Abdul Karim al-Jili dan Ulasan tentang Kebenaran Transendensi Agama-Agama dalam Kitab al-Insan al-Kamil (Part I)
Di dunia Barat banyak sekali kita temukan kaum intelektual yang memberikan pandangan-pandangan menarik terkait kesatuan transendensi agama-agama. Wilfred Cantwell Smith misalnya dengan terinspirasi dari konsep heliosentris Copernicus, konsep yang mengatakan bahwa matahari ialah pusat tatasurya bagi planet-planet lainnya, mengibaratkan agama-agama sebagai planet-planet dan Tuhan sebagai matahari. Agama-agama tersebut pada intinya tetap menjadikan Tuhan sebagai pusat penyembahan dengan titik tekan pendekatan yang berbeda-beda.
Konsep yang dikenalkan Smith ini pada tahap selanjutnya sering disebut sebagai konsep kesatuan transendensi agama-agama (transcendental unity of religions). Usaha yang sama juga dapat kita lihat pada karya-karya Fritchof Schuon dan Syed Hossein Nasr yang menekankan aspek filsafat perennial dalam studi agama-agama dunia. Pertanyaan yang mungkin dapat diajukan ialah darimana mereka mendapat inspirasi mengenai kesatuan transendensi agama-agama? Jawaban yang mungkin dirasa agak tepat ialah bahwa besar kemungkinan pandangan ini ditimba inspirasinya dari para mistikus atau kaum kebatinan dari berbagai agama.
Dalam Islam, ada sosok sufi terkenal bernama Abdul Karim al-Jili yang dalam kitabnya, al-Insan al-Kamil, mencoba menyajikan pandangan menarik terkait kebenaran inti agama-agama yang dimulai dari agama pagan sampai agama Islam yang semuanya sebenarnya, menurutnya, masih berintikan ajaran menyembah Tuhan dan karena itu nantinya para penganutnya akan mendapat kebahagiaan hakiki (kana ma’aluhum ilas sa’adah) tergantung kepada bentuk dan jenis agama yang dipilihnya.
Ulasan menarik tentang hal ini dapat kita temukan pada bab akhir kitab al-Insan al-Kamil. Menurut al-Jili, semua ciptaan yang ada di alam semesta ini merupakan manifestasi dari asma dan sifat Allah SWT. Sementara itu, tujuan Allah menciptakan langit dan bumi ialah agar para penduduk langit dan bumi menyembah Allah SWT.
Sampai di sini kemudian al-Jili menegaskan bahwa karena Allah memiliki dua asma dan sifat: yang Maha Memberi Petunjuk dan yang Maha Menyesatkan, tentunya agama-agama di muka bumi yang Allah ciptakan ini mengikut pada salah satu dari manifestasi dua namanya ini, yakni jalan petunjuk dan jalan kesesatan.
Meski ada dua jalan yang saling berseberangan ini, menurut al-Jili, semua makhluk, baik penduduk langit maupun penduduk bumi, pada intinya tetap menyembah Allah SWT baik secara terpaksa maupun secara suka rela. Hal demikian karena mereka memang tercipta untuk menyembah, terlepas dari siapa objek yang disembah dan dengan cara apa penyembahan itu dilakukan.
al-Jili menegaskan semua makhluk secara fitrah telah tercipta untuk menyembah Allah dan tunduk di bawah fitrah tersebut. Lebih jauh lagi, ibadah atau penyembahan terhadap Tuhan bagi al-Jili ialah aspek yang sangat fitrawi dalam setiap entitas ciptaan.
Tentu yang dimaksud penyembahan atau ibadah di sini ialah ketundukan dan ketaatan. Ketundukan, kata al-Jili, ialah ketertarikan suatu entitas pada dirinya sendiri. Dan karena tidak ada dzat yang benar-benar hakiki di alam semesta ini selain hanya Allah, tentu bentuk ketertarikan terhadap zat sendiri ini sama saja diartikan dengan ketertarikan kepada Allah (injidzab). Inilah yang dimaksud sebagai penyembahan sesuai dengan fitrah. Karena itu penyembahan (al-ibadah) semua makhluk terhadap Allah dapat diartikan sebagai ekspresi ketundukan terhadap Allah. Hal demikian karena ketundukan kepada Allah ialah fitrah yang sudah terpatri dalam diri semua ciptaan.
Atas dasar ini, al-Jili kemudian menegaskan bahwa “tidak ada entitas apapun di alam semesta ini kecuali telah tercipta secara fitrawi untuk menyembah Allah dengan semua kondisi, ucapan, perilaku bahkan dengan zat dan sifatnya. Jadi semua wujud ini pada intinya tunduk kepada Allah SWT.”Al-Jili lebih jauh lagi melihat bahwa setiap wujud memiliki daya kehidupan (semacam konsep elan vitalnya Henry Bergson) yang mendorongnya untuk tunduk kepada Allah dengan seluruh kondisi, gerak dan tindakannya.
Jadi dengan kata-kata lain, semua ciptaan Allah memiliki kondisi, ucapan, perbuatan, zat dan sifat masing-masing. Karakteristik ini ada pada semua ciptaan Allah yang meliputi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati. Karekteristik yang ada pada setiap ciptaan ini secara naluri diperuntukkan untuk menyembah Allah dan tunduk di bahwa kehendak-Nya. Ketundukan ini lahir karena Allah itu sendiri adalah sumber wujud dan eksistensi semesta ini.
Karena wujud semesta ini berbeda-beda dan berubah-ubah dari waktu ke waktu, tentunya kondisi, ucapan dan perbuatan manusia dalam hal penyembahan juga berbeda-beda.. Dari sini kemudian lahirlah agama-agama yang berbeda-beda baik secara ritual maupun secara ajaran-ajarannya. Padahal, kata al-Jili, inti agama-agama ini tetap terfokus kepada penyembahan Tuhan. Lebih jauh lagi, para pemeluk agama-agama tersebut, mulai dari agama pagan sampai ke agama samawi seperti Yahudi, Kristen dan Islam sebenarnya memiliki ujung dan nasib yang sama, yakni, menggapai kebahagiaan (ma’aluhum ila as-sa’adah).
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy