Apa itu Filsafat Bahasa? Ulasan Singkat terkait Definisi, Asumsi Filosofis dan Cara Kerjanya

Sering kali kita mendengar dua istilah ini dalam tradisi akademik kita; filsafat dan bahasa. Dua istilah ini memiliki maknanya tersendiri. Filsafat berasal dari kata Yunani philein dan sophia yang artinya cinta akan kebijaksanaan. Dan dalam definisi yang rigidnya, filsafat diartikan sebagai cara berpikir yang menyeluruh dan radikal. Sejak awal kemunculannya, kegiatan berpikir secara radikal dan menyeluruh ini didorong oleh rasa cinta akan kebijaksanaan.

Sudarminta dalam Epistemologi Dasar menjelaskan bahwa: “kebijaksanaan mendorong kita untuk melihat, menata kembali serta mengintegrasikan berbagai hal yang dalam pengalaman dan pengetahuan kita sepintas tampak berserakan, menjadi suatu kesatuan dan keseluruhan yang bermakna”. Sementara itu, bahasa didefinisikan sebagai kemampuan komunikasi manusia dengan lingkungannya. Paduan leksem filsafat dan bahasa menghasilkan makna yang berbeda dari awal katanya.

Artinya ketika dua istilah ini menjadi suatu frasa, maknanya menjadi lain. Dalam Encyclopedia Britannica yang dapat diakses secara online, kita dapat temukan filsafat bahasa didefinisikan sebagai kajian yang memusatkan perhatiannya pada asal usul bahasa, hakikat makna dan rujukannya, bahasa dan kenyataan di luar bahasa, bahasa dan pandangan dunia penuturnya serta apakah bahasa ini merupakan potret kenyataan.

Sebagai cabang ilmu filsafat, filsafat bahasa bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari makna bahasa yang digunakan oleh manusia. Filsafat bahasa pada dasarnya bisa juga disebut sebagai suatu upaya rasional untuk memerikan dan memetakan makna bahasa dalam interaksinya dengan diri manusia, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya.

Atas dasar ini, bolehlah filsafat bahasa ini dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Disebut evaluatif, karena filsafat bahasa bersifat menilai, apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan, pendapat atau mungkin teori mengenai bahasa atau makna bahasa dapat divalidasi dan dijamin kebenarannya serta memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan nalar.

Disebut normatif karena di dalam filsafat bahasa sebuah tolak ukur dan norma ditentukan, dan dalam hal ini, yang ditahbiskan ialah tolak ukur rasionalitas atau kenalaran bagi kebenaran pengetahuan mengenai bahasa itu sendiri. Filsafat bahasa sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memerikan dan memaparkan bagaimana proses manusia menggunakan bahasa itu terjadi, tetapi juga perlu membuat penentuan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan tolak ukur yang epistemik.

Filsafat bahasa disebut juga kritis karena tugasnya ialah selalu mempertanyakan dan menguji rasionalitas dan keabsahan tolak ukur kenalaran suatu cara kerja pengetahuan maupun hasil kegiatan mengetahui dan menggunakan bahasa. Tentu yang selalu dipertanyakan dalam fungsi kritis filsafat bahasa ialah asumsi-asumsi epistemik, cara kerja atau pendekatan pengetahuan yang digunakan. Jika demikian halnya, filsafat bahasa juga memiliki tugas yang sama dengan epistemologi, yakni mempertanyakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dalam berbagai kegiatan kognitif manusia, terutama soal penelitian bahasa.

Berbicara mengenai cara kerja atau metode pendekatan filsafat bahasa berarti juga berbicara mengenai ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala kebahasaan. Bahasa memang bukan hanya menjadi objek filsafat bahasa atau kajian linguistik namun juga ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosiologi, epistemologi budaya, antropologi struktural dan psikologi kognitif.

Yang membedakan filsafat bahasa secara umum dari ilmu-ilmu lain bukanlah objek materianya tetapi objek formanya. Yang dimaksud objek materia di sini ialah apa yang hendak dijadikan sebagai bahan kajian sedangkan yang dimaksud objek forma di sini ialah cara pendekatannya. Artinya objek forma menelisik bagaimana objek yang dijadikan bahan penelitian dan bahan kajian tersebut didekati.

Ciri khas yang melekat pada setiap tinjauan filsafat tentang objek yang dikajinya terletak pada jenis pertanyaan yang diajukan serta upaya jawaban yang diberikan. Secara kritis filsafat berusaha mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat holistik, menyeluruh dan radikal. Filsafat selalu menggugat serta mengusik pandangan umum yang sudah mapan. Filsafat selalu mendobrak status quo, yakni pemahaman yang sudah sekian lama diterima secara taken for granted tanpa perlu diteliti dan ditanyakan ulang. Bagi filsafat, semua ini harus ditanyakan ulang.

Filsafat sebenarnya tidak sedang mencari-cari masalah dengan ciri khasnya yang seperti ini. Ciri khas filsafat yang demikian sebenarnya tidak lain ialah untuk merangsang berpikir secara lebih serius, mendalam dan hasil pemikirannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan rasio. Filsafat mendorong kita untuk selalu menanyakan terus menerus sebuah keyakinan yang sudah diterima secara taken for granted. Bagi filsafat, kenyataan yang tampak di hadapan kita tidak serta merta luput dari pemikiran kritis. Kenyataan dalam dunia filsafat dipertanyakan asal usulnya. Objek yang dilihat, dipahami dan diketahui oleh subjek penahu pun dipertanyakan apakah cukup merefleksikan kenyataan yang sesungguhnya atau tidak.

Seperti sudah secara eksplisit terpahami dari rumusan definisi tentang apa itu filsafat bahasa yang dikemukakan di atas, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat menyeluruh dan mendasar dalam hal kebahasaan misalnya dapat dikemukakan sebagai berikut: Apa itu bahasa? Apa ciri-ciri hakiki bahasa dan sampai mana batas-batas ruang lingkupnya?

Bagaimana asal usul bahasa? Apakah bahasa itu identik dengan kenyataan yang dirujuknya? Bagaimana bahasa merepresentasikan realitas eksternal di luar bahasa? Bukankah kita hanya dapat mengetahui dan mengenali suatu objek atau realitas eksternal hanya sejauh yang tampak pada kita melalui bahasa? Apakah bahasa itu dipelajari atau memang tak dipelajari pun manusia tetap berbahasa? Apakah makna suatu kalimat lahir dari elemen-elemen pembentuk kalimat itu sendiri atau tidak?

Filsafat bahasa juga menanyakan apa hubungan antara bahasa dengan konsep? Apa hubungan bahasa dengan pengetahuan? Bagaimana hubungan bahasa dengan logika? Apa dan bagaimana hubungan bahasa dengan kebudayaan? Apakah ada hubungan bahasa dengan cara berpikir penuturnya? Adakah hubungan antara bahasa dan kekuasaan, bahasa dan ideologi atau bahasa dengan keyakinan? Adakah keterkaitan antara bahasa dan logika? Kalau ada semuanya, bagaimana hubungan dan keterkaitan tersebut dapat dijelaskan secara rasional?

Inilah beberapa pertanyaan pokok, dan mungkin masih banyak lagi yang perlu dikemukakan. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang telah menghabiskan perhatian para filosof bahasa dari masa ke masa. Para filosof dari masa ke masa masing-masing mencoba menyibukkan diri dengan salah satu atau beberapa pertanyaan di atas sesuai dengan semangat pemikiran yang berkembang di zamannya.

Secara sekilas dapat terlihat pula melalui pengertian filsafat bahasa yang telah dikemukakan di atas persinggungan antara filsafat bahasa dengan epistimologi dan linguistik terutama melalui salah satu cabangnya, yakni semantik dan juga semiotika. Dalam semantik, dibahas pula relasi simbol, makna dan referennya yang juga menjadi perhatian di kalangan filosof bahasa.

Dalam kerangka semiologi Saussurean, dapat dipertanyakan pula misalnya apakah penanda dan petanda memiliki relasi yang sifatnya logis ataukah arbitrer? Apakah petanda yang juga makna itu cukup merepresentasikan objek eksternal di luar bahasa? Apakah ada sebutan yang sama untuk menunjuk pada objek yang berbeda-beda.

Secara umum filsafat bahasa juga berkutat dengan persoalan-persoalan yang sekarang menjadi wilayah kajian semantic dan semiotic ini. Tapi tentu, paradigma yang melandasi filsafat bahasa sangatlah menyeluruh dan holistik. Inilah sekelumit tentang filsafat bahasa.

 

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved