Dominasi Taliban dan Nasib Perempuan di Afghanistan Pasca Era Amerika

Pada awal bulan ini Presiden Joe Biden tetap dalam pendiriannya untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan. Biden meyakinkan rakyat Amerika dan dunia bahwa tidak ada lagi misi yang perlu dilakukan AS di Afghanistan. Biden juga menegaskan sudah saatnya AS mengakhiri 20 tahun perang di Afghanistan. Pangkalan Al-Qaeda di negara ini sudah dihancurkan dan pemimpinnya Osama bin Laden sudah terbunuh di Pakistan.

AS juga menyerahkan tugas dan beban berat keamanan ke pihak pemerintah Afghanistan yang masih lemah. “Amerika Serikat sudah melakukan apa yang perlu dilakukan di Afghanistan. Teroris yang menyerang AS pada 9/11 sudah ditaklukkan dan Osama bin Laden sudah mendapat ganjaran yang setimpal, dan AS juga sudah meminimalisir ancaman teroris dengan mencegah Afghanistan untuk menjadi basis serangan yang bisa melawan Amerika Serikat. Kami sudah mencapai tujuan tersebut. Itu sebabnya kami harus tinggalkan Afghanistan, ” kata Biden dari Gedung Putih.

Sesuai perintah Biden, sebagian besar pasukan AS telah meninggalkan pangkalan mereka di Afghanistan dua bulan sebelum tenggat waktu yang ditentukan. Biden seolah mengabaikan kekhawatiran komunitas intelijen AS tentang masa depan negara tersebut. Seolah tidak menghiraukan peringatan beberapa komandan militer, politisi, dan pakar terorisme bahwa pemerintah Afghanistan tidak akan mampu mengatasi kekuatan Taliban yang semakin besar tanpa dukungan senjata Amerika, Biden tetap bersikeras menyerahkan penuntasan persoalan tersebut kepada pemerintah Afghanistan.

Di lain tempat, selama berbulan-bulan, perwakilan tingkat tinggi pemerintah Afghanistan dan Taliban telah mengadakan pembicaraan di ibukota Qatar, Doha, dalam upaya untuk menemukan solusi damai dan membentuk masa depan politik negara itu. Pertemuan tingkat tinggi ini belum mencapai kemajuan sedikit pun. Bahkan saat ini, gerakan Islam radikal ini, yang pernah menjadi kendaraan politik Osama Bin Laden, bergerak secara lebih cepat dan telah menguasai lebih dari sepertiga distrik Afghanistan. Taliban juga mengusir lebih dari 270.000 warga sejak Januari lalu.

Selain itu, pejuang Taliban memperkuat cengkeraman mereka di tepi luar Kabul, menunggu waktu yang tepat untuk menghadapi pasukan keamanan Afghanistan. Beberapa pasukan reguler Afghanistan telah menyerah kepada Taliban di berbagai daerah di seluruh negeri. Setelah 20 tahun, satu triliun dolar dihabiskan dan 2.448 tewas dan 20.722 tentara AS yang terluka. Taliban memang menang dalam perang.

Sampai di sini, tidak ada harapan tersisa bagi para wanita dan gadis Afghanistan. Mereka seharusnya dapat menentukan masa depan mereka sendiri. Mereka seharusnya bisa bersekolah, mencari nafkah, dan hidup mandiri. Namun sekarang kehidupan mereka terancam jika Taliban kembali berkuasa.

Mantan Presiden George W. Bush, yang melancarkan perang melawan Al-Qaeda di Afghanistan pada tahun 2001 setelah serangan 11 September, pekan lalu menyampaikan kekhawatirannya tentang bagaimana Taliban akan memperlakukan orang-orang Afghanistan yang lemah dan tidak bersalah. “Saya khawatir wanita dan gadis Afghanistan akan menderita kerugian besar,” katanya dalam pernyataan politik yang jarang terjadi selama wawancara di televisi. Bush menyebut keputusan Biden sebagai “kekeliruan.”

Sejak 2016, beberapa penyiar televisi dan radio wanita telah dibunuh oleh orang-orang bersenjata yang tidak dikenal. Para hakim wanita juga dibunuh. Ada juga yang dibom di dalam mobil. Dalam satu insiden di bulan Maret, militan ISIS mengaku membunuh tiga wanita yang bekerja untuk sebuah stasiun TV di Afghanistan timur.

Dalam sejarahnya, wanita di Afghanistan pertama kali memperoleh hak untuk memilih pada tahun 1919 - setahun sebelum wanita di AS juga memperoleh hak pilihnya. Sejak saat itu, kaum wanita secara bertahap memperoleh lebih banyak hak politik sampai munculnya Taliban.

Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri AS pada awal 1990-an, 70 persen guru sekolah, 50 persen pegawai pemerintah dan mahasiswa, dan 40 persen dokter di Kabul adalah perempuan. Kemudian, antara tahun 1996 dan 2001, peranan wanita di sektor publik ini berhenti karena dilarang oleh pemerintahan Taliban.

Dalam pemerintahan Taliban,  perempuan menjadi sasaran berbagai pembatasan dan mereka sering menerima sanksi yang berat. Universitas dan sekolah untuk perempuan ditutup dan pekerja perempuan dipaksa berhenti dari pekerjaan mereka, sementara mereka juga tidak diberi akses untuk perawatan kesehatan dan gizi. Bush di satu sisi memang benar ketika menjelaskan kondisi perempuan di bawah kekuasaan Taliban dalam sambutannya di Konferensi Warsawa tentang Memerangi Terorisme pada November 2001.

Bush saat itu pernah mengatakan: Women are imprisoned in their homes and are denied access to basic healthcare and education. Food sent to help starving people is stolen by their leaders. The religious monuments of other faiths are destroyed. Children are forbidden to fly kites, or sing songs... A girl of seven is beaten for wearing white shoes (Perempuan dipenjara di rumah mereka dan tidak diberi akses ke perawatan kesehatan dasar dan pendidikan. Makanan yang dikirim untuk membantu orang yang kelaparan dicuri oleh pemimpin mereka. Bangunan keagamaan agama lain dihancurkan. Anak-anak dilarang menerbangkan layang-layang, atau menyanyikan lagu... Seorang gadis berusia tujuh tahun dipukuli karena memakai sepatu putih).

Sejarah akan segera terulang jika pemerintah di seluruh dunia, PBB dan organisasi non-pemerintah global tidak mengambil tindakan pencegahan. Hanya karena AS telah memilih untuk meninggalkan Afghanistan  dan karenanya mengabaikan hak wanita Afghanistan, itu tidak berarti seluruh dunia harus mengikuti AS. Suara para wanita ini harus didengar. Dalam pembicaraan di Doha, Qatar, mereka memang dilibatkan.

Keempat negosiator perempuan, yang merupakan anggota tim negosiasi pemerintah, harus diberdayakan untuk mempertahankan hasil jerih payah mereka selama 20 tahun terakhir untuk memperoleh hak-hak politik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Perempuan tidak boleh dibatasi hanya karena pemahaman agama yang sempit dan ideologi keagamaan yang ekstrim. Kaum perempuan harus tetap memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan mereka.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved