Berbeda dengan Kekhilafahan Turki Usmani, Begini Bentuk Negara Madinah yang Pernah Dirintis Nabi Muhammad SAW

Berdasarkan tipologi perkembangan kesejarahannya, kita dapat melihat bahwa negara Islam yang pernah berdiri sejak zaman Nabi sampai Bani Umayyah dan seterusnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe: negara dakwah yang dirintis oleh Nabi, negara khilafah yang dikembangkan oleh para khalifah rasyidah dan negara kerajaan, negara Islam yang direkonstruksi kembali oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.

Jika hadis Nabi yang memprediksikan adanya negara khilafah ala minhaj nubuwwah ini sahih secara kualitasnya, tentu ada satu tipe lagi negara Islam yang belum disebutkan; negara demokrasi.

Jadi tafsiran yang tepat atas konsep al-khilafah ala minhaj nubuwwah ialah al-khilafah ala minhaj dimoqratiyyah atau demokrasi. Daripada jauh-jauh menafsirkannya sebagai negara ideal seperti masa khilafah rasyidah yang kata Ibnu Khaldun tidak mungkin dapat tegak kembali, lebih tepatnya negara Islam yang akan muncul di akhir zaman dalam redaksi ramalan Nabi tersebut ditafsirkan dengan sistem yang dekat dengan kekinian kita, negara demokrasi.

Dengan kata-kata lain, negara Islam dalam sejarah perkembangannya dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe: negara dakwah, negara khilafah rasyidah, negara kerajaan dan negara khilafah ala minhaj demokrasi atau minhaj nubuwwah.

Pada tulisan ini, kita akan membahas negara dakwah. Negara dakwah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW pasca hijrahnya ke Madinah. Namun pendirian negara ini baru benar-benar dilakukan pasca peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam awal: Fathu Makkah. Hal demikian karena dengan Fathu Makkah, suku Quraisyh dengan para pembesar dan para pimpinannya atau sebut saja pemerintahannya mulai bergabung dengan negara Madinah. Mereka menjadi muslim dan status sosial mereka yang tinggi tetap dipertahankan meski masuk Islam di akhir-akhir. Dengan demikian, negara Madinah dapat juga disebut sebagai negara Quraisy yang sudah masuk Islam.

Karena dominasi paling kuat di negara Quraish di Mekkah sebelum Fathu Makkah ada di tangan Bani Umayyah dan Bani Makhzum, kemudian di tangan Bani Umayyah sendiri pasca perang Badar, maka tentunya negara dakwah yang didirikan Nabi Muhammad SAW pasca Fathu Makkah berubah menjadi negara Quraish yang sudah masuk Islam yang dipimpin secara tak tidak langsung oleh Bani Umayyah.

Sampai di sini kita dapat memahami bahwa negara Madinah yang didirikan Nabi Muhammad SAW jika dilihat secara struktur hirarkisnya ialah negara Quraisy, negara dimana orang-orang yang mengurus administrasi pemerintahan dan keuangannya (amil zakat dan lain-lain) berasal dari suku yang sebelum Fathu Makkah juga terbiasa mengurus administrasi negara dan keuangan negara di Mekkah, yakni Bani Umayyah dan aliansinya.

Ketika ada kebijakan Abu Bakar untuk memerangi kaum murtad, selain soal administrasi dan keuangan, Banu Umayyah dan sekutunya ditambahkan lagi wewenangnya dalam urusan militer. Di masa Abu Bakar, para komandan militer yang bergerak menumpas kaum murtad dan nabi-nabi palsu berasal dari Bani Umayyah dan Bani Makhzum. Mereka pulalah yang pada tahap selanjutnya melakukan penaklukan besar-besaran terhadap Irak, Suriah, Persia, Mesir dan Afrika.

Struktur negara Madinah hampir mirip dengan struktur negara federal atau negara serikat. Negara serikat ini di awal perkembangannya berdiri di atas Piagam Madinah yang mengatur hubungan antara berbagai komunitas suku yang tinggal di Madinah dimana piagam ini mirip dengan konstitusi federal atau serikat. Menariknya watak federalisme ini makin mengkristal pasca Fathu Makkah, yakni ketika suku-suku Arab berbondong-bondong masuk Islam, baik karena inisiatif dari para kepala suku, respon atas ajakan dakwah Nabi atau pun karena pengaruh kuat negara yang baru didirikan.

Ala kulli hal, masuk Islam di masa ini dapat diartikan sebagai bentuk ketaatan politik terhadap negara dakwah. Dan karena satu-satunya artikulasi yang paling tepat sebagai tanda ketaatan politik itu ialah membayar upeti atau zakat, maka suku-suku Arab yang sudah masuk Islam pasca Fathu Makkah dibiarkan mengurus sendiri urusan-urusan internalnya. Adapun wakil-wakil Nabi fungsinya tidak lain adalah mengumpulkan dana zakat dan mengajarkan ajaran Islam.

Meski di sana-sini banyak pengecualian, namun pada umumnya Nabi tidak meminta para pimpinan negara atau suku yang sudah masuk Islam untuk turun dari jabatannya. Mereka tetap dibiarkan  menempati jabatan atau posisi penting sebelumnya. Sebagai contohnya kita dapat memperhatikan kandungan surat Nabi Muhammad SAW kepada al-Harith bin Abi Syamir al-Ghassani yang teksnya menyatakan ajakan Nabi untuk masuk Islam namun tetap dia tidak turun jabatannya sebagai pimpinan negara.

Demikianlah, negara dakwah yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW menjelang wafatnya meliputi hampir semua wilayah Jazirah Arab dan jika dilihat secara strukturnya, negara ini hampir mirip dengan negara serikat atau negara federal. Di dalam negeri-negeri yang sudah masuk Islam melalui penaklukan, Nabi cukup mengutus para amil untuk menjadi para pimpinanya. Kebijakan ini berlaku di Nejed dan Hijaz. Adapun di wilayah lainnya, Nabi tetap membiarkan pemimpinnya mengurusi urusan internalnya sendiri kendati tetap diwajibkan untuk membayar zakat, jizyah atau perjanjian damai sebagai bentuk ketaatan politik kepada negara Madinah.

Kebijakan ini misalnya berlaku bagi kerajaan Bahrain yang dipimpin raja bernama al-Mundzir bin Sari, kerajaan Oman yang dipimpin raja bernama Jaifar dan Abad putera al-Jandali, kerajaan-kerajaan kecil di Yaman yang dipimpin oleh suku-suku Himyar. Kecuali San’a yang dipimpin oleh Badzan bin Sasan al-Farisi, semua kerajaan ini masuk Islam dan kepala negaranya tetap dibiarkan menempati posisi dan jabatan sebelumnya.

Sedangkan wilayah seperti Ablah, Daumat al-Jandal dan Najran cukup dengan kewajiban membayar jizyah karena para pimpinannya berasal dari kalangan Kristen. Wilayah Tayma yang dipimpin oleh raja yang berasal dari Yahudi juga mendapat kebijakan yang sama, bayar jizyah.

Suku-suku ini, baik yang sudah masuk Islam atau pun memberikan perjanjian damai atau membayar jizyah, melihat Nabi Muhammad SAW hanya sebagai kepala suku terbesar (Quraisy) yang mendapatkan tampuk kekuasaan dan kerajaan melalui kenabian. Oleh karena itu, suku-suku tersebut membayar zakat kepadanya sebagai simbol ketaatan politik sama seperti halnya dulu mereka membayar upeti kepada raja-raja Kindah sebagai kerajaan terkuat di masanya.

Simpulnya struktur negara dakwah atau negara Madinah di masa Nabi hidup ini tidak lain adalah negara federal yang terdiri dari negara-negara bagian seperti kerajaan Oman, Bahrain dan lain-lain.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved