Benarkah Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945?
Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq, MA
Tepatnya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang legendaris, yang secara historis diakui sebagai rumusan awal dari Pancasila.
Selesai penyampaian pidato tersebut, Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman, langsung membentuk panitia kecil beranggotakan 8 (delapan) orang, kemudian direvisi menjadi 9 (sembilan) orang oleh Bung Karno sendiri, dengan tugas menyusun rumusan Dasar Negara dengan mengacu pada pidato Bung Karno tersebut.
Panitia 9 yang dipimpin langsung Bung Kano itulah yang merumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Kemudian, setelah mengalami revisi, Pancasila dengan sila pertama Ketuhnan YME disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga dipimpin oleh Bung Karno. Jadi mulai dari pidato, kemudian jadi Piagam Jakarta, sampai pada pengesahan 18 Agustus 1945, semua atas kepeloporan Bung Karno.
Dinamika perubahan sistematika urutan sila-sila Pancasila itu tidak lepas dari kearifan Bung Karno bersama para pendiri negara yang diputuskan secara mufakat dan demokratis.
De-soekarnoisasi
Sebagai dampak de-Soekarnoisasi di era Orde Baru, muncullah pihak tertentu yang menolak tanggal 1 Juni itu sebagai hari lahir Pancasila.
Alasannya, rumusan Pancasila 1 Juni 1945, menempatkan sila Ketuhanan pada urutan kelima, sedang rumusan Pancasila yang disahkan pada tanggal 17 Agustus 1945 justru menempatkan sila tersebut pada urutan pertama.
Dengan alasan seperti itulah maka Orde Baru, pernah melarang peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Tapi untuk membuktikan bahwa apa betul Pancasila berasal dari gagasan Bung Karno, maka Presiden Soeharto bersama Dewan Nasional Angkatan 45 pada tanggal 10 Januari 1975 membentuk Panitia Lima yang terdiri atas Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Soenario, dan Abdul Gafar Pringgodigdo, untuk meneliti asal usul Pancasila.
Nama-nama tersebut termasuk Pringgodigdo sebagai notulis, merupakan saksi hidup bagi jalannya sidang BPUPKI.
Laporan Panitia Lima tersebut disampaikan kepada Presiden Soeharto oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh Jenderal Soerono pada tanggal 23 Juni 1975, yang menjelaskan bahwa asal-usul Pancasila memang terbukti berawal dari pidato Bung Karno di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
Jadi seharusnya perdebatan soal ini diakhiri, karena sejak zaman Soeharto saja sudah clear dengan bukti-bukti otentik bahwa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 itulah tonggak sejarah lahirnya Pancasila.
Persoalannya, mengapa Bung Karno menempatkan sila Kebangsaan pada urutan pertama dasar negara yang diusulkannya itu, bukan sila Ketuhanan?.
Sudah sekian lama soal ini menyimpan teka-teki untuk kita semua hingga sekarang. Bahkan tidak sedikit dari kalangan sejarahwan, akademisi, politisi dan tokoh ormas, selalu saja salah paham, dan mempersalahkan Bung Karno, menilainya sebagai pemikir sekuler yang tidak mengindahkan nilai-nilai religius yang tumbuh di kalangan bangsa Indonesia.
Betulkah Bung Karno berdosa sekuler lantaran beliau menempatkan Kebangsaan pada sila pertama dan Ketuhanan YME sila terakhir?
Bagi mereka yang berpaham normatif tekstualis dan memandang sila Ketuhanan itu sangat sakral, pastilah Bung Karno dianggapnya sekuler.
Mereka menghendaki Ketuhanan YME itu sebagai sila pertama dengan alasan bahwa Ketuhanan YME adalah primakausa bagi sila-sila lainnya.
Paham seperti ini dianut secara luas, terutama dikalangan institusi keagamaan. Hal itu semakin mendapat tempat di era Orde Baru, seiring dengan upaya de-Soekarnoisasi secara sistematis dalam segala hal, termasuk keinginan menghilangkan jejak Bung Karno dalam sejarah lahirnya Pancasila.
Mereka berupaya menunjukkan bahwa penggali Pancasila sebenarnya bukanlah Bung Karno. Bahkan ada yang menilai pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu mengandung kesesatan teologis, karena menempatkan sila Ketuhanan pada sila terakhir bukan pada sila pertama.
Untuk hal ini, banyak yang tidak menyadari bahwa hakekat Negara kita adalah negara kebangsaan (nation state), bukan Negara Agama. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah dibangun atas kesamaan sebagai satu bangsa Indonesia. Bukan dibangun atas dasar kesamaan agama atau satu keyakinan pada Tuhan YME.
Pikiran Bung Karno yang paling mendasar ialah bagaimana menyatukan masyarakat majemuk Indonesia merasa sebagai satu bangsa. Karena itulah Bung Karno menjadikan Kebangsaan (Persatuan Indonesia) sebagai landasan pokok bagi NKRI, sampai ia menempatkannya pada sila pertama.
Adapun sila Ketuhanan merupakan pernyataan bahwa segenap bangsa Indonesia harus bertuhan sesuai agamanya masing-masing, bukan berarti harus bersatu dalam satu keyakinan agama.
Bagi Bung Karno, mengagungkan Tuhan tidak harus selalu menempatkan nama-Nya di awal kalimat. Bukankah dalam teks suci Al-Quran dan hadits sendiri, nama Tuhan kadang ditempatkan di akhir kalimat. Perhatikan bunyi teks ayat berikut: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, kehidupanku dan kematianku, semuanya kuserahkan kepada Allah pemelihara alam semesta."(Q.S. al-An`am [6]: 162). Ini adalah bacaan rutin umat Islam ketika bershalat.
Lagi pula, dalam akidah Islam, tidak ada ketentuan menempatkan nama Tuhan di awal kalimat, sebab bagi Tuhan semua tempat dan arah adalah kepunyaan-Nya, Dia berada di awal juga berada di akhir sebagaimana firman-Nya: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”(al-Hadid [57]: 3). Dalam hal ini Bung Karno memilih yang akhir-Nya, bukan awal-Nya
Dengan menelaah dan menghayati teks-teks suci di atas maka dari segi aqidah, Bung Karno tidak sekuler dan tidak keliru sama sekali ketika menempatkan sila Ketuhanan YME pada urutan terakhir dari Pancasila. Sementara dari sudut filsafat, justru Bung Karno menjadikan sila Ketuhanan sebagai tujuan hidup dalam berbangsa, final cause, atau ultimate cause. Atau tegasnya, Tuhan dipandang sebagai tujuan akhir dari pengabdian warganegara bagi bangsa dan negaranya.
Filosofi tersebut sangat sejalan dengan filosofi isra’ mi`raj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Bahwa sebelum beliau sampai menghadap Allah SWT di alam uluhiyah, beliau terlebih dahulu mengalami interaksi sosial di muka bumi (alam basyariah). Dalam interaksi sosial ini, Nabi SAW berhadapan dengan masalah kemasyarakatan yang oleh Bung Karno dikemasnya menjadi kebangsaan. Maka dalam proses isra’ mi`raj itu, interaksi sosial kemasyarakatan (kebangsaan) mendahului interaksi spiritual di hadapan Allah SWT.
Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Perlu pula diketahui bahwa yang dimaksud dengan sila Ketuhanan YME sebenarnya bukanlah formalisasi agama, sebab dari segi formalnya, agama di Indonesia beragam, lebih dari satu, sehingga sangat sulit mempersatukan bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam kesamaan agama. Atau tegasnya, sila Ketuhanan YME bukan menjadi landasan bersatunya agama-agama, melainkan menjadi landasan kedamaian umat beragama sebagai satu bangsa: yaitu bangsa Indonesia. Sekaligus juga menunjukkan bahwa Negara Kebangsaan Indonesia adalah rumah bersama bagi umat beragama, yang di dalamnya mereka punya kebebasan menjalankan agamanya menurut keyakinannya masing-masing
Dalam pada itulah negara berfungsi melindungi dan mengayomi serta memfasilitasi umat beragama yang nota bene merupakan warganya, untuk menjalankan agamanya dengan baik. Dalam hal ini negara berurusan dengan warganya (umat beragama), agar menjalankan agamanya secara beradab dan toleran. Negara tidak berurusan dengan hakekat agama-agama yang merupakan kewenangan Tuhan sesuai keyakinan masing-masing umat beragama.
Singkatnya, karena inti persoalannya ialah bentuk Negara Kebangsaan, maka Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945 menyebut kebangsaan sebagai dasar utama pembentukan negara. Sila Kebangsaan itulah yang mempersatukan rakyat Indonesia yang beragam agamanya dari Sabang sampai Merauke, sejak dahulu kala hingga zaman kemerdekaan sekarang.
Dengan kata lain, di atas keragaman agama, etnis, budaya dan bahasa, rakyat Indonesia menikmati kebersamaannya sebagai Bangsa Indonesia.
Maka penekanan sila kebangsaan oleh Bung Karno pada pidatonya itu sama sekali bukan pelecehan agama, melainkan merupakan langkah strategis yang realistis, sesuai kondisi sosio historis bangsa, bahwa hanya dengan persatuan kebangsaanlah rakyat Indonesia dapat bersatu untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka. Wallahu a’lam bisshowab.