Epistemologi Ibnu Khaldun: Ulasan mengenai Tiga Tipologi Pengetahuan
Ibnu Khaldun membagi jiwa manusia menjadi tiga macam; pertama, jiwa manusia yang cenderung melihat ke alam bawah. Maksudnya, jiwa di sini mengaktifkan peranan akal dalam memperoleh pengetahuan melalui permenungan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di alam materia. Cara kerja penalaran melalui jiwa jenis pertama ini hanya dapat menangkap makna-makna yang tertangkap oleh panca indera dan pengalaman;
Kedua, jiwa manusia yang cenderung melihat ke alam atas secara fitrawi. Jiwa jenis ini memiliki kemampuan mengosongkan diri dari belenggu alam materia. Jiwa jenis ini sepenuhnya dapat memasuki alam spiritualia, alamnya para malaikat. Di alam ini, jiwa dapat menyerap pengetahuan-pengetahuan kegaiban. Inilah pengetahuan para nabi.
Ketiga, jiwa manusia yang posisinya berada di antara dua jenis jiwa lainnya. Jiwa jenis ini bisa melihat ke alam atas melalui proses mujahadah yang terus menerus atau melalui kemampuan dasariah manusia seperti mimpi dalam tidur atau melalui proses latihan.
Melalui pembagian jiwa menjadi tiga jenis ini, kita dihadapkan pada tiga jenis pengetahuan dalam pandangan Ibnu Khaldun;
Pertama, pengetahuan rasio yang sumbernya ialah realitas inderawi dan tumpukan pengalaman. Pengetahuan jenis ini mendapat basisnya dari pengalaman sehari-sehari, baik pengalaman individual maupun pengalaman social. Jika pengetahuan ini hanya berupa konsepsi-konsepsi, ia dihasilkan oleh cara kerja nalar distingtif (al-aql at-tamyizi) yang posisinya paling rendah.
Jika suatu pengetahuan dihasilkan dari pengamatan terhadap relasi kausal antar peristiwa-peristiwa, pengetahuan jenis ini dihasilkan oleh cara kerja nalar empiris (al-aql at-tajribi) yang menempati posisi kedua. Pengetahuan yang berbasis konsepsi-konsepsi dan putusan-putusan yang saling berkaitan dan bertujuan untuk menggambarkan wujud seperti apa adanya dengan segenap spesies, kategori, sebab-akibat dan seterusnya ialah pengetahuan yang dihasilkan oleh cara kerja nalar teoretis (al-aql an-nazhari);
Kedua, pengetahuan jiwa yang sumbernya ialah wahyu. Pengetahuan wahyu ini hanya diberikan kepada orang-orang pilihan yang jiwanya dipenuhi oleh manifestasi sifat-sifat ilahi. Orang-orang pilihan ini mampu melepaskan diri dari kecenderungan memperturut nafsu manusiawi. Sifat-sifat ketuhanan ini mendominasi dan mengalahkan kecenderungan nafsu manusiawi yang meliputi daya pemahaman, daya amarah, daya instingtif dan semua daya lainnya. Daya-daya ini hilang saat sifat-sifat ketuhanan mulai dominan. Orang-orang pilihan yang memiliki kecenderungan seperti ini ialah para nabi dan rasul;
Ketiga, pengetahuan jiwa yang sumbernya ialah mujahadah atau olah jiwa atau olah batin secara terus menerus atau melalui latihan-latihan ala paranormal. Pengetahuan jenis ini dimiliki oleh orang-orang sufi, para dukun dan para peramal dan semua pengetahuan yang diperoleh melalui mimpi yang benar (ar-ru’ya as-salihah).
Peranan dan nilai tiga jenis pengetahuan ini tergantung kepada sumber pengetahuan itu sendiri serta sejauh mana jangkauan dan batasan pemerolehannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui rasio bisa dianggap benar dan valid sejauh pengetahuan yang dihasilkannya ini tunduk kepada kaidah-kaidah penalaran.
Pengetahuan rasio juga dapat dianggap valid selagi tidak melampaui batasan-batasan yang terjangkau oleh pengalaman dan realitas inderawi.
Ringkasnya, jika rasio berusaha untuk menjangkau pengetahuan yang berada di luar batas-batas pengalaman inderawi (misalnya, rasio ingin menjangkau pengetahuan yang ada di alam ruhani), pengetahuan hasil olahan rasio ini bisa dianggap keliru. Sebab, alam ruhani jauh berada di luar batas jangkauan pengamatannya.
Sampai di sini, kita mungkin bertanya-tanya kepada Ibnu Khaldun, bukankah pengetahuan rasio itu didasarkan kepada proses abstraksi dan itu artinya non-inderawi?
Pengetahuan yang dicapai oleh rasio memang dihasilkan dari proses abstraksi. Namun, kata Ibnu Khaldun, proses abstraksi ini tidak akan terjadi kalau tidak diambil dan dicerap dari pengalaman inderawi.
Oleh sebab itu, karena entitas-entitas alam ruhani ialah entitas-entitas yang tidak konkret dan berada di luar jangkauan rasio, ia tentunya tidak akan bisa menjadi objek pengamatan rasio, baik melalui proses abstraksi maupun melalui proses lainnya. Inilah batasan-batasan pengetahuan rasio.
Sedangkan pengetahuan yang sumbernya ialah wahyu, kata Ibnu Khaldun, ialah pengetahuan yang mengandung nilai kebenaran secara mutlak. Kendati mengandung nilai kebenaran mutlak, pengetahuan berbasis wahyu ini, kata Ibnu Khaldun, tidak menjangkau semua aspek dan detail kehidupan. Pengetahuan berbasis wahyu hanya menjangkau satu aspek saja, yakni aspek alam non-inderawi (seperti akhirat, surga dan neraka) dan semua hal yang berkenaan dengan beban-beban syariat seperti shalat, puasa, zakat dan seterusnya. Adapun hal-hal yang berkenaan dengan persoalan-persoalan dunia, persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan, persoalan matapencaharian dan seterusnya, semua itu, kata Ibnu Khaldun, harus diserahkan kepada rasio atau akal.
Itulah pengetahuan jenis kedua. Sedangkan pengetahuan jenis ketiga, yakni pengetahuan yang dapat diperoleh baik melalui kaum sufi ataupun melalui paranormal dan yang setipe dengannya. Pengetahuan yang diperoleh kaum sufi dan pengetahuan yang diperoleh paranormal tidak perlu dianggap kebenarannya. Pengetahuan yang diperoleh kaum sufi, terlepas dari validitasnya, hanyalah pengalaman subjektif yang tidak boleh diungkapkan dan diajarkan.
Pengetahuan jenis ini hanyalah kasyaf dan dzauq semata. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh paranormal tidak perlu dipercaya karena mereka mencoba berhubungan dengan alam spritualia melalui olah keterampilan (tariq as-sina’ah), bukan dengan fitrah dan olah jiwa menurut ketentuan agama. Atas dasar ini, pengetahuan paranormal lebih cenderung banyak salahnya. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui mimpi harus ditafsirkan ulang. Pengetahuan jenis ini bisa benar dan bisa juga salah.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy