Diskusi Dialektika Institute:“Korupsi Politik dan Politik Kartel: Tantangan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”
Dua puluh tahun reformasi di Indonesia telah menyuburkan arus demokratisasi besar-besaran dalam sistem pemerintahan. Sistem reformasi membangun institusi-institusi politik secara signifikan yang dapat menopang bagi kehidupan demokrasi. Namun demikian, seiring dengan perkembangan yang cukup signifikan tersebut, nyatanya reformasi sampai saat ini belum sepenuhnya membawa perubahan yang signifikan bagi pemberantasan korupsi, terutama korupsi politik, suatu praktik yang sudah sekian lama menjamur dalam sistem kepartaian di Indonesia.
Berdasarkan pada fenomena ini, Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy tertarik untuk mendiskusikan lebih jauh fenomena korupsi politik di Indonesia. Tema yang diusung dalam diskusi yang diselenggarakan pada Minggu (03/10/2021) ini ialah Korupsi Politik dan Politik Kartel (Tantangan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia).
Hadir dalam diskusi kali ini, Muhammad Hanifuddin, pengamat politik dari The Political Literacy Institute, sebagai pembicara utama yang akan mengungkap lebih jauh korupsi politik di Indonesia dan Abdul Aziz dari Dialektika Institute sebagai pembicara kedua yang menjelaskan oligarki, partai kartel dan klientalisme politik di Indonesia. Acara diskusi ini dimoderatori oleh Muhtar Nasir, Pimred Kliksaja.
Dalam mengawali diskusi ini, Hanif menyampaikan bahwa tantangan terbesar dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia ialah korupsi. Hanif menyebutkan data dari Transparency International Indonesia tahun 2017 terkait Corruption Perception Index (CPI). Dalam data ini, Hanif menyebut ada 4 dari 9 composite index korupsi yang melibatkan institusi politik. Misalnya institusi seperti DPR indeksi korupsinya mencapai 54 persen, birokrasi mencapai 50 persen, DPRD mencapai 47 persen, dan kementerian mencapai 32 persen.
Hanif juga menyampaikan jumlah temuan penanganan kasus oleh KPK yang melibatkan aktor politik sebesar 35,87%. Aktor politik yang terjerat korupsi ini semuanya berasal dari partai politik yang dipilih melalui pemilu ataupun pilkada. Karena itu, menurut Hanif, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi pertama-tama harus difokuskan kepada partai politik. Karena, kader-kader partai politik akan dicalonkan untuk mengisi posisi di DPR, DPD, Kementerian dan berbagai institusi demokrasi lainnya.
Atas dasar ini, menurut Hanif, selain pembenahan internal, perlu juga adanya intervensi eksternal terhadap partai politik dalam mengurangi praktik korupsi. Dan usaha intervensi terhadap partai politik ini telah dilakukan oleh KPK sejak tahun 2013. Di tahun itu, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Deputi Bidang Pencegahan KPK telah mengadakan kajian yang mendalam terhadap partai politik. Pada tahun 2016-2017, penelitian ini, menurut Hanif, difokuskan untuk merumuskan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP). SIPP adalah seperangkat kebijakan yang dibangun oleh Partai Politik dan disepakati secara kolektif sebagai standar integritas yang harus dipatuhi oleh seluruh kader partai.
Dengan penerapan SIPP, Hanif berharap parpol dapat menghasilkan calon pemimpin yang berintegritas, meminimalkan risiko korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan, menjalankan instrumen kepatuhan terhadap sistem integritas partai, serta menghasilkan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
SIPP menurut Hanif merupakan hasil identifikasi KPK terhadap masalah utama yang menjadi factor utama rendahnya integritas partai politik. Hanif di antaranya menyebutkan bahwa belum adanya standar etika partai politik, tidak adanya sistem rekrutmen yang terstruktur, tidak adanya sistem kaderisasi yang berjenjang dan belum terlembaga merupakan factor yang perlu diperhatikan lebih jauh untuk melakukan intervensi terhadap partai politik, terutama dalam mencegah dan mengurangi korupsi. Hanif menekankan bahwa konsolidasi demokrasi di Indonesia dapat dilakukan dengan usaha-usaha untuk mencegah dan memberantas korupsi politik. Hanif berharap dengan berkurangnya praktik korupsi, konsolidasi demokrasi di Indonesia makin menguat.
Sementara itu, Abdul Aziz memperkuat kembali pandangan-pandangan yang dikemukakan Muhammad Hanifuddin soal konsolidasi demokrasi di Indonesia. Jika Hanif lebih fokus pada korupsi politik, Aziz lebih memfokuskan bagaimana korupsi politik tersebut digerakkan dan dihasilkan oleh trio perusak demokrasi di Indonesia: oligarki, partai kartel dan klientalisme politik. Menurut Aziz, jika demokrasi di Indonesia diibaratkan sebagai suatu hirarki kelas, maka upperclass demokrasi di Indonesia diisi oleh oligarki dan oligarkh, middle classnya digerogoti oleh kartel politik dan low class-nya dirusak oleh klientalisme politik. Aziz kemudian memperkuat kesimpulannya tersebut dengan mengutip pandangan Robinson, Vedi Hadiz dan Jefrrey Winters.
Ketiga pengkaji oligarki di Indonesia ini menyebutkan bahwa Indonesia pasca reformasi sebenarnya tidak pernah mengalami transisi demokrasi yang cukup signifikan. Pasalnya, lengsernya Soeharto diakibatkan oleh kemenangan para oligarkh yang dulunya dilindungi di Era Orde Baru, bukan civil society. Jadi reformasi tidak lain hanya dijalankan oleh oligarkh-oligarkh yang menguasai institusi-institusi demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru. Akibatnya, sistem politik di Indonesia yang awalnya dikuasai secara terpusat oleh oligarki sultanistik yang dipimpin oleh Soeharto, kemudian menyebar dan tidak terpusat ke oligarkh-oligarkh yang menguasai berbagai institusi demokrasi di Indonesia.
Di samping itu, kondisi seperti ini juga diperparah dengan adanya perilaku partai politik yang cenderung pragmatis. Aziz kemudian menggunakan pemetaan perilaku partai politik yang dilakukan Wolinetz untuk mengamati partai politik di Indonesia. Wolinetz memetakan perilaku partai ke dalam tiga bagian: vote seeking, office seeking dan policy seeking. Kecenderungan perilaku partai di Indonesia ialah vote seeking dan office seeking.
sejak tahun 2013 Akibatnya, terbentuklah kartel politik dimana partai-partai saling bekerja sama untuk meraup keuntungan lebih besar dengan dekatnya mereka ke sumber-sumber keuangan negara. Lalu di sini terjadilah praktik korupsi besar-besaran. Selain itu, fungsi oposisi dari partai yang kalah pemilu sebagai penyangga demokrasi dalam melakukan check and balance pun tidak cukup berarti karena sudah diajak untuk berbagi kue kekuasaan.
Selain kartel politik, demokrasi di Indonesia juga rusak oleh adanya klientalisme politik. Rakyat seolah sangat gampang sekali dijual suaranya oleh politisi-politisi yang memiliki kecenderungan vote seeking dan office seeking.
Namun, meski memiliki banyak kekurangan, Indonesia dinilai oleh kedua pemerhati politik ini sebagai negara yang cukup bagus untuk dijadikan model demokrasi bagi negara-negara lainnya.