slot gacorslot pulsa 2024slot999pastigacor88ixplay88slot gacorslot gacorslotslot gacorslotslot gacorslot gacor 4dslot pulsaslot gacor terbaikslot dana
Empat Strategi Nabi dalam Bergumul dengan Tradisi Lokal - Dialektika Institute

Empat Strategi Nabi dalam Bergumul dengan Tradisi Lokal

Setiap agama tidak lahir dari ruang yang kosong. Agama lahir di masyarakat yang sudah memiliki adat istiadat dan sistem kebudayaan tersendiri. Tak terkecuali Islam. Islam merupakan agama yang lahir di dalam masyarakat Arab yang sudah menjalani praktik kebudayaan berabad-abad lamanya. Islam juga lahir di kalangan masyarakat yang sudah mengenal tradisi keagamaan yang berbeda-beda, dimulai dari politeisme yang dianut kaum musyrik Quraish sampai monoteisme yang dianut Yahudi, Kristen dan kelompok keagamaan Hanifiyyah. Singkat kata, Islam tidak lahir dalam ruang kosong melainkan muncul dalam konteks kebudayaan tertentu dengan sistem tertentu, yakni kebudayaan Arab.

 

Sebagai agama yang baru lahir, tentunya ada gesekan, konfrontasi, dialog maupun akomodasi terhadap kebudayaan yang menjadi tempat kelahirannya. Setidaknya dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal yang hidup di masanya ini, Nabi Muhammad SAW memberikan beberapa strategi dalam berinteraksi dengan budaya dan tradisi lokal. Strategi ini sejauh yang saya amati meliputi inovasi, konfrontasi, akomodasi dan restorasi. Kita akan perjelas lebih jauh masing-masing strategi ini.

 

Inovasi

Kebudayaan bukan merupakan sesuatu yang diwarisi saja secara turun temurun. Kebudayaan merupakan suatu entitas yang dapat diciptakan, dikreasikan dan bahkan diinovasi secara berkelanjutan. Ini yang kemudian disebut sebagai dinamisme kebudayaan. Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya banyak menciptakan, memproduk dan memberikan terobosan baru dalam kebudayaan Arab. Misalnya, bangsa Arab saat itu dikenal sebagai bangsa yang ummi, buta huruf. Orang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis pada masa ini sangat minim. Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah menjelaskan secara gamblang tentang iliterasi bangsa Arab ini. Namun, di era Islam, Nabi mengenalkan tradisi baru, tradisi literasi yang mendorong bangsa Arab untuk mampu membaca dan menulis dengan pesan wahyu berupa iqra (bacalah). Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi pun berasal dari akar kata yang menunjuk arti ‘membaca’.

Nabi juga mensunnahkan umat Islam di masa itu untuk mempelajari ilmu dari berbagai macam kebudayaan, termasuk Cina. Ada hadis yang cukup terkenal: tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Dengan pesan ini, Nabi membuka secara lebar-lebar cakrawala tradisi Arab yang sempit dalam sekat-sekat kesukuan. Nabi mendorong mereka mengambil semua yang baik dari berbagai kebudayaan yang berbeda-beda. Watak dan sifat keterbukaan inilah yang kemudian membawa bangsa Arab menjadi bangsa yang memiliki kebudayaan tingkat tinggi. Semua ini berkat inovasi besar-besaran yang diciptakan Nabi dalam kebudayaan Arab yang pada masa itu merupakan kebudayaan yang sangat terbelakang.

 

Konfrontasi

Konfrontasi atau negasi merupakan strategi Nabi dalam berinteraksi dengan tradisi lokal Arab yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Jika ada tradisi yang bertentangan dengan Islam yang diajarkannya, Nabi biasanya mengubahnya dengan cara-cara yang lapang dan toleran, dan bergradasi. Beliau tidak mengubah tradisi tersebut dengan cara-cara revolusioner melainkan dengan cara yang evolutif dan bergradasi. Dan terkadang dalam beberapa hal, beliau hanya membiarkan saja jika tradisi tersebut susah untuk diubah dalam waktu dekat dan menyerahkannya kepada waktu. Hal demikian dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kemaslahatannya.

Misal, tradisi buruk yang sering dilakukan oleh masyarakat Arab saat itu ialah sering meminum arak. Nabi tidak langsung mengubahnya secara total melainkan bergradasi. Hal demikian seperti yang tercermin dalam beberapa ayat yang melarang minum arak, sebuah tradisi yang secara tradisional mengakar di masyarakat Arab dan menjadi kebanggaan di masa itu. Ayat-ayat yang melarang arak turun secara bertahap. Ayat-ayatnya dimulai dengan QS. al-Baqarah: 219, QS. an-Nisa': 43, lalu QS. al-Maidah: 9.

Dalam kasus berikutnya, Nabi melarang praktek riba secara bertahap. Seperti yang terjadi pada pentahapan larangan arak, maka riba juga memiliki tahapan yang sama. Larangan riba diberikan secara bertahap dari mulai QS. Ar-Rahman: 39, kemudian disusul QS. An-Nisa': 160-161, kemudian disusul dengan QS. ali-Imran: 130, dan QS. al-Baqarah: 278-279. Jadi, riba jelas larangannya. Hal ini terungkap dalam sejarah jahiliyyah di Arab/Mekah saat itu.

Orang Arab sering melakukan riba untuk memperpanjang batas waktu dan menambah jumlah pinjaman uang yang jumlahnya sangat banyak pada akhir masa pinjaman. Peminjam akan mengembalikan kepada orang yang meminjamkan dua kali lipat atau lebih dari jumlah pokok yang dipinjamkan. Riba dan minum arak dihapuskan, atau meminjam bahasa artikel ini, dinegasikan secara bertahap dan evolusioner.

Selain itu, Al-Qur'an juga menghapus perbudakan yang sudah berlangsung lama dengan cara membebaskannya, baik melalui mekanisme penghukuman bagi pelanggar sumpah, orang yang berjimak dengan istrinya di bulan Ramadhan, maupun dengan partisipasi umat Islam sendiri untuk membebaskannya dari pemiliknya. Membebaskan budak merupakan kebajikan yang nilai pahalanya cukup besar. Inilah tradisi Arab yang dilawan oleh Nabi dan penghapusan tradisi ini dilakukan secara bertahap dan tidak sekaligus. Dan dalam sejarahnya, penghapusan perbudakan ini baru berhasil secara umum di era modern.

Ada juga tradisi lama Arab yang meski Nabi menentangnya namun beliau tangguhkan perbaikannya. Nabi misalnya hendak mengubah bangunan ka’bah sesuai dengan gaya bangunan yang pertama kali dibangun Ibrahim, namun hal ini tidak dilakukannya karena khawatir akan ada gejolak besar dari masyarakat Arab Quraisy yang baru masuk Islam. Padahal nabi punya power untuk melakukan itu pasca Fathu Makkah dan akhirnya Nabi hanya membiarkan saja sampai akhirnya, kata Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah, di zaman Ibnu Az-Zubair baru bangunan Ka’bah ini diubah sesuai yang diinginkan Nabi.

 

Akomodasi

Yang dimaksud dengan akomodatif di sini ialah bahwa Nabi menyerap nilai-nilai dan tradisi lokal Arab yang mengandung nilai-nilai yang baik lalu menjadikannya sebagai bagian dari sunnah yang baik. Dengan kata-kata lain, Islam merupakan agama yang sangat akomodatif terhadap tradisi dan kebudayaan selagi tradisi ini mengandung nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Ada beberapa hadis Nabi yang menunjukan strategi akomodatif yang dilakukan Nabi dalam menyikapi tradisi yang baik ini. Sebagai misal, hadis tentang kegemaran Nabi mengikuti gaya rambut ala Yahudi dan Kristen. Kita sebut saja beliau sangat akomodatif terhadap tradisi Yahudi dan Kristen. Hadis tentang Nabi salat di masjid menggunakan sandal. Hadis ini mengikut tradisi di masa itu dimana tempat peribadatan masih berupa pasir, dan tidak seperti lantai yang ada di masjid-masjid saat ini. Bayangkan jika kita gunakan sandal di masjid mengikuti praktik Nabi di masa itu, kita pasti akan ditimpuk banyak orang.

Ada juga hadis yang terkenal dengan sebutan hadis Ummi Zara yang berisi tentang pengidolaan tokoh-tokoh kebaikan dari masa silam dan dari beragam kebudayaan dan agama di luar Islam. Siti Aisyah sangat menggemari kisah yang lahir dari tradisi Jahiliyyah ini. Dari kisah ini, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari memberikan pandangannya bahwa pengidolaan tokoh-tokoh kebaikan di masa silam merupakan sunnah Nabi. Jadi dalam konteks modern, misalnya, kita kagum pada tokoh-tokoh yang mendirikan negara ini serta mengidolakan mereka dalam konteks kebaikan sangatlah dianjurkan dan bahkan masuk ke dalam kategori sunnah Nabi.

 

Restorasi

Yang dimaksud dengan restorasi di sini ialah gabungan dari sikap akomodatif dan inovatif: mengakomodir satu elemen budaya dan menghapus serta mengganti elemen yang lainnya dengan elemen budaya yang lebih baru. Sebagai contoh, banyak konsep Islam berasal dari tradisi Jahiliyyah, misal kata Allah, merupakan istilah yang berasal dari tradisi Jahiliyyah dengan arti Tuhan yang memiliki anak-anak perempuan berupa malaikat. Dalam sumber lain, Allah itu dikonsepsikan sebagai dewa air. Nabi mengakomodasi kata Allah ini untuk merujuk kepada Tuhan yang disembahnya. Namun kata Allah tidak cukup hanya diakomodasi melainkan juga direstorasi sehingga dihilangkan aspek-aspek kesyirikannya lalu dibubuhi dengan konsep-konsep tauhid. Singkat kata, kata Allah setelah mengalami proses islamisasi mengandung makna tauhid dan tidak lagi mengandung unsur kesyirikan.

Contoh lain yang bisa dikemukakan terkait strategi restoratif yang ditawarkan Nabi dalam sunnah kebudayaan ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya. Hadis ini diriwayatkan dari seorang sahabat nabi bernama Buraidah yang meriwayatkan demikian:

“Pada zaman Jahiliyah, ketika di antara kami ada yang melahirkan anak, kami akan menyembelih satu ekor kambing, lalu kepala si bayi dioleskan dengan darah kambing tersebut. Namun ketika Islam datang kami menyembelih satu kambing, mencukur rambut bayi, dan mengoleskan minyak za’faran pada kepala bayi.”

Lewat hadis ini, dapat diketahui bahwa pada zaman jahiliyah, menyembelih kambing untuk menyambut lahirnya bayi merupakan tradisi Arab yang sudah mengakar. Pada masa itu, kambing itu disembelih lalu darahnya diambil dan dilumurkan pada kepala bayi yang baru lahir. Nabi Muhammad SAW mengakomodasi tradisi seperti ini secara tidak total. Nabi merestorasi beberapa elemennya.

Tradisi menyembelih kambingnya tetap diakomodasi (akomodatif), sedangkan tradisi melumuri rambut kepala bayi dengan darah kambing dihilangkan dan diganti dengan sesuatu yang baru (inovatif) yakni dengan cara mencukurnya. Nabi Muhammad memerintahkan rambut bayi yang baru lahir dicukur saat penyembelihan hewan akikah. Contoh ini menunjukkan strategi Nabi yang akomodatif sekaligus inovatif terhadap tradisi atau budaya lokal. Gabungan dari akomodatif dan inovatif ini disebut juga restoratif.

Demikianlah empat hal yang bisa dianggap sebagai strategi Nabi dalam berinteraksi dengan kebudayaan lokal. Empat strategi ini bisa digunakan sebagai kacamata baru dalam menghadapi tradisi dan budaya lokal di Indonesia, terutama tradisi yang pernah diciptakan, diakomodasi, dan direstorasi oleh Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Indonesia.

 

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved