Abdul Karim al-Jili dan Ulasan tentang Kebenaran Transendensi Agama-Agama dalam Kitab al-Insan al-Kamil (Part III)
Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam sejarahnya keturunan Adam menganut berbagai macam agama, dimulai dari sebagai penganut kepercayaan kuffar sampai ke penganut ateis. Setelah membahas keenam agama tersebut, al-Jili kemudian menyebut lagi beberapa agama besar lainnya yang dikelompokkannya ke dalam agama Ahli Kitab.
Al-Jili membagi agama Ahli Kitab ini menjadi empat bagian: pertama, agama Brahman; kedua, agama Yahudi; ketiga, agama Kristen dan keempat, agama Islam. Jadi jumlah keseluruhan agama-agama yang dijelaskan al-Jili ini ada sepuluh: agama kufur, agama naturalis, agama filsafat Sabean, dualisme, Majusi, Ateis, Brahman, Yahudi, Kristen dan Islam. Sepuluh agama inilah yang menjadi inti agama-agama yang ada di dunia ini.
Al-Jili kemudian menegaskan bahwa bagi penganut agama-agama ini telah diciptakan surga dan nerakanya sendiri-sendiri. Al-Jili menjelaskan bahwa para penganut agama kufur pun bisa diklasifikasikan menjadi dua: pelaku kebaikan yang akan dimasukkan ke surga dan pelaku kejahatan yang akan dimasukkan ke neraka.
Pandangan ini cukup menabrak keyakinan umat Islam pada umumnya. Jadi, singkatnya dalam sepuluh agama ini, telah diciptakan surga dan neraka bagi para penganutnya masing-masing. Menariknya, di sini bukan keyakinan yang menjadi standar masuk ke surga dan neraka. Standar untuk masuk ke kedua tempat ini ialah perbuatan baik dan perbuatan buruk (amil khoirin dan amil syarrin).
Al-Jili seolah tidak mempersoalkan orientasi sesembahan dari masing-masing agama ini. Bahkan dalam pandangannya yang sangat ekstrim ini, al-Jili justru mempertegas lebih jauh, yakni bahwa para penganut sepuluh agama ini semuanya dikategorikan sebagai penyembah Allah, bukan penyembah selain-Nya (fakulluhum abidun lilllah kama yanbaghi an yu’bada) dan mereka memang secara naluri tercipta untuk menyembah-Nya. dan yang kita pandang sebagai kekufuran pun, bisa jadi di mata Allah sebenarnya ialah satu bentuk dari ketaatan.
Al-Jili mengutip ayat Alquran yang berbunyi (Segala sesuatu memuji Allah, akan tetapi kalian tidak mengerti pujian mereka). Ayat ini dijadikan basis bagi pandangan mengenai kebenaran agama-agama. Pujian kepada Allah ini bisa mengambil bentuk ketaatan dan bisa pula berbentuk kemaksiatan. Menurut Abdul Karim al-Jili, yang berbentuk kemaksiatan yang kemudian dianggap sebagai tasbih atau pujian menurut Allah inilah yang tidak dapat kita pahami. Ulasan ini sudah pernah dikemukakan dalam artikel berjudul (Keimanan Fir’aun dalam Pandangan Ibnu Arabi).
Jadi secara implisit al-Jili meyakini bahwa semua agama pada intinya ialah benar. Masing-masingnya menyembah Allah SWT dan penyembahan ini tergantung dengan orientasi yang menyembah-Nya. Sepuluh agama ini dan turunannya sebenarnya, kata al-Jili, tidak lain dari pengejawantahan Asma dan Sifat Allah. Allah lah yang dengan zat-Nya memanifestasikan Diri-Nya ke dalam sepuluh agama yang paling inti di dunia ini. Perbedaan yang terdapat dalam sepuluh agama ini hanya terletak pada titik tekan orientasi dan mekanisme penyembahan. Yang dimaksud mekanisme penyembahan di sini ialah apakah penyembahan tersebut terpusat pada manifestasi Dzat, Asma ataukah Sifatnya. Orientasi penyembahan kepada Dzat, Asma dan Sifat Allah akan menentukan identitas agama yang bersangkutan.
Kita akan perjelas lebih jauh ulasan orientasi penyembahan masing-masing agama dalam pandangan Abdul Karim al-Jili ini. Pertama, agama al-kufr yang cikal bakalnya dapat dilacak pada keturunan Adam yang karena focus pada dunia dan kenikmatannya mereka tidak membaca sempat membaca suhuf yang diberikan Allah kepada Adam. Implikasinya, mereka menjadi manifestasi salah satu Asma Allah, yakni al-Mudill (Yang Maha Menyesatkan) dan mereka berada di jalur kesesatan.
Para penganut agama kufur ini oleh Abdul Karim al-Jili dipandang sebagai penyembah Tuhan namun dengan titik tekan kepada Dzat ilahi yang ada dalam diri mereka dan wujud semesta ini. Al-Jili menjelaskan: “Orang-orang kafir menyembah Allah melalui Zat-Nya. Hal demikian karena Allah ialah hakikat wujud semesta ini sementara itu kaum kafir sendiri ialah bagian dari wujud ini dan wujud itu sendiri secara keseluruhannya ialah hakikat Allah, atas dasar ini tentu mereka menyangkal adanya Allah. Hal demikian terjadi karena Allah ialah hakikat mereka dan Allah ialah Tuhan yang Maha Mutlak. Atas dasar ini, mereka menyembah Allah sesuai dengan kehendak Zat yang ada dalam diri mereka. ”
Dasar keyakinan demikian juga berlaku bagi para penyembah berhala. Bagi al-Jili, para penyembah berhala juga masih tergolong penyembah Allah karena Allah ialah sir wujudihi, di balik rahasia keberadaan berhala itu sendiri. Meski secara lahir mereka seolah menyembah berhala, namun hakikat yang mereka sembah sebenarnya Allah jua.
Sementara itu agama kedua, yakni agama kaum naturalis. Mereka menyembah Allah melalui empat sifatnya. Empat sifat Allah itu ialah hayat atau hidup, ilmu atau pengetahuan, qudrah atau kekuasaan dan iradah atau kehendak. Keempat sifat inilah asal mula bagi semua wujud semesta. Dalam dunia riilnya, empat sifat ini terejawantahkan ke dalam empat elemen: panas, dingin, kering dan basah. Kaum naturalis yang menyembah empat mengindikasikan bahwa mereka menyembah Allah dengan titik focus kepada empat sifat yang telah dijelaskan tadi.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy