Biden, Demokrasi dan Perdamaian di Timur Tengah
Bagi banyak pengamat konflik Timur Tengah, demokrasi dan perdamaian tampaknya merupakan dua gagasan yang kontradiktif dan ambivalen. Para pakar politik berulang kali mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perdamaian dan stabilitas di satu sisi dengan demokrasi dan hak asasi manusia di sisi lain.
Untuk itu, tantangan utama Presiden AS Joe Biden saat ini ialah bahwa dirinya harus mampu membuktikan kekeliruan pikir yang menegaskan ketiadaan relasi antara demokrasi dan perdamaian di Timur Tengah, terutama dalam konflik Palestina-Israel.
Ketika dijadwalkan akan menemui Raja Yordania Abdullah dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett bulan ini, Biden pertama-tama harus menegaskan kembali prinsip dan pendirian yang pernah dilontarkannya saat menyampaikan visi dan misinya untuk menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat ini, yakni, ketika tak lama setelah dirinya dilantik, Biden pernah mengatakan bahwa AS “sangat siap untuk menyatukan dunia untuk berjuang mempertahankan demokrasi, karena kami selama ini telah berjuang untuk itu.”
Dalam menjelaskan pandangannya ini, presiden Amerika ke-45 tersebut mengatakan bahwa “kekuatan militer tidak boleh menghancurkan kehendak rakyat.” Dengan prinsip ini, Biden seharusnya mengingatkan kembali Naftali Bennet, perdana menteri Israel yang merupakan mantan penduduk asli New Jersey utara, tentang prinsip yang dipegang presiden terkenal dari New Jersey, Woodrow Wilson, yakni bahwa rakyat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak ini tidak dapat dicabut oleh siapapun.
Jadi melalui prinsip ini, hal pertama yang perlu dilakukan Biden untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel adalah bahwa pendudukan dan agresi militer Israel tidak boleh dilanjutkan, dan bahwa rakyat Palestina, seperti halnya semua negara di dunia, harus diizinkan untuk menentukan masa depan dan nasib mereka sendiri.
Negara-negara Dunia, termasuk pemerintahan Biden, telah memilih solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Sebagian besar orang Palestina dan Israel juga sangat mendukung solusi ini, meski banyak juga yang pesimis terkait realisasinya.
Gagasan tentang negara Palestina yang bebas dan demokratis yang hidup berdampingan dengan Israel yang aman dan tenteram tampaknya hampir utopis sekarang ini. Namun utopisme ini dapat ditepis selama ada kemauan politik yang tulus dari AS di belakangnya. Jika AS saja tidak dapat mempengaruhi publik dunia untuk membangun kepercayaan, bagaimana ia sendiri diandalkan dapat mendatangkan perdamaian setelah konflik berkepanjangan di Timur Tengah?
Selain ke Naftali Bannet, Biden juga harus menancapkan pengaruhnya pada Raja Yordania, Raja Abdullah. Biden mengatakan bahwa demokrasi seharusnya tidak “ merusak hasil pemilu yang terpercaya.” Penguasa Yordania ini harus didukung Biden dalam penerapan kebijakan terbarunya soal pemilu ini. Raja Abdullah baru-baru ini membentuk sebuah komite yang terdiri dari sekitar 90 anggota, yang merupakan perwakilan dari seluruh masyarakat Yordania, untuk merumuskan ulang pemilu dan undang-undang kepartaian. Namun prosesnya terhambat karena tampaknya raja tidak memiliki komitmen nyata untuk mengubah pemerintahannya menjadi monarki parlementer-demokratis ala Inggris, Swedia dan lain-lain.
Dalam konteks Palestina, untuk mencapai penentuan nasib sendiri dan untuk mencapai demokrasi, rakyat Palestina seharusnya diberi kesempatan untuk memilih pemimpin mereka sendiri melalui pemilihan yang bebas dan adil dan memutuskan kebijakan sendiri dari para pemimpin yang terpilih secara sah tersebut.
Sejak dibatalkannya pemilihan umum, kondisi hukum di Palestina makin memburuk. Seorang kritikus tewas pasca ditangkap dengan kejam oleh pihak keamanan Palestina. Para pengunjuk rasa yang menentang kematiannya dipukuli dan dipenjarakan oleh pasukan keamanan yang dilatih dan dibayar oleh para pembayar pajak AS. Jika Biden berpegang teguh dan konsisten dengan prinsipnya itu, seharusnya peristiwa ini tidak terjadi lagi.
Dalam ceramahnya di Departemen Luar Negeri pada 4 Februari lalu, Biden mengatakan bahwa mitra AS di seluruh dunia harus mendukung pemulihan demokrasi dan supremasi hukum. Bahkan Biden juga memperingatkan bahwa jika mitra AS menolak untuk menerima prinsip dasar demokrasi ini akan menerima konsekuensinya. Namun pertanyaannya, apakah komitmen pada demokrasi dan supremasi hukum ini dipegang Biden secara konsisten? nampaknya tidak.
Seorang aktivis Afrika-Amerika dan profesor di Universitas Temple, Marc Lamont Hill, bersama dengan Mitchell Plitnick, direktur Rethinking Foreign Policy, menulis sebuah buku menarik berjudul “Except for Palestine”. Buku ini menyoroti kecenderungan kepemimpinan AS saat ini yang alih-alih ke arah demokrasi, malah ke arah otoritarianisme. Mereka berpendapat bahwa "holding fast to one-sided and unwaveringly pro-Israel policies reflects the truth-bending grip of authoritarianism on both Israel and the US.”
Kebijakan AS yang lebih banyak berpihak pada Israel telah menjerumuskan AS sendiri ke dalam cengkraman otoritarianisme, suatu sikap yang sangat bertentangan dengan demokrasi yang digembor-gemborkan AS sendiri. Hill dan Plitnick menegaskan bahwa AS hanya mungkin berkepentingan dengan demokrasi yang tidak bertubrukan dengan kepentingan AS sendiri.
Selain menyoroti soal demokrasi AS yang bermasalah, buku ini mendorong dibuatnya kebijakan yang lebih keras terhadap pendudukan militer dan kebijakan pemukiman kolonial yang dilakukan Israel di tanah Palestina. Biden harus tegas pada Israel bahwa AS berkomitmen pada resolusi Dewan Keamanan PBB 2334. Resolusi ini menyatakan bahwa semua permukiman yang dibangun di Palestina, termasuk yang ada di Yerusalem Timur ialah ilegal. Resolusi ini juga menyerukan pembekuan segera pembangunan permukiman di wilayah tersebut.
Selain itu, dalam resolusi ini juga disebutkan bahwa permukiman yang dibangun Israel di tanah Palestina tersebut “tidak memiliki legitimasi hukum, dan merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional dan hambatan besar bagi visi dua negara yang hidup berdampingan dalam perdamaian dan keamanan, dalam perbatasan yang diakui secara internasional.”
Memang baru-baru ini ada perkembangan menarik. Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan sikap penentangannya terhadap kebijakan penghancuran rumah Palestina yang dilakukan oleh Israel. Pernyataan publik ini dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Antony Blinken. Blinken bahkan merinci keberatan Washington atas penghancuran rumah ini dan juga merinci lebih jauh penentangan Dewan Keamanan terhadap permukiman yang dibangun Israel. Sayangnya, AS tak cukup tegas. Kebijakan ini malah diabaikan secara terang-terangan oleh pemerintah Bennett/Lapid yang baru. Dan anehnya lagi, Israel malah terus mendapat lebih banyak dukungan dan bantuan dari AS daripada negara mana pun di dunia.
Biden dan Blinken harus menghadapi para pemimpin Arab dan Israel dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan selama enam bulan pertama pemerintahan. Demokrasi dan hak asasi manusia, serta penghormatan terhadap hukum internasional, harus menjadi tolak ukur utama bagi berhasil atau tidaknya Washington dalam berurusan dengan kawan dan lawan. Hanya ketika AS bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya, dunia, termasuk negara-negara otoriter dan kolonial seperti Israel, akan menganggap serius kata-kata ini.
Dengan tetap setia pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, Biden dapat mendorong demokrasi dan mewujudkan perdamaian yang dibangun di atas kebebasan berekspresi dan supremasi hukum bagi warga Palestina, Israel, dan semua warga dunia.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy