Epistemologi Ibnu Khaldun: Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menjadi Aqli dan Naqli
Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah, mengklasifikasikan pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi tiga:
Pertama, pengetahuan rasio yang sumbernya ialah realitas inderawi dan tumpukan pengalaman. Kedua, pengetahuan jiwa yang sumbernya ialah wahyu. Pengetahuan wahyu ini hanya diberikan kepada orang-orang pilihan yang jiwanya dipenuhi oleh manifestasi sifat-sifat ilahi. Ketiga, pengetahuan jiwa yang sumbernya ialah mujahadah atau olah jiwa atau olah batin secara terus menerus atau melalui latihan-latihan. Pengetahuan jenis ini dimiliki oleh orang-orang sufi, para dukun dan para peramal dan semua pengetahuan yang diperoleh melalui mimpi yang benar (ar-ru’ya as-salihah).
Seharusnya, jika konsisten dengan tiga jenis klasifikasi pengetahuan di atas, Ibnu Khaldun akan juga membagi ilmu menjadi tiga macam. Namun, hal demikian tidak dilakukannya. Ibnu Khaldun malah lebih mengadopsi klasifikasi ilmu yang popular di kalangan pemikir Islam saat itu; yakni, klasifikasi berbasis pada ilmu naqli dan ilmu aqli.
Berbasis pada dua klasifikasi ini, Ibnu Khaldun memperluas ilmu-ilmu aqli sehingga meliputi filsafat, astrologi, kimia dan ilmu sihir meski beberapa ilmu yang dikategorikannya sebagai aqli ini tidak masuk ke dalam kerangka pengetahuan yang bisa dibenarkan, yakni yang ditentukan batasan-batasannya oleh panca indera dan pengalaman.
Tak hanya itu, Ibnu Khaldun juga bahkan memperluas ilmu-ilmu naqli sehingga meliputi ilmu tasawwuf dan ilmu tafsir mimpi, meski keduanya tidak berbasis pada wahyu. Keduanya dikategorikan sebagai ilmu naqli hanya karena wahyu mengakuinya sebagai sejenis ilmu.
Namun demikian, kendati berbasis kepada dua kategori aqli dan naqli, tetap saja klasifikasi ilmu menjadi dua macam ini tidak cukup memenuhi tujuan Ibnu Khaldun sendiri yang berambisi untuk menjelaskan semua fenomena kebudayaan dalam berbagai bentuknya.
Ibnu Khaldun sangatlah ambisius. Beliau berambisi untuk bisa menafsirkan berbagai macam fenomena social, ekonomi, politik dan lebih-lebih lagi kebudayaan. Dalam budaya pengetahuan, ada ilmu-ilmu yang tidak bisa dikategorikan ke dalam aqli dan naqli ini seperti ilmu bahasa, ilmu sastra, balaghah dan seterusnya. Ilmu-ilmu ini bukanlah ilmu naqli dan juga bukan pula ilmu aqli.
Agar ilmu-ilmu ini memiliki tempat dalam epistemologinya, Ibnu Khaldun mengadopsi kategori lain, kategori ilmu tambahan, yang tidak berbasis pada sumber pengetahuannya (akal atau wahyu), tapi berdasarkan kepada fungsinya dalam dunia pengetahuan secara umum. Demikianlah, menurut Ibnu Khaldun, ilmu jika dilihat secara fungsinya, dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
Pertama, ilmu yang berdiri sendiri seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu kalam, fisika dan metafisika dalam filsafat.
Kedua, ilmu bantu seperti ilmu-ilmu yang berkenaan dengan bahasa Arab sebagai ilmu yang membantu kita untuk memahami ilmu syariat dan ilmu logika sebagai ilmu bantu kita untuk memahami persoalan-persoalan filsafat.
Ibnu Khaldun pertama-tama mengupas ilmu-ilmu naqli dengan analisis dan ulasan sejarah perkembangannya. Kedua, Ibnu Khaldun mengupas ilmu aqli dan ketiga, Ibnu Khaldun mengulas ilmu-ilmu bantu. Karena sudah terlebih dahulu membahas dan mengupas logika dan matematika dalam pembahasan ilmu-ilmu aqli, dalam pembahasan tentang ilmu bantu, Ibnu Khaldun membatasi pembahasannya pada ilmu bahasa, nahwu, bayan dan sastra. Semua ilmu ini ialah ilmu bantu yang dianggap sebagai sarana untuk memahami ilmu-ilmu syariat.
Layaknya seorang sejarawan ide-ide, Ibnu Khaldun mengulas, menganalisis dan memaparkan perkembangan ilmu-ilmu yang sampai di masanya. Selain memaparkan objek pengetahuan dan persoalan-persoalan penting yang menggayut di dalam ilmu yang dibahas, Ibnu Khaldun juga menyajikan fase-fase perkembangan kesejarahannya, menyebutkan para pakarnya, dan karya-karya yang penting yang pernah ditulis. Menariknya, semua itu disajikan dengan gaya pemaparan yang objektif dan netral.
Tak cukup sampai di sini, Ibnu Khaldun juga memberikan kritik-kritik epistemologis yang cukup tajam dan mendalam terhadap beberapa ilmu yang diulasnya. Ibnu Khaldun mengulas prinsip-prinsip yang melandasi suatu ilmu, membahas aksioma-aksiomanya, metodologinya, serta hasil analisisnya.
Ringkasnya, Ibnu Khaldun terkadang juga mempertanyakan kepastian hasil analisis dari ilmu-ilmu yang dibahasnya. Ilmu-ilmu yang dikritik basis-basis epistemologisnya ini meliputi ilmu kalam, filsafat, astrologi, kimia, dan ilmu sihir. Semua ilmu yang mengulas tentang metafisika, baik untuk mengetahui entitas-entitas yang ada di dalamnya maupun untuk mengamati pengaruh-pengaruhnya, yang tidak berbasis pada batasan dan jangkauan perangkat epistemologisnya dikritik secara tajam dan mendalam oleh Ibnu Khaldun.
Memang benar jika dalam kritiknya terhadap berbagai macam pengetahuan ini Ibnu Khaldun berbasis pada cara pandang al-Asy’ariyyah. Pandangan ini bisa saja benar namun hanya sebagian saja. Benar bahwa Ibnu Khaldun mengadopsi sikap Asyariyyah pada umumnya ketika membandingkan berbagai pandangan dan mazhab, yakni ketika dalam perspektifnya, Ibnu Khaldun perlu mengambil sikap agar si pembaca tidak dibiarkan sendirian saat berhadapan dengan pandangan-pandangan yang saling bertentangan.
Namun terlepas dari itu semua, kita dapat lihat bahwa kritik Ibnu Khaldun terhadap pengetahuan lahir dari standar ilmiah yang dibuatnya, yakni standar yang lahir dari teorinya tentang pengetahuan yang berbasis pada dualisme rasio dan jiwa sebagai dua sumber pengetahuan sekaligus sebagai perangkat epistemologis dalam pemerolehan pengetahuan.
Yang terpenting di sini ialah bukan soal adopsi atau tidaknya terhadap cara pandang Asyariyyah. Yang terpenting ialah bagaimana kritik Ibnu Khaldun terhadap pengetahuan ini sangat bersesuaian dengan cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan pengetahuan. Cara pandang seperti ini ialah cara pandang yang begitu maju, cara pandang yang rasionalis dan serta memiliki semangat anti irasionalisme.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy