Gagal Koalisi, Salah Istana? Begini Kata UU Pemilu 2017 terkait Koalisi

Menarik sekali mencermati pidato Presiden Jokowi pada HUT ke-16 Hanura pada tanggal 21 Desember 2022. Dalam pidato tersebut, Jokowi menyampaikan adanya beberapa pihak tertentu yang menuduh Istana sebagai biang kerok kegagalan suatu parpol atau tokoh tertentu dalam mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Setidaknya dari apa disampaikan Jokowi dalam pidatonya tersebut ada dua hal spesifik yang dapat kita amati: pertama, gagal koalisi dan kedua, gagal nyapres yang semuanya itu tuduhannya disematkan kepada istana dan kekuatan-kekuatan besar di belakangnya. Dua poin ini menarik untuk kita bahas lebih jauh karena masih dalam kaitan erat sehubungan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

Jika kita mengamati UU Pemilu 2017 tersebut, ada satu Pasal 221 yang berbunyi demikian: “Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”. Perlu diingat bahwa dalam UU Pasal 221 ini, ada beberapa kata yang perlu digarisbawahi yakni satu pasangan calon, satu parpol atau gabungan parpol.

Ketiga kata ini perlu kita ingat untuk dapat memahami Pasal 222 yang menyebutkan demikian: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Kedua pasal ini berbicara tentang amanat kepada parpol untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Amanat UU Pemilu 2017 Pasal 221 dan 222 ini dibebankan kepada 9 parpol di DPR. Melihat redaksinya, amanat UU ini mengimplikasikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan: pertama, soal hak partai politik untuk menentukan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dan kedua, soal kewajiban partai politik untuk menentukan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kewajiban ini, bila tidak dipenuhi partai politik pengemban amanat, konsekwensinya cukup serius, yakni mereka tidak bisa mengikuti Pemilu berikutnya. Sayangnya banyak politisi atau pengamat politik, yang entah disengaja atau tidak, tidak membahas konsekwensi ini. Mereka hanya bermain di soal fantasi konspiratif adanya peran istana atau kekuatan besar lainnya yang menghalangi koalisi partai tertentu atau paslon tertentu.

Pada Pasal 234 ayat 5 UU Pemilu 2017, konsekwensi bagi parpol yang memenuhi syarat ikut serta dalam pemilu namun tidak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden disebutkan secara jelas: “Dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti Pemilu berikutnya.” Kata ‘yang memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon’ artinya ialah partai-partai yang memiliki hak Presidential Threshold baik secara sendirian maupun secara gabungan.

Kita tahu, saat ini, satu-satunya parpol yang memenuhi syarat Presidential Threshold 20 % hanyalah PDIP. Dalam hal ini, PDIP bisa secara sendirian atau secara gabungan memiliki hak untuk mengajukan dan menentukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan partai-partai lainnya belum memenuhi syarat PT yang diminta UU Pemilu 2017. Partai politik yang belum memenuhi ambang batas yang diminta masing-masingnya wajib berkoalisi dengan partai lain agar mencapai ambang batas 20% sebagai syarat keikutsertaan dalam Pemilu.

Pendek kata, kesembilan parpol di DPR, baik yang sudah memenuhi ambang batas 20% kursi di DPR maupun yang tidak memenuhi ambang batas tersebut pada Pemilu sebelumnya, wajib memenuhi amanat UU ini dengan mengajukan satu pasangan calon presiden dan wakil presiden baik secara sendirian bagi yang sudah memenuhi ambang batas maupun secara berkoalisi bagi yang jumlah kursinya belum memenuhi ambang batas 20%.

Demi memenuhi amanat UU ini, komposisi kerjasama politik atau yang sering diistilahkan dengan koalisi partai yang ada saat ini setidaknya mencakup empat poros berikut ini: Pertama, PDIP yang bisa mengajukan paslon sendirian karena sudah mencapai ambang batas 20% kursi di DPR dengan jumlah 22%; kedua, Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB yang terdiri dari Golkar (14.78 %), PAN (7.65%) dan PPP (3.30%) yang masing-masingnya di bawah syarat 20% Presidential Threshold sehingga harus berkoalisi sehingga totalnya mencukupi Presidential Threshold yaitu 25.74%; ketiga, Koalisi Indonesia Raya atau KIR yang terdiri dari Gerindra (13.57%) dan PKB (10.09%) yang masing-masingnya masih di bawah Presidential Threshold sehingga harus berkoalisi agar memenuhi PT, yakni 23.65% total suara. Ketentuan yang sama juga berlaku bagi Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Demokrat (9.39%), PKS (8.70%) dan Nasdem (10.26%).

Bila partai-partai ini baik sendirian maupun gabungan tidak mengajukan satu pasangan calon, sanksinya cukup mengerikan. Seperti yang tercantum pada Pasal 235 ayat 5 sanksinya ialah tidak bisa mengikuti Pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2029. Sedangkan definisi Pemilu pada Bab I terkait pengertian Istilah, Pasal 1 ayat 1 dari UUD Pemilu 2017 berbunyi demikian: “Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah….”

Melalui aturan ini, pada Pemilu 2029, Parpol yang terkena sanksi karena tidak menentukan pasangan calonnya pada 2024 ini, tidak boleh mencalonkan kadernya sebagai (1) Presiden/Wakil Presiden; (2) Anggota DPR RI; (3) Anggota DPRD kecuali jika kadernya keluar dari partai politik terkait dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah yang memang diperuntukan bagi tokoh atau politisi lokal non-parpol. Suatu parpol yang tidak boleh ikut di kontestasi Pilpres, Pileg dan Pilkada sama saja seperti kita diizinkan membuka bisnis catering di Indonesia namun dilarang menjual menu cateringnya. Ini jelas sanksi yang cukup merugikan.

Setelah kita memahami hak, kewajiban dan sanksi bagi partai politik pengemban amanat UU Pemilu, ada Pasal lagi yang menarik untuk dicermati lebih jauh. Pasal itu ialah Pasal 229 yang menjelaskan secara lebih eksplisit bahwa koalisi partai merupakan koalisi yang saling mengunci atau interlokcing. Dalam pasal 229 tersebut terbaca demikian: “KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: a. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau b. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.”

Dalam membaca poin b ini kita perlu hati-hati dalam memaknainya. Perhatikan bahwa kalimatnya bukan ‘tidak dapat mendaftarkan paslon mereka’ tetapi berbunyi ‘tidak dapat mendaftarkan paslon’. Kalimat “tidak dapat mendaftarkan paslon mereka” dan kalimat ‘tidak dapat mendaftarkan paslon’ menarasikan dua hal yang berbeda. Untuk memperjelas lebih jauh, kita perlu ilustrasikan poin b ini dalam contoh berikut: sebagai misal, Koalisi Perubahan yang terdiri dari Nasdem, Demokrat dan PKS mengalami deadlock dalam perundingan pengusungan wakil presiden untuk Anies Baswedan.

Karena gagal berkoalisi, Nasdem akhirnya menyeberang ke Koalisi Indonesia Raya atau Koalisi Indonesia Bersatu. Akibatnya, Koalisi Perubahan yang tersisa, Partai Demokrat (9.39%) dan PKS (8.70%), tidak bisa menentukan pasangan calon karena di bawah Presidential Threshold (yaitu, 18.09%). Menurut UU Pemilu Pasal 229 di atas, Koalisi KIR dan KIB akan ditolak KPU karena menyebabkan Koalisi Perubahan tidak bisa mendaftarkan pasangan calonnya.

Melihat fenomena ini, jelas bahwa partai-partai politik yang masih di bawah Presidential Threshold seperti yang masing-masingnya tergabung dalam KIB, KIR dan KP saling mengunci atau interlocking, yang jika digeser salah satu, yang lain  akan kena imbasnya. Jadi memang sangat sulit untuk mengotak-atik kerjasama partai politik ini karena cukup kompleks. Karenanya, lebih enak menuduh istana di balik deadlock sebuah koalisi partai daripada njelimet memahami dan mematuhi amanat UU Pemilu 2017.

 

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved