Diskusi Dialektika Institute:“Gender Equality di Tengah Gempuran Budaya Patriarkhi”
Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy kembali menyelenggarakan diskusi dwi mingguan. Kali ini, isu yang dipotret ialah problem ketimpangan gender dilihat dari sudut pandang linguistik dan sastra. Diskusi mingguan yang diselenggarakan pada hari Minggu (19/09/2021) ini bertemakan “Gender Equality di Tengah Gempuran Budaya Patriarkhi.” Hadir sebagai pembicara utama, Puri Bakthawar, Dosen Sastra Inggris Universitas Pamulang, Abdul Aziz dari Dialektika Institute sebagai pembicara kedua, dan Muhtar Nasir, Pimred Kliksaja, sebagai moderator.
Mengawali pembicaraannya, Puri menyajikan kemunculan beberapa tokoh dan gerakan perjuangan perempuan untuk kesetaraan dari Barat: Mary Wollstonescraft, George Eliot, Virginia Woolf, Simone de Bouvoir dan Suffragette. “Suffragette merupakan gerakan perjuangan perempuan di London tahun 1912 untuk mendapatkan hak memilih. Isu yang diangkat dalam gerakan ini ialah upah rendah, pelecehan di tempat kerja, ketiadaan hak pilih perempuan yang berimplikasi pada tiadanya pembelaan terhadap hak-hak mereka, ” jelas Puri.
Gerakan ini melakukan aksi protes dan civil disobedience terhadap pemerintah. Dan dalam perjalanananya, gerakan hak pilih atau Suffragette di negara Inggris ini cukup berhasil dalam menekan kebijakan pemerintah Inggris dan hak-hak perempuan pun mulai mendapat tempat.
Setelah menjelaskan figure dan peristiwa penting dalam perjuangan perempuan di Barat, Puri secara lebih jauh menjelaskan wacana perempuan dalam sastra dystopia. Sastra dystopia, jelas Puri, merupakan segala bentuk ekspresi dan narasi yang merupakan kebalikan dari sastra utopia. “Jika sastra utopia merupakan sastra yang merayakan pandangan yang optimistik, positivistik dan ideal terhadap perkembangan dunia, sastra dystopia menekankan pandangan yang skeptic, chaos, pesimis dan bahkan otoriter,” jelas Puri dalam diskusi virtual tersebut.
Lalu bagaimana dengan wacana perempuan dalam sastra dystopia? Puri menjelaskan bahwa pada mulanya sastra dystopia ini banyak didominasi oleh para penulis-penulis novel laki-laki sekaliber Yevgeny Zamyatin, Aldous Huxley dan George Orwell dengan menghadirkan tokoh utama laki-laki. Namun pada tahun 1985, muncul karya fiksi dystopia berjudul Handmaid’s Tale yang ditulis dari penulis perempuan, Margaret Atwood asal Kanada. Karya ini menandai gelombang kedua sastra Dystopia.
Sastra dystopia juga makin menampakkan tajinya di tahun 2000an. Pada decade ini muncul dua novel dystopia yang terkenal: The Hunger Games karya Suzanne Collins dan Divergent karya Veronica Roth. Jika gelombang pertama sastra Dystopia ditulis oleh para penulis laki-laki dengan tokoh-tokoh utamanya laki-laki, gelombang kedua ini didominasi para penulis perempuan dengan tokoh perempuan. “The Hunger Games dan Divergent menampilkan tokoh-tokoh utama perempuan yang kuat mengatasi persoalan-persoalan kompleks yang dihadapi,” jelas Puri.
Puri juga menegaskan bahwa wacana identitas perempuan tidaklah monolitik. Dalam arti, perempuan tidak dapat dipahami dalam atribut tunggalnya melainkan banyak atribut lain seperti kelas sosial, akses pendidikan, ideology dan factor-faktor lainnya yang menopang peranannya pada sektor public.
Sementara itu, Abdul Aziz, menyoroti problem ketimpangan gender yang melekat pada bahasa-bahasa yang seksis, bahasa yang mengunggulkan supremasi laki-laki di satu sisi dan menderogasi perempuan di sisi yang lain. Terinspirasi dari pandangan von Humboldt dan Herder soal determinasi bahasa terhadap pemikiran, Aziz memberikan contoh leksem dan bentuk gramatikal dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia yang menderogasi peranan perempuan. Menurutnya, banyak sekali dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris leksem-leksem yang sejatinya digunakan untuk merujuk pada binatang namun bisa digunakan untuk merujuk perempuan. “Ini artinya, dalam dua bahasa ini, perempuan seolah diposisikan sama seperti binatang dalam susunan the great chain of being,” jelasnya.