Dialektika Islam Dan Pancasila: Cara PPI Menjaga Pemikiran Jernih di Tengah Urusan Copras-capres

Ini, sebenarnya acara tasyakuran. Diselenggarakan oleh Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Karena ada empat profesor yang duduk berderet di bangku depan, lalu ada moderator, maka ini bukan lagi tasyakuran. Tapi, sudah menjadi diskusi panel.

Tema yang diperdebatkan pun serius dan menarik, yaitu: “Dialektika Islam dan Pancasila: Dulu, Saat Ini, dan Masa Depan”.

Begitu juga pembicaranya, cukup serius. Ada Prof. Zainuddin Maliki. Ada juga Prof. Ali Munhanif, Prof. Chusnul Mariyah dan Prof. Ma’mun Murod.

Acara digelar di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Hari Minggu, 19 November 2023. Hadir membuka acara, Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Anas Urbaningrum.

“Kita tidak bisa memastikan masa depan seseorang, sekelompok orang, atau segolongan orang dengan persis. Terkadang dibayangkan berkabut, tapi ternyata malah ada titik terang di situ. Atau, dibayangkan terang, tapi malah berkabut,” kata Anas Urbaningrum mengenai “jejak perjalanan” Profesor Ma’mun Murod, yang baru saja mendapatkan gelar Guru Besar Bidang Ilmu Politik.

Ya, Profesor Ma’mun Murod memang memiliki perjalanan –yang dulu– terlihat sebagaimana digambar Anas Urbaningrum: sedikit berkabut. Menjalani kehidupan sebagai santri, aktivis Muhammadiyah, hingga pernah berjuang bersama Anas Urbaningrum dan melahirkan banyak karya dan pemikiran akademik hingga meraih gelarnya saat ini.

Ini menunjukkan, kata Anas Urbaningrum: “Selalu tersedia ruang misteri di situ. Ruang misteri itulah yang selalu mengingatkan kita untuk tetap memiliki idealisme, dan berani ikhtiar.”

Dan, inilah yang menjadi perjalanan pemikiran yang digeluti oleh Prof. Ma’mun Murod dalam dunia akademis yang dijalaninya, yaitu tentang Pancasila.

Pancasila, menurut Anas Urbaningrum adalah isu yang menarik dan perlu terus-menerus dikaji. “Pancasila, kita terima sebagai pilihan ideologi terbaik, yang paling cocok, paling relevan. Ini kesepakatan bangsa kita. Tapi soalnya bukan di situ. Soalnya adalah bagaimana Pancasila diterjemahkan menjadi panduan riil dalam kehidupan sehari-hari. Dan, bagaimana panduan itu hidup?” katanya.

“Orang sering menyebutnya sebagai the living ideology. Ideologi yang hidup. Namun persoalannya sekarang: apakah Pancasila itu ideologi yang hidup dan menghidup-hidupkan seluruh kebangsaan kita sehingga perjalanannya sesuai dengan panduan nilai-nilai yang baik dan unggul mulia itu,” kata Anas Urbaningrum.

Dulu, pada masa Orde Baru, ada upaya yang namanya formalisasi ideologi Pancasila. Seluruh partai, seluruh ormas “dipaksa” untuk ideologi Pancasila. “Dulu ini penuh perdebatan. Tapi menurut saya, sekarang sudah selesai,” katanya.

Cuma, persoalannya sekarang, ketika Pancasila sudah menjadi ideologi seluruh bangsa, partai, ormas, justru yang terjadi di situ adalah “formalisme” ideologi. “Jadi Pancasila itu menjadi sekadar ideologi formal saja. Sampul saja,” katanya.

Nah, kalau ini yang kemudian terus-menerus, Pancasila ini tidak punya makna panduan nilai bagi perjalanan bangsa kita. Baik secara ideologi, secara politik, secara ekonomi, secara sosial, secara keseluruhan kebangsaan Indonesia.

“Kalau itu yang terjadi, berarti bangsa ini jalan ideologi formalnya Pancasila, tetapi jalannya mengambil ideologi yang serabutan,” katanya.

“Yang sering dikritik paling keras adalah ideologi ekonomi kita, yang sering dipandu oleh fundamentalisme pasar. Itulah yang menjelaskan mengapa isu keadilan ekonomi dan keadilan sosial selalu mempunyai relavansi yang sangat tinggi sampai sekarang,” kata Anas Urbaningrum.

Ideologi politik kita, menurut Anas Urbaningrum, dipandu oleh pragmatisme yang fundamentalis. “Bayangkan, pragmatik saja sudah repot. Pragmatik itu artinya tidak menjadikan basis nilai ideologi sebagai panduan. Pragmatik itu artinya tergantung arah angin. Pragmatik itu artinya dipandu semata-mata dipandu oleh kepentingan. Oleh interest. Bayangkan, bagaimana dengan pragmatisme yang fundamentalis?”

Contoh kecilnya, kata Anas Urbaningrum, bisa dilihat bagaimana proses koalisi politik terjadi dalam Pilpres maupun Pilkada. Itu, terlihat bahwa koalisi itu tidak dipandu oleh nilai. Tidak dipandu oleh ideologi. Tidak dipandu oleh cita-cita bersama. Tidak dipandu oleh kesamaan platform. Tidak dipandu oleh kesejajaran manifesto politik masing-masing partai.

“Panduannya betul-betul kesamaan kepentingan,” kata Anas Urbaningrum.

Inilah, yang menjadi tantangan bagi para ahli politik, untuk mengkaji isu ini secara sungguh-sungguh.

Sesuatu yang Belum Selesai

Diskusi ini menjadi menarik. Setidaknya, karena ada nuansa baru untuk menjaga pemikiran yang jernih dalam merespon situasi saat ini, yang sedang disibukkan dengan berbagai urusan “copras-capres”.

Prof. Ali Munhanif, dalam diskusi pembukanya menyampaikan bahwa, membincangkan Pancasila, memang sering terasa ada “sesuatu yang belum selesai”. Sebagai argumen, dia mengungkapkan bahwa ini terjadi karena sejak awal, Pancasila itu memang lahir sebagai “jalan keluar” dari situasi yang krusial.

“Sejak awalnya memang, dalam situasi yang krusial saat itu, keinginan para pendiri republik adalah berusaha untuk mencari satu ikatan persatuan,” katanya.

Dan, usaha itu dibangun atas dasar pertarungan ideologis yang sangat keras. Bahkan, sangat mematikan. Namum, karena harus diambil keputusan pada saat krusial itu, maka ada yang mengatakan bahwa solusi Pancasila saat itu adalah pragmatis, yaitu mencapai kemerdekaan.

Tentunya, semua pendiri bangsa saat itu berkeyakinan bahwa suatu ketika, diskusi dan perdebatan itu akan terselesaikan.

Karena itulah, menurut Prof. Ali Munhanif, “pekerjaan yang belum selesai” ini kemudian “dimanfaatkan” oleh setiap rezim yang berkuasa setelah kemerdekaan. Poinnya adalah, setiap rezim berusaha memanfaatkan “isu yang tidak selesai ini” untuk mencari pola sehingga lawan politiknya harus dipastikan sebagai “anti-Pancasila”.

“Contoh paling kecil adalah Orde Baru,” kata Prof. Ali Munhanif.

Pada masa itu, siapa yang berseberangan dengan rezim akan dianggap sebagai anti Pancasila. Karena itu, Prof. Ali Muhanif menilai bahwa Pancasila itu, di dalam dirinya sebenarnya mengandung perbincangan-perbincangan yang terus-menerus dinamis.

“Memang dia sifatnya the living ideology,” katanya.

Ini juga tidak lepas dari latar belakang lahirnya Pancasila itu sendiri. Dimana, pada masa itu, terutama pasca Perang Dunia II, semua negara terlibat dalam pertarungan ideologi. Terutama negara-negara baru, berada dalam suasana berada dalam situasi hampir perang saudara karena pilihan idelogi.

“Indonesia lain. Banyak usulan-usulan tentang ideologi. Tapi, para pemikir-pemikir politik kemerdekaan saat itu, umumnya ingin mencari dan menemukan suatu rekonsiliasi antar ideologi. Tapi tidak pernah ketemu. Sampai kemudian menemukan suatu corak pertemuan, yakni memberi ruang khasanah lokal, khususnya agama ke dalam rumusan ideologi. Sehingga di situlah aliran-aliran itu masuk dimana pada saat yang sama ditengahi oleh agama itu,” kataya.

Memang, kalau dilihat, diantara sila Pancasila tidak ada yang koheren. Tapi, di situlah aspek atau karakter Pancasila yang terus-menerus menjadikan dia sebagai the living ideology.

“Dia akan hidup terus,” katanya. Dan, sisi inilah yang terkadang menjadikan karakter hidup Pancasila itu sering “dimanfaatkan” oleh rezim-rezim untuk menjustifikasi kekuasaannya.

Dalam ujung diskusi, Prof. Ma’mun Murod menyatakan bahwa Pancasila sejatinya adalah filosofi. “Bung Karno menyebutnya sebagai philosophische grondslag,” kata Prof. Ma’mun Murod.

Namun, dalam beberapa rezim, yang dominan adalah wajah Pancasila sebagai ideologi. Sehingga, di situ Pancasila digunakan untuk “memukul” orang.

“Padahal, Pancasila itu sejatinya filosofi. Dasar negara. Jadi semestinya tidak masuk ke wilayah ideologi itu. Sehingga Pancasila menjadi open ideology. Ideologi yang terbuka,” katanya.

Namun, selama masa Orde Baru, Pancasila menjadi ideologi yang sangat tertutup. Sehingga tidak ada tafsir di luar Orde Baru.

Prof. Ma’mun Murod menilai bahwa ada dua hal yang bisa dilihat dalam Pancasila. Pertama adalah posisinya. Pancasila itu mengambil posisi tengah. “Dan tengah itu sikap mental. Bukan kepura-puraan. Sesungguhnya sikap tengah itu sikap mental. Dalam Islam disebut sebagai Wasathiyah,” katanya.

Umattan wasathan itu, atau umat tengahan itu, menurut Prof. Ma’mun Murod, adalah sikap mental yang tidak mengambil posisi yang ekstrem. Tapi tawasuth, posisi tengah. Artinya, tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan.

“Pancasila kalau dikaji serius sebagaimana dinamika perdebatan pada masa BPUPKI dan panitia sembilan, kalau kita lihat perdebatan Sukarno, Hatta dan kelompok-kelompok Islam, nagi saya, konteks Pancasila dalam konteks ini betul-betul jalan tengah. Betul-betul sikap tawasuth, yang moderat,” katanya.

“Pancasila dalam konteks yang terkait dengan sila pertama, bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini jalan tengah yang luar biasa. Bahwa Indonesia bukan negara teokratis, bukan sekuler. Indonesia adalah negara yang agamis. Ini pilihan terbaik. Termasuk dengan perkembangan dengan Indonesia sampai saat ini,” kata Prof. Ma’mun Murod.

Posisi kedua adalah kritik antara kapitalisme di satu sisi dengan komunisme di sisi yang lain. Menurut Prof. Ma’mun, kalau merujuk pada pemikiran Bung Hatta, maka wajah ekonomi Indonesia itu lebih ke sosialisme.

Karena itu, posisi Pancasila ada di tengah. Jadi, katanya, Pancasila itu mungkin seperti wajah ekonomi yang sedang berkembang saat ini, yaitu ekonomi pasar yang berwajah sosial.

“Jadi menurut saya, Pancasila itu jalan yang terbaik. Hanya problemnya ada pada aktualisasi. Dan, inilah tantangan ke depannya,” tandas Prof. Ma’mun Murod.(*)

Lorem Ipsum

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved