekristenan Yesus merupakan perwujudan sempurna dari firman Allah baik sebagai objek maupun sebagai sumber secara sekaligus (ini mirip seperti keyakinan Muktazilah soal dzat dan sifat, as-sifat ain adz-dzat “sifat itu dzat”).
Wahyu yang mengambil bentuk Yesus ini bukan sekedar ilham, mimpi atau sekedar kalam seperti yang dialami oleh nabi-nabi Bani Israel. Wahyu dalam tradisi kekristenan terpusat pada konsep bagaimana Allah mengambil bentuk dan tempat untuk dirinya dalam diri Yesus.
Secara ringkasnya, wahyu dalam tradisi Kristen ialah soal bagaimana Allah mewujud nyata dalam sosok bernama Yesus. Wahyu dalam Kristen hanya terfokus kepada Yesus Kristus ini, dan bukan pada Injil. Proses mewujudnya firman Allah dalam bentuk manusia ini hampir mirip dengan konsep-konsep sufistik seperti al-hulul dan al-ittihad.
Dalam sejarahnya, konsep-konsep ini, kata Ibnu Khaldun, lahir dari tradisi Syiah Ismailiyyah. Lalu apakah konsep-konsep ini diadopsi dari Kristen? Saya kira tidak begitu. Baik Kristen maupun Syiah Ismailiyyah, terutama Syiah Ghulat yang berkeyakinan bahwa Allah memanifestasikan diri-Nya dalam tubuh imam-imam Syiah, masing-masingnya mendapat inspirasinya dari satu sumber yang sama, yakni ajaran-ajaran filsafat neo-platonisme dan filsafat keagamaan Hermes. Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy