Ibadah dan Cinta
Oleh : Subhi-Ibrahim (Ketua Program Studi Islam Madani Universitas Paramadina)
Apakah makna ibadah? Ibadah adalah penyembahan yang melibatkan cinta dan ketundukan. Cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang mengejawantah pada diri seorang yang beriman sehingga melahirkan ketaatan, penghormatan, dan pengagungan kepada-Nya.
Karena itu, ukuran cinta adalah ketaatan kepada yang dicintainya, yakni Allah, ketaatan yang tak boleh ditunda, apalagi mempertanyakannya.
Iblis adalah simbol dari pencinta yang buruk. Iblis diperintah oleh Allah untuk sujud pada Adam. Perintah merupakan bentuk ujian ketaatan, yang berarti kecintaan. Allah mengecam Iblis bukan hanya karena dia tidak bersujud, tetapi karena dia tidak sujud pada saat dia diperintah Allah.
Inilah makna kata idz (saat), dalam firman-Nya: apa yang menghalangi engkau untuk sujud saat Aku perintah engkau (sujud kepada Adam) (QS. al-A’raf [7]: 12)
Cinta Alloh
Secara sederhana, rasa cinta kita pada Allah diwujudkan dalam ketaatan, yang secara formal berbentuk ibadah. Jadi, ibadah adalah bentuk konkrit, bukti kecintaan kita kepada Allah. Meskipun demikian, ternyata, ada beberapa tipe orang beribadah.
Sayyidina Ali pernah menyinggung bahwa, penyembah Allah memiliki ragam bentuk dan motif.
Pertama, ibadah para pedagang, yakni mereka yang menyembah Allah karena semata menginginkan agar ibadah yang dilakukannya menjadi investasi, agar Tuhan membayarnya kelak.
Kedua, ibadah para budak, yakni mereka yang beribadah karena takut akan azab dan siksa-Nya.
Ketiga, ibadahnya orang merdeka, yakni mereka yang menyembah Allah semata karena mencintai-Nya Pencinta sejati adalah mereka yang mencintai sesuatu bukan “karena”, tetapi “walaupun.”Seorang pencinta sejati mencintai kekasihnya walaupun ... (silahkan isi dengan berbagai hal, seperti tidak merasakan kebaikan sang kekasih secara empirik);
seorang pencinta yang masih mempertanyakan mengapa mencintai kekasihnya, sesungguhnya belum menjadi pencinta sejati.
Memang, cinta sukar untuk dimengerti, dipahami!
Berdasarkan penyebabnya, para pencinta Allah dapat dibagi dua macam.
Pertama, orang-orang yang mencintai Allah setelah merasakan lezatnya pertemuan, perjumpaan (liqa’) dengan-Nya. Mereka adalah aqwiya, orang yang kecintaannya demikian kuat, tak tergoyahkan.
Kedua, orang-orang lemah (dhu’afa), yakni mereka yang baru mencintai Allah setelah setengah mati belajar mencintai-Nya. Sebagian besar manusia, termasuk saya, masuk dalam kategori ini: belajar mencintai Allah agar betul-betul mencintai-Nya.
Hakekat Ibadah
Selanjutnya, apakah hakikat ibadah itu sendiri? Dalam bahasa Arab, apabila sesuatu menjadi tunduk, lembut, dan taat, maka hal ini menunjukkan tiadanya perlawanan agresi atau pemberontakan. Tingkatan ini disebut ta’abbud atau kepatuhan.
Kepada siapa ketundukan tersebut tertuju? Secara naqli, al-Quran menunjukkan siapakah yang paling berhak disembah. “Hanya kepada-Mu kami menyembah,” demikian firman Allah (QS. Al-Fatihah [1]: 5). Ayat ini menunjukkan bahwa, penyembahan itu monopoli Allah. Yang lain haram disembah.
Itu artinya, hamba Allah memiliki dua keadaan sekaligus, yakni: ketundukan mutlak pada Allah dan pemberontakan mutlak kepada yang selain Allah.
Sedangkan secara aqli, dasar rasional mengapa kita menyembah Allah antara lain: Manusia memiliki kecenderungan untuk memuji apapun siapapun yang berbuat baik, baik itu dirasakan langsung oleh dirinya ataupun orang lain. Kita memuji tersebut bukan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan tertentu, melainkan karena orang tersebut layak untuk dipuji. Allah adalah dzat yang paling layak dipuji.
Bagaimana bentuk pujian tersebut? Pujian merupakan relasi dasar antara manusia dengan Allah dan bentuk pujian tersebut adalah ibadah. Mengapa bentuknya ibadah? Karena ibadah adalah sesuatu yang baik; pantas dan layak.
Sejauh manakah lingkup ibadah? Apakah hanya ibadah ritual an sich, seperti shalat, puasa dan lain-lain atau lebih luas?
Ibadah tidak hanya meliputi shalat atau puasa, tetapi lebih luas dari itu, yakni semua perbuatan yang disenangi Allah, yang terkait dengan diri maupun lingkungan. Esensi ibadah adalah mengabdi pada Allah (ibadatullah).
Karenanya, ‘ibadatullah berarti tunduk kepada Allah dalam segala hal. Ibadah dapat dilakukan kapan pun, dan dimana pun.
Tempat ibadah bukan hanya bangunan masjid, tetapi seluruh jagad adalah masjid.
Oleh sebab itu, saat seseorang sibuk menggarap sawah dengan penuh ikhlas, meneliti di laboratorium untuk menemukan terobosan ilmiah yang berguna bagi umat manusia, membersihkan jalan agar keindahan kota tampak, berdiri di hadapan pemimpin yang zalim untuk menggerakkan cambuk kebenaran di wajahnya, semua itu dipandang sebagai: ibadatullah. Wa Allahu a’lam bi al-shawab