AS dalam Pusaran Rekonsiliasi Turki dan Suriah

Di berita-berita internasional, kita membaca banyak perundingan serius yang dilakukan untuk mencapai rekonsiliasi antara Turki  dan Suriah. Jika dilihat dari kepentingan Turki, Erdogan menjadikan rekonsiliasi ini sebagai siasat untuk memperkuat posisinya menjelang pemilihan presiden Turki bulan Juni. Erdogan saat ini membutuhkan keberhasilan diplomasi setelah dirinya gagal melaksanakan kebijakan politik luar negerinya di Suriah utara.

 

Assad, di sisi lain, sudah jengah dengan perang. Setelah memaksakan kekuasaannya di Suriah, Assad semakin menyadari bahwa ketergantungannya pada Rusia tidak akan mungkin dapat membantunya membangun kembali Suriah, apalagi Rusia saat ini sedang terlibat perang dengan Ukraina. Karena itu, Assad, dalam membangun Kembali Suriah tentu perlu mendapat persetujuan dari AS dan negara-negara Barat.

Assad juga memerlukan dukungan dunia Arab yang saat ini dipimpin oleh Arab Saudi seperti yang ditegaskan Raja Salman pada pembukaan tahun ketiga sesi kedelapan Dewan Syura tahun lalu di hadapan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Raja Salman saat itu menyampaikan perlunya mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB dengan tetap menjaga kedaulatan, stabilitas, dan identitas Arab Suriah.

Dalam pusaran rekonsiliasi ini, Pemerintah AS mungkin mencoba menemukan solusi yang masuk akal dan diterima secara internasional untuk mengakhiri krisis Suriah tanpa menunjukkan tanda-tanda menyerah atau mundur.

Washington berusaha menemukan keseimbangan antara banyak kepentingan yang saling bertentangan. Yang paling utama adalah dukungan Amerika untuk suku Kurdi dan hubungan geopolitiknya dengan Turki, anggota NATO. AS ingin menemukan cara untuk mengakhiri krisis Suriah dan dengan demikian memulai proses politik secara damai di negara tersebut.

Pemerintah AS percaya bahwa Turki merupakan mitra penting di Timur Tengah dan berupaya bekerja sama dengannya untuk mencapai tujuan bersama.

Meskipun demikian, AS berurusan dengan Erdogan dalam masalah krisis Suriah demi menjaga keamanan dan stabilitas regional di Timur Tengah, terutama karena presiden Turki tampaknya memiliki mimpi untuk menghidupkan kembali Kekaisaran Turki Usmani yang dilihat oleh pengamat sebagai mimpi atau ilusi.

 

Diyakini bahwa pemerintah AS tidak akan bertindak terlalu jauh dalam menekan Erdogan untuk menghentikan langkah rekonsiliasinya dengan Assad. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Parlemen Turki belum menyetujui bergabungnya Finlandia dan Swedia ke NATO dan kemunkinan besar kedua negara ini akan bergabung dalam aliansi tersebut. Kedua fakta ini dilihat Presiden Joe Biden sebagai kemenangan geopolitik yang signifikan dalam perang melawan Rusia.

Beberapa pengamat Barat menyatakan bahwa rekonsiliasi Turki-Suriah dapat terjadi dengan lampu hijau Amerika. Hal ini bisa dilihat pada kehendak Biden yang ingin meredakan krisis di Suriah meski pada saat yang sama, presiden AS juga tidak ingin berselisih dengan Partai Republik, yang pasti akan menuduhnya lemah dalam soal perang di Suriah.

Di sisi lain, posisi AS akan terjepit jika tidak mengusahakan perdamaian di Suriah. Beberapa pengamat memperkirakan bahwa pemerintahan Biden akan berada dalam situasi yang rumit apabila dalam kebijakannya di Timur Tengah menolak untuk mencapai solusi apa pun di Suriah.

Sementara itu, beberapa ahli lainnya percaya bahwa AS akan memiliki keputusan akhir tentang keberhasilan upaya rekonsiliasi Turki-Suriah, terutama sejak mengakhiri kendali Kurdi atas Suriah utara—baik dengan menyerahkan wilayah Kurdi kepada pemerintah Suriah secara damai atau melalui operasi militer.

Kehadiran militer Amerika di Suriah juga memiliki pembenaran strategisnya, mulai dari memerangi sisa-sisa ISIS hingga mempersempit pengaruh Iran di Suriah setelah dinodai selama bertahun-tahun.

Oleh karena itu, pemerintah AS melihat rekonsiliasi Turki-Suriah ini secara pragmatis.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved