Al-Kadhimi dan Masa Depan Demokrasi Irak
Serangan drone terhadap Perdana Menteri Irak Mustafa Al-Kadhimi pada Minggu pagi (07/11/2021) di kediamannya di Baghdad tidak terlalu mengejutkan. Seperti yang dikatakan Al-Kadhimi sendiri beberapa jam kemudian, pelaku serangan tersebut sudah dapat diketahui dan serangan juga sudah dapat diprediksi.
Selama beberapa minggu, terutama setelah hasil awal pemilihan legislatif bulan lalu diumumkan, milisi pro-Iran dan partai-partai yang mengalami kekalahan mengklaim adanya unsur kecurangan dalam pemilu legislatif tersebut.
Mereka menuntut agar hasil pemilu legislatif dibatalkan atau paling tidak harus dilakukan penghitungan secara manual. Namun ternyata setelah ditelisik lebih jauh, bukan hasil pemilu yang menjadi pemicu serangan di hari Minggu tersebut.
Para pemimpin garis keras faksi Unit Mobilisasi Populer pro-Iran yang merupakan bagian dari aliansi Fatah memberikan ancaman secara langsung kepada Al-Kadhimi dan anggota Komisi Pemilihan Tinggi Independen. Hadi Al-Amiri dari faksi Unit Mobilisasi Populer pro-Iran menolak hasil pemilu yang dinilainya curang.
Di sisi lain, pemimpin Asa'ib Ahl Al-Haq, Qais Al-Khazali, mengancam akan menggunakan kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk mengubah hasil pemilu ini. Aliansi tersebut memiliki banyak faksi lain, termasuk Kata'ib Hezbollah, sebuah kelompok militan yang mungkin terlibat dalam aksi serangan terhadap Perdana Menteri Irak hari Minggu lalu.
Tiga drone bermuatan bahan peledak digunakan dalam serangan ini; dua drone ditembak jatuh, sementara satu drone berhasil menembus kediaman Al-Kadhimi. Menurut laporan keamanan, drone meluncur dari arah timur, yang itu artinya merujuk ke Iran baik secara langsung maupun tidak langsung.
Meskipun Al-Kadhimi selamat dengan luka ringan, pesan serangan ini sangat jelas: yakni serangan ini dimaksudkan untuk mengganggu proses demokrasi yang baru ditegakkan di Irak, sebuah proses yang diganggu oleh perpecahan etno-sektarian serta adanya tangan tak terlihat dari Pasukan Quds Teheran.
Terlepas dari banyak kekurangannya, milisi fanatik pro-Iran ingin memanipulasi sistem pemilu untuk kepentingan mereka sendiri. Dan ketika pemilih Irak memiliki suara lain, mereka turun tangan untuk membatalkan hasilnya.
Insiden serangan terhadap Perdana Menteri Irak di Baghdad pada Minggu pagi sama saja dengan kudeta militer. Milisi pro-Iran yang telah membarikade Zona Hijau selama berhari-hari untuk memprotes hasil pemilihan percaya bahwa pihaknya dapat mengintimidasi dan mendesak Al-Kadhimi lalu melenyapkannya dari gelanggang politik Irak untuk membajak proses politik yang ada. Tentu ini sama saja dengan bunuh diri politik.
Yang mengejutkan adalah, beberapa hari setelah hasil pemilu awal diumumkan, mantan Perdana Menteri Haider Abadi dan Nouri Al-Maliki bergabung dengan ulama moderat Ammar Al-Hakim dan lainnya. Mereka mencoba membentuk aliansi untuk menggagalkan keputusan hasil pemilu tersebut.
Namun menariknya, Ketua blok politik terbesar yang sekaligus ulama nasionalis Syiah Muqtada Al-Sadr menolak untuk bergabung dengan aliansi ini. Dan di Irak sekarang, mereka dipandang telah menyebabkan krisis makin parah di negara yang terkena dampak kekeringan tersebut.
Al-Kadhimi adalah seorang nasionalis Irak nonpartisan yang berusaha menjaga negaranya tetap netral dalam pertikaian AS-Iran yang sedang berlangsung. Tujuannya adalah untuk menjauhkan Irak dari Iran dan membawa negara itu kembali ke wilayah Arab, yang tentunya menimbulkan reaksi bagi proksi-proksi pro-Iran.
Dengan semua jari menunjuk ke Iran, menarik bahwa komandan Pasukan Quds Brig. Jenderal Esmail Ghaani bertemu dengan milisi dan pejabat yang didukung Iran di Irak beberapa jam setelah upaya pembunuhan itu. Dia dengan cepat menuju ke Baghdad untuk mencoba menahan kekuatan yang telah dilepaskan oleh Teheran. Sementara itu Iran, dan juga negara-negara lainnya, telah mengutuk upaya pembunuhan tersebut. Namun sulit untuk tidak menuduh Iran sebagai yang paling bertanggung jawab baik secara langsung atau tidak langsung atas kejahatan tersebut.
Insiden penyerangan ini merupakan titik balik dalam hubungan kritis antara Iran dan proksi Iraknya di satu sisi dan antara Teheran dan Baghdad di sisi lain. Iran memainkan permainan berbahaya di Irak; sebuah permainan yang akan mengacaukan semua kemenangannya sejak invasi AS tahun 2003 yang menggulingkan rezim Saddam Hussein. Iran merupakan satu-satunya kekuatan regional yang mampu memasok drone ke proksinya, yang digunakan untuk menyerang pangkalan AS di Irak.
Kedatangan Ghaani mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan: Bahwa beberapa milisi Irak pro-Iran semakin lepas kendali. Kesalahan tentu ditimpakan pada Teheran secara langsung. Dengan mendukung faksi-faksinya di Irak dan memasok mereka dengan persenjataan, Iran sekarang disebut sebagai tersangka utama dalam usaha pembunuhan terhadap Perdana Menteri Irak pada hari Minggu.
Al-Kadhimi sekarang memiliki beberapa pilihan jika ingin bertahan secara politik dan menjaga negaranya agar tidak tenggelam ke dalam babak gelap pembunuhan politik dan perang saudara. Dia harus menemukan cara untuk menetralisir dan menahan Unit Mobilisasi Populer pro-Iran dan kelompok militan lainnya yang tunduk pada Iran.
Ini tentunya ialah tantangan yang sangat berani yang mungkin bisa saja gagal dalam menghadapinya. Seluruh wilayah Irak telah lelah dengan campur tangan Iran dan agenda regionalnya yang cukup mengganggu. Hari-hari yang akan datang merupakan hari-hari penentuan yang sangat penting bagi Irak dalam menghadapi tantangan seperti ini.
Dan setiap langkah yang dilakukan Perdana Menteri Irak tentu akan mendapat reaksi keras. Keberhasilan atau kegagalannya dalam menghadapi milisi pro-Iran akan menentukan masa depan Irak sebagai negara berdaulat.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy