Catatan Kritis terhadap Konsep Hakimiyyah Abu A’la Al-Maududi

Abu-l A’la al-Mawdudi merupakan intelektual muslim India yang seringkali dijadikan rujukan bagi gerakan-gerakan radikal berbasis agama. Banyak konsep yang dikemukakannya yang menemukan pengaruhnya pada ideologi yang digunakan oleh kelompok radikal. Al-Mawdudi, misalnya, memiliki konsep yang sampai saat ini dijadikan sebagai pandangan dunia kelompok radikal di berbagai belahan dunia: al-hakimiyyah. Al-hakimiyyah ialah kerangka pandang yang memosisikan kepemerintahan Allah dalam puncak tertinggi. Allah yang menciptakan semesta, mengatur dan menjaganya dan yang membuat undang-undang yang harus ditaati oleh umat manusia.

Para nabi ialah orang-orang yang bertugas untuk mengumandangkan kepemerintahan Allah ini. Konsep ini juga mengandung arti penolakan terhadap kepemerintahan manusia dan otoritasnya dalam membuat hukum dan undang-undang. Dan karena itu, orang beriman wajib mengubah dan menggantikan hukum ini dengan hukum Allah. Penolakan dan pembangkangan terhadap hukum yang dibuat oleh manusia bisa disebut sebagai bagian ketaatan kepada Allah SWT.

Al-Mawdudi menegaskan dalam al-Mustolahat al-Arba’ah fi-l Quran bahwa paham al-hakimiyyah berbasis pada prinsip “mencabut semua otoritas pembuatan hukum dan undang-undang dari tangan manusia, baik secara individual maupun secara social, dan tidak boleh seorang pun yang membuat hukum lalu mengajak manusia lain untuk mentaatinya.” Al-Mawdudi kemudian menentukan beberapa bentuk hukum yang dibuat oleh manusia seperti sekulerisme, nasionalisme dan demokrasi. Tiga hukum inilah yang menguasai kehidupan politik di Barat. Tiga-tiganya harus ditolak.

Berangkat dari kosmologi al-hakimiyyah ini, lahirlah konsep-konsep lainnya, konsep-konsep ini dikerangkakan oleh al-Mawdudi dalam bentuk oposisi biner atau dualisme kontradiktif, misalnya semua yang berasal dari kepemerintahan Allah ialah baik,  benar, petunjuk, iman, Islam. Sementara itu, hukum yang diproduksi oleh manusia ialah jelek, batil, keliru, sesat, kafir, jahiliyyah dan berbagai predikat negatif lainnya. Masing-masing oposisi biner ini bersifat mutlak dan tidak ada perantara.

Jadi misalnya, kebaikan dalam kosmologi al-hakimiyyah ialah kebaikan mutlak yang berasal dari Allah dan keburukan ialah keburukan mutlak yang berasal dari selain Allah. Jadi ada dua hal yang dipertentangkan di sini: kepemerintahan Allah dan kepemerintahan manusia, kepemerintahan agama dan kepemerintahan non-agama. Konsepsi ini menegaskan adanya konflik yang terus menerus antara peradaban Islam dan peradaban Jahiliyyah. Jadi jika seseorang berafiliasi kepada hukum selain yang ditetapkan oleh Allah, ia akan dianggap sebagai kafir dalam konsepsi al-hakimiyyah al-Mawdudi.

Di kalangan para pengamat terorisme, konsep ini sering dijadikan patokan radikal dan tidak radikalnya seseorang. Sebab itu, jika seseorang mempercayai konsep hakimiyyah secara konsisten, ia dapat dikategorikan sebagai penganut ideologi jihadis-salafis. Hal demikian karena dampak dari konsep ini sangatlah serius, yakni berupa pengkafiran terhadap segala bentuk hukum yang dibuat oleh manusia. Akan tetapi, hakimiyyah sebenarnya ialah kerangka pandang atau pandangan dunia yang melahirkan konsep-konsep turunannya seperti at-takfir, al-wala dan al-bara, jahiliyyah dan seterusnya.

Amman Abdurrahman  ketika mengkafirkan semua produk hukum yang dihasilkan oleh manusia, bukan oleh Tuhan, termasuk di situ UUD 45, Pancasila dan NKRI memiliki paham hakimiyyah ini. Amman juga mengkafirkan Abu Bakar Ba’asyir karena masih mengandalkan proses hukum dengan menggunakan pengacara. Menurut Amman, Ba’asyir telah menggunakan hukum selain yang ditetapkan oleh Allah, dan atas dasar itu, Ba’asyir yang juga memiliki cara pandang yang sama dengan Amman terkait UUD 45, Pancasila dan NKRI, tetap dianggap kafir. Inilah paham hakimiyyah, paham yang menemukan kerangka pandang filosofisnya di tangan Abu-l A’la al-Mawdudi.

Ketika paham al-hakimiyyah ini dijadikan kerangka pandang oleh seseorang dalam melihat dunia dan relasi di dalamnya, ada banyak persoalan yang cukup serius yang muncul di sini, salah satunya ialah problem pengkafiran semua sistem yang bukan berasal dari Allah. Seorang nabi pun, jika al-Mawdudi konsisten dengan konsep al-hakimiyyah-nya, akan bisa dikafirkan. Misalnya nabi Yusuf AS yang meminta untuk dijadikan menteri keuangan di kerajaan Mesir saat itu. Tentunya, al-Mawdudi akan memandang nabi Yusuf sebagai kafir karena beliau tunduk di bawah naungan sistem pemerintahan yang berbasis bukan pada pemerintahan Allah.

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa dalam konsep al-hakimiyyah, dikenal dualisme radikal: pemerintahan Allah yang islami dan imani dan pemerintahan manusia yang kafir-musyrik. Konsekwensinya, karena mencoba menawarkan diri untuk memegang urusan keuangan di pemerintahan yang bukan pemerintahan Allah, yakni kerajaan Mesir, Nabi Yusuf, paling tidak jika dibaca dalam kerangka al-hakimiyyah ala al-Mawdudi ini, bisa dikafirkan. Namun, alhamdulillahnya, al-Mawdudi tidak sampai sekonsisten itu. Paling tidak dalam karyanya yang berjudul as-Syaqiqani, Nabi Yusuf tidak dianggap kafir tapi seorang nabi yang dikator. Kediktatoran nabi Yusuf ini dimiripkan oleh al-Mawdudi sebagai kediktatoran Musolini di Italia.

إن مُطالبة سيدنا يوسف بمنصب وزير المالية كانت مطالبة الدكتاتورية ونتيجة لذلك كان وضعه يشبه جداً وضع موسوليني في إيطاليا الآن

“Permintaan Nabi Yusuf kepada Raja Mesir agar diangkat menjadi menteri keuangan ialah permintaan seorang dictator. Implikasinya, posisi nabi Yusuf sangat mirip dengan posisi Musolini di Italia sekarang.”

Tak hanya itu, Nabi Yunus dan Nabi Nuh pun tak lepas dari kritikan Abu-l A’la al-Mawdudi ini. Namun kritiknya ini tidak sampai ke arah pengkafiran. Mungkin kalau keduanya bukan nabi, nasibnya akan sama juga dengan manusia lainnya, yakni dikafirkan. Kita coba lihat kutipan dari kitab as-Syaqiqani ini:

إن سيدنا يونس عليه السلام كانت قد صدرت منه بعض التقصيرات في تبليغ الرسالة

“Nabi Yunus memiliki beberapa kekurangan dalam menyampaikan ajaran Allah.”

Bayangkan bagaimana al-Mawdudi bisa sampai berani mengkritik dakwah seorang nabi yang seharusnya ma’sum, dan itu artinya terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

Lebih parah lagi, Nabi Nuh dianggap oleh al-Mawdudi sebagai nabi yang dikuasai oleh sense kejahiliahan. Al-Mawdudi masih dalam kitab yang sama mengatakan demikian:

إن سيدنا نوح عليه السلام أصبح مغلوباً أمام نزواته وطغت عليه عاطفة الجاهلية

“Sesungguhnya nabi Nuh terkalahkan oleh kecenderungan-kecenderungan dirinya sehingga sistem kejahiliahan telah menguasai dirinya.”

Sekali lagi, penilaian al-Mawdudi ini terhadap para nabi lebih ringan daripada penilaiannya terhadap selain nabi. Jika selain nabi mungkin akan dianggap kafir, namun untuk para nabi ini al-Mawdudi hanya menyematkan kediktatoran terhadap nabi Yusuf, kurang radikal terhadap dakwah nabi Yunus, dan kejahiliahan terhadap nabi Nuh. Ini jelas pandangan yang sangat berani. Keberanian al-Mawdudi ini tentu berangkat dari kosmologi al-hakimiyyah yang dianutnya ini. Konsep inilah yang menjadi pandangan dunia bagi gerakan-gerakan kekerasan yang mengatasnamakan agama dan tentu hakimiyyah dengan pemaknaan seperti ini sangatlah berbahaya. Allahu A’lam.

Lorem Ipsum

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved