Ibnu Khaldun, Bapak Sosiologi Arab? Catatan Kritis terkait Kesamaan Ilmu Umran dan Sosiologi
Banyak kalangan akademisi yang menganggap bahwa ilmu imran yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun sangat bersesuaian dengan kajian-kajian ilmu sosial kontemporer yang sering disebut “sosiologi”.
Berangkat dari sini kemudian para ahli tersebut berpandangan bahwa Ibnu Khaldun layak disebut sebagai perintis dan pencipta ilmu sosial atau bapak sosiologi. Bagi mereka, selain adanya kesesuaian secara makna antara kata ilmu imran dan ilmu sosiologi karena umran dalam bahasa Arab artinya sama dengan sosial (ilmu tentang masyarakat), dua ilmu ini juga memiliki objek, metode dan tujuan yang sama;
Objek ilmu imran ialah masyarakat manusia dengan segenap fenomena sosial yang terjadi di dalamnya. Selain itu, bagi mereka, metode yang ditempuh oleh Ibnu Khaldun dalam mengamati kehidupan sosial ialah metode positifisme empiris yang tujuannya ialah mengkaji fenomena sosial untuk sampai kepada hukum-hukum yang menggerakan kenyataan sosial. Semua itu wilayah kajiannya sangat mirip dengan sosiologi.
Simpulnya, bagi mereka, ilmu umran yang dirintis oleh Ibnu Khaldun baik secara objek, metode dan tujuannya memiliki kesamaan dengan studi-studi sosiologi kontemporer. Pandangan ini tidak hanya dipegang oleh para akademisi yang melakukan kajian-kajian mengenai tema-tema tertentu terhadap kitab al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun namun juga diyakini oleh sebagian besar pemikir Arab yang menulis ulang sejarah ilmu sosiologi. Sebagai contoh, Ali Abdul Wahid Wafi merupakan salah satu pemikir Arab yang mencoba membandingkan ilmu umran yang dirintis Ibnu Khaldun dengan ilmu sosiologi. Abdul Wahid Wafi melihat bahwa setiap bab dari kitab al-Muqaddimah merupakan cerminan atau wilayah kajian yang menjadi perhatian utama dalam ilmu sosial atau sosiologi.
Dalam bab pertama kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun membahas lingkungan geografis dan pengaruhnya terhadap fenomena sosial berikut dengan proses pembentukannya. Dalam bab kedua, objek yang dikaji Ibnu Khaldun ialah masyarakat Badui, bangsa-bangsa primitif dan kehidupan kabilah-kabilah. Kajian ini mencakup persoalan-persoalan yang dikaji oleh para sosiolog moderen yang sering mereka sebut sebagai asal-asul peradaban (Origine de Civilization). Dalam bab ketiga, Ibnu Khaldun mengkaji negara, kerajaan, khilafah dan struktur sosial lainnya dalam suatu imperium secara umum yang oleh kalangan sosiolog modern saat ini disebut sebagai sosiologi politik.
Dalam bab keempat, Ibnu Khaldun mengkaji negeri-negeri, kota-kota besar dan beberapa fenomena kehidupan sosial lainnya yang dalam perspektif Durkheim disebut sebagai morfologi sosial (La Morphologie Sociale) atau ilmu yang mengkaji struktur sosial masyarakat. Abdul Wahid Wafi kemudian mempertegas bahwa Durkheim dan para pengikutnya yang percaya bahwa merekalah ahli sosial yang pertama kali mengkaji karakteristik dan struktur sosial seperti ini. Padahal sebenarnya Ibnu Khaldun sudah lebih dahulu melakukan kajian struktur sosial pada lima abad sebelumnya. Dalam bab lima, Ibnu Khaldun juga mengkaji mata pencaharian masyarakat beserta mode-mode produksinya yang oleh Abdul Wahid Wafi sekarang disebut sebagai sosiologi ekonomi (Sociologie Economique). Dalam bab keenam, Ibnu Khaldun mengkaji perkembangan ilmu-ilmu, cabang-cabangnya, model belajar dan pengajarannya yang sebenarnya dalam ilmu sosial disebut sebagai mode klasifikasi pengetahuan (Classification des Sciences).
Kenyataannya memang definisi yang diberikan Ibnu Khaldun terhadap ilmu barunya, ilmu umran serta metode yang digunakannya dalam menganalisis fenomena sosial beserta ancangan keilmuan yang dibuatnya, semua itu seolah memperkuat pandangan bahwa ilmu imran ala Ibnu Khaldun ini sama dengan ilmu sosiologi. Namun jika kita mencoba menelusuri lebih dalam lagi dan melampaui pandangan yang sebenarnya hanya menyentuh level permukaan saja, maka kita dapat meragukan pandangan mengenai kesamaan ilmu umran ala Ibnu Khaldun dengan ilmu sosiologi.
Hal demikian karena persoalan yang menjadi perhatian penuh Ibnu Khaldun dalam ilmu umrannya ini ialah silih bergantinya negara dan faktor-faktor yang membuat jatuh bangunnya negara tersebut. Dengan kata-kata lain, yang hendak dikaji oleh Ibnu Khaldun bukan fenomena sosial secara umum. Fokus utama yang menjadi pusat dari kajian ilmu umran ialah negara seperti yang dikenal di masa itu.
Kendati demikian, Ibnu Khaldun tidak membahas negara dari perspektif fikih dan hukum. Beliau membahas negara dari sudut pandang sejarah dan sosial. Berangkat dari sini, fenomena sosial yang hendak dikaji Ibnu Khaldun terfokus kepada dua hal; pertama, fenomena sosial yang menjadi penyebab atau pendorong jatuh bangunnya negara dan kedua, fenomena sosial yang mencakup aktifitas sosial dan intelektual dalam peradaban dimana negara merupakan penopang bagi wujudnya aktifitas tersebut. Dengan kata-kata lain, ilmu umrannya Ibnu Khaldun lebih sempit jika dibandingkan dengan ilmu sosiologi karena fokus utamanya bukan pada fenomena sosial secara luas melainkan hanya terfokus kepada negara dan komponen-komponen pendukungnya secara lebih spesifik.
Fenomena sosial yang tidak memiliki kaitan dengan negara baik langsung maupun tidak langsung tentunya tidak menjadi fokus dan objek utama dari pembahasan-pembahasan Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimahnya. Meski hampir sebagian besar pembahasannya difokuskan kepada kehidupan masyarakat kekabilahan, Ibnu Khaldun tidak terlalu tertarik membahas kehidupan kabilah dan relasi internal di dalamnya. Ibnu Khaldun tidak mengkaji sistem, adat dan kebiasaan dalam sistem kabilah.
Yang dikaji Ibnu Khaldun ialah kabilah dalam fase tertentu perkembangannya, yakni ketika kabilah menjadi kekuatan politik yang signifikan yang memengaruhi peristiwa-peristiwa sosial. Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun memusatkan perhatiannya kepada relasi eksternal kabilah, yakni kesalingterkaitan antar kabilah dan negara. Karena relasi ini mewujud nyata dalam perjuangan ashabiyyah untuk menduduki tampuk kekuasaan negara, tentunya pembahasan-pembahasan Ibnu Khaldun pada akhirnya terfokus kepada negara. Karena itu, kajian-kajian yang ditelurkan Ibnu Khaldun ini lebih bersifat horizontal ketimbang vertical.
Berangkat dari sini, ilmu Imran yang dirintis Ibnu Khaldun secara vertikal lebih sempit wilayah kajiannya daripada ilmu sosiologi namun lebih mendalam secara horizontal, yakni aspek kesejarahannya. Jika kajian-kajian sosial moderen mengkaji fenomena kehidupan sosial dengan segenap elemen-elemen di dalamnya dalam berbagai ruang dan waktu, ilmu umran yang dirintis Ibnu Khaldun justru mengkaji secara mendalam dan spesifik fenomena sosial politik yang termanifestasikan ke dalam negara dimulai dari fase-fase awal berdirinya sampai ke tahap perkembangan dan kemundurannya beserta peristiwa-peristiwa politik sosial yang menyertai proses jatuh bangunnya negara bersangkutan.
Dengan demikian, ilmu umran Ibnu Khaldun tampaknya lebih dekat dengan ilmu sejarah ketimbang dengan ilmu sosial, sejarah bangun dan runtuhnya negara. Mungkin jika kita mencoba menghadirkan apa yang sejarah dan apa yang sosial dalam analisis Ibnu Khaldun, bisa dikatakan bahwa ilmu umran yang dirintisnya itu dapat disebut sebagai sosiologi sejarah.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy