Bill Clinton, Hak Asasi TKI dan Soal Perlindungan Negara
Oleh: Hafid Abbas
Promotor Doktor Kehormatan Presiden Nelson Mandela dari UNHAS 2005
Pada 7 Juli 2022, Rektor UNJ, Prof Dr Komaruddin, MSi, kembali lagi mengukuhkan dua orang guru besar baru UNJ dari Fakultas Ilmu Sosial. Mereka adalah Prof Dr Muhammad Zid, Guru Besar Tetap bidang Ilmu Sosiologi Pedesaan; dan Prof Dr H M Tjipto Sumadi, MSi, Guru Besar Tetap bidang Ilmu Pendidikan Nilai Anak Usia Dini.
Dalam orasi ilmiahnya, Muhammad Zid mengangkat isu Kampung Migran Berdaya: Kajian Teoretis dan Praktis Terhadap Pemberdayaan Migrasi Internasional Perempuan Pedesaan Indonesia. Ia mengungkapkan data dominasi pekerja perempuan pada pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Meski di kalangan masyarakat Sunda, Jawa Barat, pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) keluar negeri masih dinilai tabu, namun hambatan itu diabaikan akibat kuatnya tekanan kesulitan ekonomi di pedesaan. Misalnya, di Kabupaten Cirebon sebanyak 2.624 TKI, 2.391 wanita (81,2 persen) dan 233 laki-laki (8,8 persen), di Subang di antara 1.558 TKI, terdapat 1.488 wanita (95,5 persen) dan 70 laki-laki (4,5 persen).
Pada 2014, diperkirakan terdapat 6,5 juta TKI sebagai buruh migran yang bekerja di berbagai negara. Malaysia terlihat menempati urutan teratas sebagai negara tujuan. Data menunjukkan 2,76 juta di antaranya bekerja di Malaysia dengan didominasi 86 persen TKW (Komnas HAM, 2014), dengan rata-rata berusia antara 21-35 tahun (99,9 persen). Keadaan yang relatif sama juga terjadi di Arab Saudi, dan di negara-negara lainnya.
Setiap tahun para TKI ini menyumbang devisa lebih seratus triliun rupiah, bahkan kini sudah mengungguli kontribusi Pertamina. Bank Indonesia (BI) mencatat pada 2021 pengiriman uang (remitansi) TKI ini mencapai USD9,16 miliar setara Rp 133,96 triliun. Dicatat oleh Zid bahwa pada Kuartal-II 2021 saja TKI ini menyumbang USD2,28 miliar atau setara Rp32,6 triliun (kurs Rp 14.300). Sementara Pertamina hanya menyumbang 126,7 triliun (Bisnis.com, 14/06/2021).
Namun, di balik kontribusi para TKI sebagai penyumbang devisa negara terbesar yang mengungguli Pertamina, setiap hari mereka dihadapkan pada berbagai kerentanan pelanggaran HAM mulai dari masa persiapan keberangkatan, dan penempatan hingga masa kepulangannya. Deputi Menko PMK Bidang Koordinasi dan Perlindungan Perempuan, Sujatmiko mengemukakan bahwa, TKI yang mengalami berbagai masalah hukum di luar negeri mencapai 1,8 juta orang dan masalahnya sangat beragam, ada over stay, pemalsuan dokemen, dsb (Tito.id, 11/5/2017).
Bahkan, di Malaysia saja terdapat sekitar 1.250.000 TKI yang bermasalah dengan hukum, dan di Arab Saudi mencapai 588 ribu kasus.
Kenyataan lain yang memprihatinkan, kematian WNI di Malaysia mencapai angka yang amat tidak wajar. Angka kematian TKI di Serawak saja, rata-rata mencapai 200 orang setiap tahun (Data KJRI Kucing, 2017). Sebelumnya, Migrant Care (2013) juga mencatat angka kematian di Malaysia yang mencapai 687 jiwa dengan beragam sebab, ada karena sakit (374), kekerasan (73), kecelakaan kerja (73), kecelakaan lalu lintas (87), jatuh dari ketinggian (23), tenggelam (14), kebakaran (3), bunuh diri (14), bencana alam (8), dan tidak diketahui (19).
Selain itu, pasca duka eksekusi hukuman pancung terhadap seorang TKI asal Madura, Muhammad Zaini Misrin di Arab Saudi, pada 18 Maret 2018, Migrant Care, mengingatkan Pemerintah Indonesia agar sungguh-sungguh memberi bantuan hukum bagi 202 TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati. Sebarannya, terdapat 148 orang di Malaysia, masing-masing tiga orang di Uni Emirat Arab dan Singapura, di Arab Saudi 21 orang, dan di China 27 orang. (DW.com, 20/03/2018)
Atas keprihatinan yang dalam terhadap besarnya jumlah TKI yang terancam humuan mati di Malaysia, pada 28 Janari 2015, sebagai Ketua Komnas HAM RI, saya mengirim pesan singkat kepada Wapres RI Jusuf Kalla. Isinya:
“Assalamu’alaikum Pak. Pagi ini kami bersama Suhakam Malaysia di KL membahas berbagai isu HAM kedua negara. Terdapat 168 WNI yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Malaysia, 124 terkait kasus narkoba, dan 42 sudah inkra yg sisa menunggu eksekusi (40 narkoba dan 2 kasus pembunuhan).
Sedangkan di pihak kita, 131 yg akan dieksekusi lagi, 5 di antaranya warga Malaysia. Kelihatannya pihak Malaysia akan membicarakan hal ini pada saat kunjungan Presiden ke Kuala Lumpur 5 Feb mendatang.
Kelihatannya Malysia sangat melunak, tidak akan mengeksekusi WNI kita.
Isu lain, Malaysia sangat prihatin dgn kasus penenggelaman kapal. Wass, Hafid”
Atas pesan singkat itu, Wapres Jusuf Kalla, memberi respon pada 1 Feb 2015, jam 4.11 sore pada saat saya sudah balik ke Jakarta.
“Pak Hafid, acara kita besok kita percepat jam 13 krn jam 14 ada acara dg Presiden, Wass JK.”
Urgensi saya menyampaikan pesan ini ke Wapres, tidak lain adalah adanya kekhawatiran jika Indonesia tergesa-gesa mengeksekusi 5 warga negara Malaysia yang sudah dijatuhi hukuman mati, maka tidak akan ada alasan bagi Indonesia untuk meminta Malaysia menunda eksekusi hukuman mati bagi 42 WNI.
Selanjutnya, pada 11 Juni 2015, bersama Dubes RI di Malaysia, Herman Prayitno, saya mengunjungi Penjara Tapah, Perak, Malaysia dan menemui para WNI yang sudah dijatuhi hukuman mati, dan berdialog dengan mereka untuk mendalami kasusnya masing-masing guna mencari upaya hukum agar mereka terbebas dari hukuman mati.
Keteladanan Bill Clinton
Di tengah keprihatinan yang dalam atas lemahnya perlindungan negara kepada para TKI sebagai Pahlawan Devisa negara, perlu dikenang dan ditiru keteladanan Presiden Bill Clinton bagaimana ia melindungi warganya.
Pada era kepemimpinannya sebagai Presiden AS, terdapat satu kasus tindakan kriminal yang dilakukan oleh seorang anak muda asal AS di Singapura. Anak itu bernama Michael Fay tertangkap tangan Polisi Singapura pada saat mencoret-coret mobil yang sedang diparkir di halaman satu apartemen pada Oktober 1993. Dengan perbuatan itu, ia akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman "canning" atau cambuk. Atas kejadian tersebut, Presiden Bill Clinton turun tangan dan meminta kepada Menteri Senior Lee Kuan Yew agar anak itu dapat dibebaskan dari hukuman cambuk karena dinilai kasus itu sebagai “minor incident” bukan kejahatan berat yang mengancam jiwa orang lain. Bahkan Clinton mengancam memutuskan hubungan bilateral antara kedua negara. Akhirnya anak itu mendapat keringanan dari hukuman cambuk itu.
Semangat seperti itulah sesungguhnya yang hadir dalam emosi kolektif pendiri bangsa ini. Cita-cita kemerdekaan sesungguhnya adalah untuk: "...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...".
Tidak boleh ada ratusan WNI yang meninggal amat tidak wajar setiap tahun di Malaysia, tidak boleh terjadi penganiayaan TKI di Arab Saudi atau di mana pun mereka berada. Negara harus bertanggungjawab atas keselamatan setiap WNI di mana pun ia berada.
Semangat ini diungkapkan pula oleh Tjipto Sumadi dalam orasi ilmiahnya, Pendidikan Nilai Membentuk Karakter Anak Indonesia. Dikemukakan bahwa negara harus hadir pada setiap warganya untuk membangun sikap nasionalisme (nationalism attitude) sebagai esensi konsep National Character Building, yang telah secara eksplisit dicantumkan dalam Pembukaan UUD NKRI 1945, dan pasal-pasalnya yang terkait.
Secara filosofis universal, sikap manusia yang berlandaskan tiga dimensi; logika, etika, dan estetika, perlu dilengkapi dengan dimensi spiritualita. Nilai-nilai itu tidak semata-mata terbentuk melalui transfer of knowledge lewat pendidikan tetapi hadir sebagai transformation of values, termasuk tegaknya kultur keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bill Clinton dikenang dan dicintai oleh bangsanya karena memberi keteladanan dalam pembelaan, perlindungan dan pemuliaan pada warganya apabila direndahkan martabatnya. Menarik dikenang tuturannya, contoh keteladanan kita lebih dikenang dibanding contoh kita berkuasa: “People are more impressed by the power of our example rather than the example of our power”