Bisnis dan Politik (Mengenang Yahya A. Muhaimin)

Saya tidak mengenalnya secara pribadi. Bahkan tidak pernah bertemu. Hanya sesekali saja mengikuti perkembangan beritanya. Terutama, pada saat beliau masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional di era awal reformasi dulu.

Satu-satunya “perkenalan” saya dengan beliau adalah melalui karyanya. Kebetulan, saya adalah pembaca salah satu buku yang beliau tulis, yaitu buku tentang studi ekonomi politik yang diberi judul “Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980”.

Judul asli buku ini adalah Indonesia Economic Policy, 1950-1980: The Politics of Client Businessmen. Diterjemahkan oleh Hasan Basari dan Muhadi Sugiono, dan diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta tahun 1990.

Tulisan ini, setidaknya saya tujukan untuk mengenang beliau, Yahya A. Muhaimin yang meninggal pada Rabu, 9 Februari 2022 di usia ke-79 tahun. Berdasarkan wikipedia, disebutkan bahwa almarhum meraih gelar sarjana pada tahun 1971 dari Universitas Gadjah Mada dan gelar doktor dari Massachusetts Institute of Technology pada tahun 1982. Sebelum diangkat menjadi menteri, ia adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Dikenal sebagai pakar politik dan militer.

Pengusaha Klien

Yahya A. Muhaimim, menggunakan istilah “pengusaha klien” (client businessmen) untuk menyebut suatu jenis kelompok pengusaha yang muncul di Indonesia semenjak merdeka. Ia, kelompok pengusaha jenis itu, lahir sebagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia pada masa-masa permulaan, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di tahun 1950-an.

Sebuah rancangan yang sangat nasionalistis diajukan. Namanya Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Ini merupakan ikhtiar awal yang kemudian ditempuh dengan kebijaksanaan ekonomi yang sangat ambisius, yang dikenal dengan nama Program Benteng.

Secara eksplisit, program ini ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi, serta menekan persaingan asing dan Cina. Kemudian, untuk selanjutnya program ini ditujukan untuk memperkecil ketergantungan Indonesia kepada kepentingan-kepentingan asing serta pengaruh ekonomi Cina.

Yahya A. Muhaimin menyatakan, masa penjajahan selama sekitar 344 tahun telah mewariskan kepada Indonesia suatu struktur perekonomian yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing dan para pedagang Cina. Perusahaan besar milik orang-orang Barat, terutama Belanda, mendominasi bidang-bidang seperti perkebunan, pertambangan, perdagangan luar negeri, industri dan perbankan. Tahun 1950, hanya 10 persen saja dari kekayaan swasta dalam sektor non-pertanian berada di tangan orang-orang Indonesia.

Golongan etnis Cina, yang pada tahun 1950 mencakup kurang dari tiga persen penduduk Indonesia dan yang sebagian besar dari mereka dilahirkan di luar negeri atau mengidentifikasikan diri dengan masyarakat Cina di Cina Selatan, menguasai sektor menengah, yang menjadi perantara antara perusahaan-perusahaan asing dengan orang-orang Indonesia pribumi.

Kebijaksanaan kolonial Belanda telah memberikan kepada orang-orang Cina kedudukan penting ekonomi menengah di dalam suatu susunan piramidal yang dinamakan “struktur kasta kolonial”, yang didasarkan pada suatu sistem stratifikasi sosial yang pada pokoknya bersifat rasial. Kelompok pedagang Cina menguasa industri kecil dan menampung hasil para petani kecil dan menguasai sebagian besar lalu lintas kegiatan pedagang kecil.

Walhasil, orang-orang Indonesia pribumi yang merupakan kelompok masyarakat terbesar, berada pada papan lapisan paling bawah dalam “masyarakat dualistis”, sebuah istilah yang dirumuskan oleh J.H. Boeke, seorang sarjana ekonomi politik Cambridge University. Pada “masyarakat dualistis” itu, gerak ekonomi orang-orang pribumi di dalam struktur ini dibatasi hanya pada sektor pertanian substitusi dan perdagangan kecil. Sedikit sekali orang-orang pribumi yang terlibat dalam kegiatan kewiraswastaan dan bisnis, sebagai sektor ekonomi modern.

Inilah yang kemudian menjadi persoalan utama periode pembenahan tahun 1950. Ketika dilancarkan upaya untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional, yaitu suatu dorongan yang kuat untuk memperbesar peranan ekonomi warga negaranya, yakni penduduk pribumi dalam pemilikan dan penguasaan aset produktif di luar pertanian substitusi, orang-orang Indonesia dihadapkan dengan dua masalah.

Pertama, jumlah orang Indonesia yang sudah terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit untuk dapat melakukan tugas merencanakan dan melaksanakan kebijaksanaan guna mendorong perkembangan suatu kelas penguasa golongan pribumi dan untuk mempercepat perbaikan ekonomi mereka.

Kedua, perusahaan-perusahaan milik orang asing dan orang Cina mendominasi sektor-sektor ekonomi modern, sedangkan orang-orang Indonesia tidak memiliki modal dan keterampilan berwiraswasta yang diperlukan untuk dapat bersaing secara ekonomis dengan mereka.

Suatu program yang sangat nasionalistis pun dilakukan, yaitu Program Benteng. Program ini dilakukan dengan jalan menyediakan lisensi impor, alokasi devisa dan kredit hanya bagi pengusaha-pengusaha pribumi. Sasaran utamanya adalah pembentukan modal yang cukup besar melalui kegiatan transaksi-transaksi impor, yang sangat menguntungkan untuk memungkinkan dimulainya usaha mendirikan industri-industri substitusi kecil-kecilan.

Namun, Program ini sangat cepat merosot. Ia akhirnya hanya menjadi praktik-praktik jual beli fasilitas antara birokrasi yang didominasi oleh partai-partai politik yang kebetuan sedang berkuasa dan para pendukung mereka yang menjadi klien-klien ekonominya.

Inilah studi yang dikembangkan oleh Yahya A. Muhamini tentang bisnis dan politik. Inilah awal mula bagaimana pengusaha klien muncul. Bahwa, sejak saat itu perkembangan pengusaha-klien berlangsung pada setiap periode sejarah politik Indonesia, bersamaan dengan pemerintah-pemerintah yang silih berganti berkuasa, yang mengembangkan berbagai kebijaksanaan proteksi.

Pertumbuhan penguasaha-klien ini makin dipercepat ketia Orde Baru, mulai memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968.

Pada dua undang-undang ini, diberikan kepada para pejabat pemerintah dan birokrat, wewenang yang besar dalam menentukan alokasi modal, kredit, konsensi dan lisensi bagi klien-klien tertentu. Dan, dua fenomena pun muncul pada masa Orde Baru itu.

Pertama, perekonomian berkembang dengan cepat dan pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat mengesankan; dan kedua, pada saat yang bersamaan bermunculan pengusaha-pengusaha klien dengan pesat pula!

 

Politik Rente

Studi tentang Bisnis dan Politik yang dilakukan Yahya A. Muhaimin, menjadi salah satu rujukan penting dalam studi-studi berikutnya. Terutama, tentang bagaimana “pengusaha-klien” bekerja dengan kekuasaan di Indonesia, yang di dalamnya adalah partai politik.

Dalam perkembangannya, bahkan ketika Orde Baru tumbang, dan kemudian berganti dengan orde yang lain, tidak serta merta “menumbangkan” para pengusaha klien ini.

Transfer kekuasaan pada 21 Mei 1998 menjadi penanda lahirnya Era Reformasi dengan kesan mendadak dan tidak terencanakan. Krisis ekonomi menjadikan negara Orde Baru yang sebelumnya sangat kuat berubah sebagai negara yang rentan secara ekonomi dan politik.

Akibat krisis ini, kelas penguasa mengalami guncangan hebat dan mengalami keretakan. Konsekuensinya, kelas penguasa yang ada rentan oleh perpecahan dan tergantikan oleh kelas penguasa yang lain. Catatan penting dari jatuhnya pemerintahan Soeharto adalah bukan semata-mata disebabkan oleh krisis 1997/1998.

Dalam studinya, Kacung Marijan (2010) mengungkapkan bahwa jika dirunut ke belakang, jatuhnya rezim Orde Baru dan terbukanya demokratisasi adalah puncak akumulasi dari gerakan-gerakan sosial politik menuju demokrasi di tengah himpitan kekuasaan yang otoriter.

Inilah kecenderungan utama yang membuat Indonesia terjebak dalam sistem politik otoriter sejak akhir 1950-an sampai akhir 1990-an, yaitu adanya sentralitas kekuasaan yang menguat pada pribadi, kelompok atau institusi.

Dan, inilah masalah yang belum selesai, bahkan hingga saat ini. Para pengusaha klien, bahkan telah berkembang luas, dengan apa yang kemudian dikenal sebagai politik rente. Politik dimana kekuasaan dan tujuan kesejahteraan, bisa ditransaksikan untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.

 

Referensi:

  • Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana
  • Muhaimin, A. Yahya. 1990. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Hassan Basari dan Muhadi Sugiono (Penj). Jakarta: LP3ES.

Lorem Ipsum

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved