Diskusi Dialektika Institute: Moderasi Beragama dan Potret Intoleransi di Indonesia
Menjamurnya praktik intoleransi terhadap kelompok minoritas di berbagai wilayah di Indonesia seperti pemboman gereja, pembakaran rumah ibadah, aksi sweeping yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu mendorong Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy untuk menyelenggarakan diskusi moderasi beragama dan potretnya di Indonesia. Diskusi mingguan yang diselenggarakan pada hari Minggu (12/09/2021) ini bertemakan ‘Agama, Terorisme dan Intoleransi’.
Dalam diskusi virtual ini, turut hadir sebagai pembicara: Riski Gunawan (Ketua Pusat Moderasi Beragama UIN Bandar Lampung) dan Abdul Aziz (Direktur Riset Bidang Budaya dan Agama Dialektika Institute). Diskusi ini dimoderatori oleh Taat Budiono (Dosen Fakultas Sastra Universitas Pamulang dan Ketua Gerakan Literasi Sanggar Baca Jendela Dunia).
Riski Gunawan menjelaskan bahwa moderasi beragama ialah cara kita membangun sikap yang moderat dalam melihat relasi antar dan intra umat beragama. Menurutnya, moderasi beragama juga terletak pada sikap tidak mempertentangkan agama dengan bangsa, agama dengan keragaman dan agama dengan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Moderasi beragama juga, kata Riski, mengharuskan tiap individu untuk menyadari bahwa dirinya merupakan individu yang multi-agensi: individu sebagai penganut agama tertentu, individu sebagai warga bangsa tertentu dan individu sebagai pelaku budaya tertentu. “Seorang individu harus bisa menyeimbangkan peranan ini, dan tidak selalu memakai cara pandang agama dalam melihat berbagai permasalahan,” jelas Riski dalam diskusi virtual tersebut.
“Berbagai penelitian LSM-LSM di Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia saat ini sedang terancam bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme. Karena itu, kita perlu melakukan berbagai upaya untuk menangkal paham-paham yang akan merusak keutuhan NKRI kita,” lanjut Riski.
Sementara itu, Abdul Aziz dari Dialektika Institute memaparkan toleransi dari sudut pandang teoretis dan praktisnya dalam konteks Arab-Islam dan Islam Indonesia era colonial. Dari sudut pandang teoretis, Aziz mengemukakan dua literatur Islam yang cukup mewakili sikap yang ultra toleran terhadap yang lain: al-Futuhat al-Makkiyyah karya Ibnu Arabi dan al-Insan al-Kamil karya Abdul Karim al-Jili.
“Dalam kebanyakan pandangan ulama, toleransi boleh dilakukan tapi hanya dalam ranah muamalah, tidak dalam akidah. Namun al-Jili, pemikir Islam abad pertengahan, memiliki pemikiran yang cukup mendobrak pandangan seperti ini. Ia menegaskan bahwa toleransi bisa dalam ranah akidah,” jelas Aziz dalam diskusi tersebut.
“Misalnya, karena banyak sekali ditemukan praktik intoleran seperti pengeboman gereja, saya ingin menjelaskan bagaimana al-Jili dalam kitab al-Insan al-Kamil memaparkan bahwa Umat Kristen pun, kalaupun pandangan mereka keliru soal ketuhanan, tetap akan mendapat ampunan dari Allah lewat doa Yesus Kristus sendiri seperti yang dinarasikan kembali oleh surat al-Maidah: 118.” Jadi di sini, kata Aziz, ada sikap toleran yang cukup tinggi yang dirumuskan oleh Abdul Karim al-Jili dalam kitab al-Insan al-Kamil.
Aziz juga mencontohkan bagaimana Kyai Sadrach, Pendeta Jamaat Kristen Merdeka, di masa kolonialisme Belanda tidak dianggap sebagai kafir meski melakukan kristenisasi. “Pada masyarakat Nusantara, sebenarnya nilai toleran ini cukup tertanam, penyematan kata kafir saat itu hanya diperuntukan bagi Belanda sebagai penjajah”, jelasnya.
“Diskusi ini paling tidak secara akademis menumbuhkan sikap kesadaran yang tinggi bagi masyarakat untuk bersikap toleran dan menghilangkan praktik indiskriminasi dan intoleran terhadap kelompok minoritas,” jelas Taat Budiono ketika mengakhiri diskusi Mingguan Dialektika ini.