Epistemologi Ibnu Khaldun: Ulasan mengenai Peranan Rasio dan Jiwa dalam Pemerolehan Pengetahuan

Ibnu Khaldun di kalangan para ahli lebih banyak dikenal sebagai perintis sosiologi dalam kebudayaan Arab Islam. Tak hanya itu, lewat telaahnya terhadap sejarah masa silam, Ibnu Khaldun dikenal juga sebagai filosof sejarah. Namun ada satu hal yang luput dari pengamatan para pemerhati Ibnu Khaldun, yakni ulasan epistemologisnya yang dapat kita temukan di sela-sela ulasannya tentang pengetahuan dalam kebudayaan Islam.

Baiklah sebelum kita mengulas secara ringkas epistemologi yang khas khaldunian ini, saya sajikan terlebih dulu pandangan dunia yang menjadi basis utama bagi epistemologinya ini.

Ibnu Khaldun dalam karyanya al-Muqaddimah menyajikan konsepsi tentang kosmos yang sangat sederhana namun menarik. Konsepsi Ibnu Khaldun tentang kosmos berbasis pada pemisahan dua alam: alam materia yang dapat terpahami oleh indera dan alam spiritualia yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Kosmos dengan dua jenis pembagian ini, menurut Ibnu Khaldun, tidak lebih dari rangkaian entitas yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya: dimulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, sampai ke malaikat dan Tuhan.

Entitas-entitas yang ada dalam rangkaian hirarki wujud ini, kata Ibnu Khaldun, “memiliki potensi alami untuk berevolusi menjadi entitas lain yang ada di sekelilingnya, baik yang di atasnya maupun yang di bawahnya (misalnya manusia, bisa jadi hewan atau malaikat), dan dalam potensi untuk berevolusi ke salah satu dari dua rangkaian ini, terdapat makna hubungan.”

Jadi puncak evolusi tembaga misalnya memiliki hubungan dengan tahap awal tumbuh-tumbuhan dan tembaga memiliki potensi untuk berevolusi menjadi tumbuh-tumbuhan. Sedangkan puncak akhir perkembangan tumbuh-tumbuhan memiliki hubungan dengan awal perkembangan hewan, dan berpotensi untuk berevolusi menjadi hewan. Lebih jauh lagi, ujung perkembangan hewan memiliki hubungan dengan awal perkembangan manusia, dan bahkan bisa berpotensi untuk menjadi manusia.

Karena itu, seolah seperti menegaskan teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia saat ini sebenarnya berasal dari evolusi kera, Ibnu Khaldun sebenarnya sudah mengatakan dari awal bahwa kera bisa menjadi manusia (lihat Pandangan Ibnu Khaldun tentang teori Evolusi).

Dan manusia sendiri, kata Ibnu Khaldun, memiliki hubungan dengan alam spritualia, dan memiliki potensi secara alami yang memungkinkan dirinya terlepas dari ikatan-ikatan kemanusiannya, lalu meningkat ke alam malaikat, dan dari alam ini, ia dapat menerima ilmu-ilmu pengetahuan, baik secara total ataupun tidak. Jiwa manusia di alam spiritualia ini dapat menerima pancaran pengetahuan baik secara pasif maupun aktif. Itulah yang sering disebut wahyu bagi para nabi dan kasyaf bagi kaum sufi.

Melalui deskripsi singkat ini, jelaslah bahwa manusia dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan pusat kosmos. Dan karena berkedudukan sebagai pusat kosmos, manusia dapat berhubungan dengan dua alam sekaligus: alam materia melalui tubuh dan panca inderanya dan alam spiritualia melalui ruh dan jiwanya.

Dan setiap rangkaian entitas dalam hirarki wujud, kata Ibnu Khaldun, akan selalu tunduk di bawah pengaruh entitas yang berada di atasnya: tumbuh-tumbuhan tunduk di bawah pengaruh hewan, hewan tunduk di bawah pengaruh manusia, dan manusia tunduk di bawah pengaruh alam malaikat dan seterusnya.

Karena berkedudukan lebih tinggi dalam hirarki kosmos, manusia dapat menancapkan pengaruhnya terhadap entitas-entitas yang berada di bawahnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan dan dapat menundukkan entitas-entitas tersebut untuk kepentingannya. Sementara itu, secara bersamaan pula, manusia tunduk di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang ada di atasnya. Ringkasnya, alam bawah tunduk di bawah pengaruh alam atas.

Dan karena posisinya berada di antara dua alam, alam materia dengan tubuh dan inderanya dan alam spritualia dengan ruh dan jiwanya, manusia dapat mengendalikan dan mengarahkan pengaruh alam atas ini kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam bawah. Misalnya manusia, melalui relasinya dengan alam atas, dapat mendatangkan peristiwa-peristiwa luar biasa seperti mukjizat, karamah dan sihir di alam bawah.

Lalu apa kaitanya penjelasan mengenai macam-macam jiwa manusia ini dengan epistemologi Ibnu Khaldun?

Karena posisinya berada di antara dua alam; alam materia dan alam spiritualia, manusia berpotensi dapat memperoleh pengetahuan dari dua alam ini secara sekaligus. Sebab, kata Ibnu Khaldun, jiwa manusia yang merupakan daya paham ini, memiliki dua arah hubungan: aras atas (Jihat al-Uluww/alam spritualia) dan aras bawah (Jihat as-Suful/alam materia). Jiwa manusia memiliki hubungan dengan alam materia dan melalui panca inderanya, ia dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan melalui proses penalaran rasio. Lebih jauh lagi, jiwa manusia juga memiliki hubungan dengan alam spiritualia sehingga dapat menyerap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ini.

Tak ayal lagi, deskripsi mengenai kosmos serta posisi sentral manusia di dalamnya seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah ini tak jauh berbeda kerangka umumnya dengan pandangan para pemikir di abad pertengahan, yakni soal pembagian alam menjadi alam materia dan alam spritualia.

Yang membedakan Ibnu Khaldun dengan para pemikir abad pertengahan bukan terletak pada  kerangka umumnya tapi pada rinciannnya. Kerangka pikir seperti ini sudah lazim dipegang para filosof dari sejak zaman Plato dan Ptolemus. Sebut saja Ibnu Khaldun hanya mengadopsi pola umum sementara kandungan kerangka umumnya ini diisi dengan hal-hal yang bersesuaian dengan sudut pandang Islam sunni, dan di saat bersamaan kerangka ini dapat ia gunakan untuk kepentingan ulasannya tentang persoalan-persoalan epistemologi.

Meski bisa berhubungan dengan alam materia dan alam spritualia sekaligus, jiwa manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya. Atas dasar ini, Ibnu Khaldun kemudian membagi kualitas jiwa manusia menjadi tiga macam:

Pertama, jiwa manusia yang cenderung menerima pengetahuan dari alam bawah melalui daya pahamnya. Jiwa manusia dengan jenis ini hanya dapat menangkap makna di balik fenomena-fenomena yang terjadi di alam materia. Pemahaman jiwa manusia di sini terbatas pada abstraksi di tingkat awal (al-awwaliyyat) yang melandasi kerja pengetahuan dan penalaran rasio dan hanya bisa digunakan secara terbatas pada hal-hal yang tertangkap panca indera dan pengalaman;

Kedua, jiwa manusia yang dapat terbebas dari belenggu alam materia, dan sepenuhnya dapat berselancar di alam spiritualia, alam malaikat, dan di alam ini jiwa jenis ini dapat melihat malaikat-malaikat dan dapat mendengarkan percakapan-percakapan ruhani serta dapat pula menyimak titah ilahi di alam ini. Inilah jiwa yang hanya dimiliki oleh para nabi secara fitrah, yakni maksudnya bahwa mereka mendapatkan pengetahuan alam ruhani tidak melalui proses olah jiwa seperti halnya kaum sufi melainkan didapat secara fitrah;

Ketiga, di antara dua jenis jiwa ini, ada jenis jiwa ketiga yang berada di antara posisi dua jenis jiwa lainnya. Jiwa dengan jenis ini dapat berhubungan dengan alam ruhani, namun tidak secara fitrawi seperti halnya para nabi. Jiwa jenis ini dapat berhubungan dengan alam ruhani melalui mujahadah, usaha dan latihan secara continue agar terlepas dari belenggu-belenggu materi.

Sebab, kata Ibnu Khaldun, “panca indera selalu mendorong jiwa untuk hanya memahami alam lahir. Sebab, jiwa memang tercipta pada mulanya untuk menyelam di alam lahir. Barangkali jiwa akan lepas dari alam lahir dan dapat memasuki alam batin melalui kemampuan dasariah manusia pada umumnya seperti ketika tidur, atau kemampuan supranatural yang dimiliki dukun dan sejenisnya…atau melalui olah jiwa seperti yang dilakukan oleh kaum sufi.. ”

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved