Abdul Karim al-Jili dan Ulasan tentang Kebenaran Transendensi Agama-Agama dalam Kitab al-Insan al-Kamil (Part II)

Abdul Karim al-Jili merupakan seorang sufi terkenal yang memberikan penegasan lebih jauh tentang kebenaran agama-agama di luar Islam. Dalam kitab al-Insan al-Kamil, yakni ketika mencoba menjustifikasi kebenaran agama-agama ini, Abdul Karim al-Jili mula-mula menyajikan secara gradual kemunculan agama-agama dimulai dari masa nabi Adam sampai ke masa Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, dari sekian agama yang ada di dunia, paling tidak, inti ajarannya dapat dikerucutkan menjadi sepuluh agama. Kesepuluh agama tersebut merupakan inti dan titik tolak bagi perkembangan ajaran-ajaran agama-agama yang ada di dunia.

Ulasan al-Jili tentang kebenaran inti sepuluh agama ini sangat menarik, bukan saja karena gaya bahasanya yang ringan dan mudah dicerna, namun juga karena uraiannya ini memberikan basis yang rigid bagi konstruk pemikiran  tentang toleransi beragama.

Bagi kebanyakan pemikir Islam, toleransi dengan penganut agama lain hanya bisa dilakukan pada tataran menjalin relasi social yang baik. Al-Jili dalam hal ini sangat berbeda dengan para pemikir Islam kebanyakan. Toleransi yang diajarkan al-Jili tidak harus melulu terfokus pada persoalan muamalah seperti yang dipegang para ulama pada umumnya.  Toleransi agama menurut al-Jili bisa dalam konteks teologi.

Singkatnya al-Jili mengajarkan bahwa ada dua jenis toleransi: toleransi yang terejawantahkan dalam persoalan muamalah dengan agama lain dan toleransi yang terejawantahkan dalam persoalan akidah. Kita coba telaah lebih jauh pemikiran al-Jili tentang hal ini.

Dalam kitab al-Insan al-Kamil, bab ke-enam puluh tiga, al-Jili meletakkan ulasan mengenai sepuluh agama ini di bawah judul Fi Sa’iril Adyan wal Ibadat, wa Nuktat Jami’il Ahwal wal Maqamat.

Ketika Allah menciptakan alam semesta ini dan mengeluarkan Adam dari surga, kedudukan Adam sebelum turun ke bumi ialah sebagai seorang wali. Setelah Allah menurunkannya ke bumi, Adam diberi anugerah kenabian.

Sementara itu, kenabian itu sendiri berarti pengajaran syariat dan pemberian beban penyembahan dan dunia ialah ruang dilaksanakannya semua beban penyembahan bagi umat manusia. Ini tentu berbeda dengan kedudukan Adam di surga. Surga ialah dunia kesaksian dan karamah dan karena itu Adam ialah seorang wali ketika posisinya di di surga.

Ketika lahir keturunannya, Adam diutus oleh Allah untuk menjadi nabi bagi keturunannya. Adam mengajarkan kepada keturunannya ajaran-ajaran yang merupakan wahyu dari Allah SWT. Adam juga memiliki lembaran-lembaran wahyu atau semacam suhuf. Keturunannya yang membacanya secara seksama akan langsung beriman kepada Allah. Sebaliknya, keturunannya yang tidak membaca lembaran-lembaran tersebut dan terlalu sibuk dengan urusan duniawi tentu akan tersesat. Mereka inilah cikal bakal dan leluhur orang-orang kafir.

Namun ketika Adam wafat, keturunannya yang beriman kepada Adam mencoba membuatkan patung Adam. Ini dilakukan agar keturunan yang beriman kepada Adam dan yang meyakini kedekatannya dengan Allah akan senantiasa dapat berkhidmat kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Patung Adam ini kemudian disembah oleh keturunannya yang beriman kepadanya.

Penyembahan ini sebagai wujud ketundukan mereka kepada Allah. Keturunan Adam yang menyembah patung Adam ini pada tahap selanjutnya dapat pula disebut sebagai cikal bakal penyembah berhala atau abadat al-authan. Mereka menjadikan berhala sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sementara itu, keturunan Adam lainnya menyalahkan dan mencap sesat keyakinan keturunan Adam yang menyembah patung nenek moyang manusia ini. Dan menariknya, mereka menawarkan objek penyembahan baru yang tidak lagi terpusat pada patung Adam. Mereka menawarkan penyembahan empat elemen karakteristik alam: elemen panas, elemen dingin, elemen kering dan elemen lembab. Empat elemen alami ini diyakini sebagai dasar bagi wujud semesta ini, dan patung Adam tidak lain hanyalah salah satu wadah dari keempat elemen ini.

Jadi dalam keyakinan mereka, menyembah yang asali jelas lebih utama daripada menyembah yang bukan asali. Berhala bukanlah yang asali karena unsur pembentuknya ialah empat elemen alam ini. Keturunan Adam yang menyembah empat elemen alam yang asali ini disebut sebagai kaum naturalis, yakni mereka yang menyembah elemen-elemen penyusun alam semesta. Dalam bahasa al-Jili, mereka inilah nenek moyang keyakinan kaum taba’iyyun.

Menariknya, ada juga keturunan Adam yang lain yang menolak penyembahan seperti ini lalu mereka menawarkan penyembahan tujuh planet. Bagi keturunan Adam yang menyembah tujuh bintang ini, elemen kering, basah, panas dan lembab yang menjadi objek sesembahan kaum naturalis tidak memiliki kehendak dan gerak yang bebas (harakah ikhtiyariyyah) dan karena itu tidak layak dijadikan sebagai orientasi sesembahan. Menyembah tujuh bintang ini merupakan dasar keyakinan kaum filosof.

Tentu yang dimaksud filosof menurut al-Jili di sini ialah filosof yang lahir dari tradisi Hermes atau kaum Sabean yang hidup di wilayah Irak. Mereka ini meyakini bahwa benda-benda langit memiliki kekuatan yang dapat menggerakan semua peristiwa yang ada di bumi. Bintang-bintang di langit dapat mendatangkan kebaikan dan kerusakan bagi yang ada di bumi. Bagi mereka, bintang-bintang ini hidup layaknya manusia. Konon menurut penuturan Perjanjian Lama, Nabi Ibrahim dulunya berkeyakinan demikian sampai di umurnya yang 90 tahun.

Selanjutnya, ada juga kelompok manusia yang menyembah cahaya dan kegelapan. Bagi mereka gerak kehidupan itu dilandaskan oleh dua hal; cahaya dan kegelapan. Cahaya dan kegelapanlah yang menggerakkan alam semesta ini. Jadi kata mereka tentu menyembah cahaya dan kegelapan lebih utama daripada menyembah planet-planet. Mereka menamakan cahaya ini sebagai dewa Bazdan dan kegelapan sebagai dewa Ahruman. Kelompok ini dinamakan al-Jili sebagai para penganut dualisme ketuhanan atau sebut saja at-tsunai’yyah.

Ada juga keturunan Adam yang menyembah api. Bagi mereka, kehidupan ini prinsip utamanya terletak pada kehangatan instingtif (al-hararah al-ghariziyyah). Kehangatan instingtif ini memiliki artikulasi nyatanya pada api. Jadi api ialah asal muasal keberadaan. Atas dasar pemahaman seperti ini, lantas mereka menyembah api. Mereka ini yang kemudian  disebut sebagai kaum Majusi.

Dan ada pula kelompok lain dari keturunan Adam yang tidak menyembah apa-apa. Bagi mereka, ritual penyembahan ialah tindakan yang sia-sia. Mereka ini disebut al-Jili sebagai ateis (al-mulahidah), kelompok yang tidak meyakini adanya Tuhan.

Bersambung!

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved