Diskusi Dialektika: Oligarki Sultanistik, Membaca Perselingkuhan Kekuasaan dan Kekayaan dalam Perpolitikan Indonesia
Jeffrey Winter dalam artikelnya Democracy and Oligarchy in Indonesia menyebutkan bahwa ketidaksetaraan material secara ekstrim telah menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrim. Lebih tepatnya dikatakan bahwa kekayaan pada aspek ekonomi akan menghasilkan kekayaan pada aspek kekuasaan dan ketimpangan ekonomi akan menproduksi ketimpangan kekuasan. Inilah tesis utama yang dikemukakan Winters ketika menulis tentang oligarchy.
Maraknya praktik oligarki di dalam jagad perpolitikan Indonesia mendorong Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy untuk membedah teori oligarki dan praktiknya di Indonesia. Diskusi mingguan yang diselenggarakan pada hari Minggu (29/08/2021) bertemakan ‘Oligarki Sultanistik; Perselingkuhan Kekuasaan dan Kekayaan dalam Perpolitikan Indonesia’ menghadirkan Abdul Aziz (Dialektika Institute), Muhtar Nasir (Pemred Kliksaja) dan Yasin Mohammad (Direktur LSIN). Diskusi ini dimoderatori oleh Mheky Polanda.
Abdul Aziz, Direktur Riset Bidang Budaya dan Agama Dialektika Institute, menyebutkan bahwa bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer disebut oligarki.
Aziz lebih jauh menyebutkan bahwa titik tekan oligarki ialah pada bagaimana kekayaan digunakan untuk memperoleh kekuasaan dan selanjutnya bagaimana kekuasaan ini digunakan untuk mempertahankan kekayaan. “Jadi kata kunci oligarki terletak pada soal pemertahanan kekayaan (wealth defense),” jelasnya dalam diskusi virtual tersebut.
Sementara itu, Direktur LSIN, Yasin Mohammad, menjelaskan pembagian Jeffrey A Winters tentang oligarki. Yasin menyebutkan setidaknya terdapat 4 tipologi oligarki yaitu oligarki panglima (warring) yang terjadi di masa sebelum masehi yaitu perang kabilah dan suku-suku, oligarki penguasa kolektif (ruling) yang terjadi di masa Yunani Romawi, oligarki sipil (civil) yang terjadi di negara modern seperti Amerika dan oligarki sultanistik yang terjadi di Filipina dan Indonesia.
Yasin menambahkan, oligarki sultanistik di Indonesia dirancang oleh sosok Soeharto, melalui jargonnya ekonomi pembangunan. Soeharto membangun sistem kekuasaan dan pertahanan kekayaan pribadi dengan cara mengekstrasi sumber daya negara, sumber daya alam, dan merampas rakyat melalui pajak dengan tujuan memperkaya diri bersama para oligark.
“Melalui kekuasaannya Soeharto mengkondisikan politik dan hukum yang diarahkan kepada agenda-agenda pribadi dengan setting menjarah SDA, SD Negara, dan uang rakyat yang kemudian hasilnya dibagi bagi dengan para oligarkh,” jelasnya.
Muhtar Nasir, sementara itu, menjelaskan cara kerja kuasa oligarki dalam praktiknya di era pemerintahan pasca Soeharto. Muhtar menyebutkan bahwa oligarki sudah mencengkeram Indonesia. Menurutnya banyak produk hukum seperti Omnibus law merupakan pesanan dari para pelaku oligarkh untuk melanggengkan kekayaan dan kekuasaannya. Muhtar lebih jauh menjelaskan bagaimana para elit superkaya di Indonesia mengendalikan hampir semua lembaga dan institusi negara melalui kekayaannya.
Dalam diskusi tersebut juga disepakati bahwa demokrasi dan oligarki merupakan dua hal yang bertentangan namun bisa hidup berdampingan. Indonesia merupakan contoh bagaimana perselingkuhan kekayaan dan kekuasaan bisa dimungkinkan untuk menguntungkan segelintir orang-orang superkaya (baca: para oligark).