Abdul Karim al-Jili dan Apresiasi terhadap Doktrin Trinitas Kristen dalam Kitab al-Insan al-Kamil (Part I)
Salah satu perseteruan doktrinal yang cukup alot antara Kristen dan Islam dari dulu sampai sekarang ialah soal doktrin trinitas yang dianut oleh ajaran resmi Gereja. Doktrin ini mendefinisikan bahwa Allah ialah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan pendefinisian seperti ini, umat Islam menyebutnya sebagai bentuk kemusyrikan yang nyata karena membagi zat Tuhan ke dalam tiga oknum.
Sampai saat ini, banyak tafsir yang dikemukakan terhadap doktrin ini baik dari kalangan teolog Kristen sendiri maupun dari kalangan teolog Islam. Menariknya, di kalangan umat Islam sendiri yang konon menyebut doktrin ini sebagai syirik, masih ada segolongan ulama yang mencoba menafsirkannya sebagai masih dalam koridor tauhid.
Ibnu Arabi termasuk dari sekian ulama sufi yang menegaskan ketauhidan doktrin trinitas. Bahkan dalam salah satu kumpulan puisinya, Tarjuman al-Asywaq, Ibnu Arabi menegaskan keyakinan trinitas ini sebagai doktrin kepercayaan terhadap Allah Yang Maha Esa.
Ajaran-ajaran Ibnu Arabi ini kemudian berpengaruh cukup besar bagi salah satu pengikutnya, yakni Abdul Karim al-Jili. Dalam karyanya yang cukup terkenal, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifatil Awa’il wal Awakhir, Abdul Karim al-Jili mengikuti garis pemikiran Ibnu Arabi yang menegaskan ketauhidan doktrin trinitas.
Meski mengikuti pandangan guru dalam kasyafnya ini, al-Jili tidak serta merta mengikutinya secara harfiah, bahkan terkait doktrin trinitas ini beliau memiliki pandangan yang cukup unik. Kita akan coba mengulas pandangan al-Jili ini secara ringkas. Penjelasannya ini dapat kita temukan dalam al-Insan al-Kamil fi Ma’rifatil Awa’il wal Awakhir halaman 128-130 dalam bab ke-38 dengan judul Fi al-Injil.
Pembahasan tentang doktrin trinitas ini mula-mula diawali dengan pandangan al-Jili yang mengatakan bahwa Injil merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Yesus Kristus dengan menggunakan bahasa Suryani dan dibaca dengan menggunakan tujuh belas bahasa seperti halnya Alquran yang dibaca berdasarkan tujuh huruf.
Al-Jili mengatakan bahwa trinitas merupakan kepercayaan bahwa Allah itu Bapa, Ibu dan Putera. Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan doktrin resmi Gereja. Ini karena dalam doktrin resmi, Allah itu didefinisikan sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kemungkinan, kepercayaan ini diadopsi al-Jili dari Kristen yang tinggal di wilayah Hijaz seperti Najran dan lain-lain. Bagi Kristen Najran, Bapa, Bunda Maria dan Putera itu Tuhan.
Kepercayaan seperti ini dapat kita lihat detilnya dalam perdebatan Nabi dengan mereka di masjid Nabawi pada tahun delegasi (amul wufud) dan riwayatnya dapat kita temukan secara jelas dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir ayatin Min ayil Quran. Tentunya kepercayaan seperti ini bukan doktrin trinitas yang resmi bahkan kepercayaan seperti ini menjurus ke arah triteisme. Dalam doktrin yang resmi, Bunda Maria bukanlah tuhan.
Menurut al-Jili, umat Kristiani telah keliru karena telah memahami bahwa Allah itu Bapa, Ibu dan Putera secara harfiah dan bukan dengan pemahaman yang mendalam. Kata al-Jili, ayat-ayat Injil yang dimulai dengan frase “dengan menyebut nama Bapa, Ibu dan Putera” (bismil Ab wal Umm wal Ibn) dipahami oleh umat Kristen seperti apa adanya dan bukan sebagai metafor dan karena itu mereka menakwilkannya secara tidak benar.
Bapa, bagi al-Jili sebenarnya tidak lain hanya metafor bagi nama Allah (ismullah) dan Ibu merupakan metafor bagi inti zat (kunhu az-zat) yang sering disebut sebagai esensi hakikat (mahiyat al-haqaiq). Sementara itu, Putera, bagi al-Jili, merupakan metafor bagi al-Kitab atau Firman. Melalui Firman (kun fa yakun) terciptalah alam semesta ini dan seisinya. Atas dasar ini, Putera menurut al-Jili ialah eksistensi murni (al-wujud al-mutlak) yang lahir sebagai bagian sekaligus produk dari inti zat (al-umm).
Untuk memperkuat pandangannya ini, al-Jili kemudian mengutip ayat Alquran surat ar-Ra’ad ayat 39: wa ‘indahu ummul kitab (dan Allah itu memiliki ummul al-kitab) yang artinya bahwa di samping Allah, ada Ibu sebagai esensi hakikat dan ada Putera sebagai wahyu atau al-kitab atau wujud murni. Ibu dalam konsep trinitas ala al-Jili itu sendiri melahirkan Putera. Dan secara lebih tegasnya, sebut saja esensi hakikat (mahiyat al-haqa’iq) melahirkan wujud murni (al-wujud al-mutlaq).
Dan terkait konsepsi trinitas ini, Yesus Kristus seperti yang terekam dalam Alquran surat at-Taubah ayat 114 mengatakan: ma qultu lahum illa ma amartani (Aku hanya menyampaikan kepada mereka ajaran yang Engkau Perintahkan). Ajaran yang diperintahkan Allah di sini maksudnya doktrin trinitas dengan pengertian bahwa Bapa ialah metafor bagi nama Allah, Ibu ialah metafor bagi esensi hakikat dan Putera sebagai al-kitab atau wujud murni. Setelah itu kemudian Yesus Kristus menyampaikan ajaran: (sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan kalian). Ayat ini menyiratkan bahwa umat Kristen tidak boleh memahami doktrin trinitas seperti apa adanya tanpa makna mendalam. Jadi Bapa, Ibu dan Putera itu tidak boleh dipahami sebagai konsep kekeluargaan yang ada pada masyarakat manusia.
Jadi ajaran yang disampaikan Yesus: (sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan kalian) sebenarnya juga untuk menepis pandangan dipertuhankannya Yesus, Bunda Maria dan Roh.
Namun pada kenyataannya, umat Kristen sendiri menurut al-Jili memahami doktrin trinitas berdasarkan kepada pengertian biologisnya dan ini artinya mereka telah melampaui ajaran Yesus Kristus yang benar, dan ayat di atas menegaskan terlepasnya Yesus dari beban kesalahpahaman umatnya. Ayat yang artinya (Aku hanya menyampaikan kepada mereka ajaran yang Engkau Perintahkan) juga dapat dipahami sebagai bentuk permohonan ampunan oleh Yesus Kristus kepada Allah atas kesalahpahaman umatnya dalam memahami ajaran-ajaran yang disampaikannya. Al-Jili membahasakan kembali kata-kata Yesus dalam konteks ini sebagai berikut:
أنت المرسل إليهم بذلك الكلام الذي أوله بسم الآب والأم والإبن، فما بلغهم كلامك حملوه على ما ظهر لهم من كلام، فلا تلمهم على ذلك، لأنهم فيه على ما علموه من كلامك، فكان شركهم عين التوحيد، لأنهم فعلوا ما علموه من الإخبار الإلهي في أنفسهم،
“Engkaulah yang dulu menyuruhku untuk mengajarkan kepada umatku ajaran Injil yang selalu dimulai dengan lafal ‘dengan menyebut nama Bapa, Ibu dan Putera’. Dan ketika menerima ajaran trinitas ini, umatku sayangnya hanya memahaminya secara harfiah (ala ma zahara lahum), dan melalui ini pula kuberharap agar Engkau tidak timpakan kesalahan kepada mereka. Umatku memahami demikian sejauh kadar kemampuan yang mereka miliki. Jadi kemusyrikan yang mereka lakukan itu sebenarnya masih dalam koridor mengesakan Engkau. Sebab, mereka memahami firman ilahi dari-Mu sesuai dengan pemahaman yang mereka terima.”
Sampai di sini kemudian al-Jili mengibaratkan pemahaman umat Kristen terhadap doktrin trinitas yang tidak dalam pengertian yang dimaksudkan Yesus Kristus ini sebagai ijtihad dalam Islam. Ijtihad dalam ranah ini jika pun keliru tetap pelakunya tidak akan mendapat dosa. Dengan kata-kata lain, seseorang jika berijtihad dan keliru tetap akan mendapatkan pahala. Pahala diberikan bukan karena kekeliruannya tapi karena jerih payahnya dalam memahami ajaran ilahi. Karena itu, melalui kerangka ini, al-Jili menegaskan:
فمثلهم كمثل المجتهد الذي اجتهد وأخطأ فله أجر الاجتهاد.
“Umat Kristen yang memahami trinitas secara keliru ini bisa dibaratkan sebagai orang yang berijtihad lalu ia keliru dan ia akan tetap mendapat pahala dari usaha ijtihadnya.”
Jadi sampai di sini bagi al-Jili jikapun keliru dalam memahami doktrin trinitas umat Kristiani tetap akan mendapat pahala, dan atas dasar ijtihad ini pula itu mereka tidak bisa dikategorikan sebagai orang musyrik. Karena kemusyrikan ini lahir dari kesalahpahaman, sementara kesalahpamahan itu sendiri berangkat dari usaha yang sungguh-sungguh dalam mengerti dan mencerap doktrin trinitas, tentu umat Kristen bagi al-Jili masih tetap dikategorikan sebagai umat yang bertauhid.
al-Jili melalui kutipan di atas menegaskan bahwa kemusyrikan umat Kristiani itu sendiri sebenarnya masih dalam koridor ajaran tauhid (?).
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy