Ibnu Khaldun, Seorang Filosof Sejarah? Catatan Kritis untuk Pandangan Taha Husain, Arnold Toynbee dan Robert Flinth
Ibnu Khaldun merupakan intelektual muslim yang mengerahkan segenap waktunya untuk meneliti sejarah jatuh dan bangunnya negara berdasarkan kepada teori ashabiyyah, teori yang selalu mewarnai analisis-analisis kesejarahannya dalam kitab al-Muqaddimah yang terkenal. Ibnu Khaldun dengan penjelasan-penjelasan yang sangat memukau dan kefasihan bahasa Arab yang tinggi menarik decak kagum banyak kalangan. Taha Husain dalam bukunya yang terkenal, Falsafah Ibnu Khaldun al-Ijtima’iyyah, mengemukakan bahwa Ibnu Khaldun lebih tepatnya dianggap sebagai filosof sejarah ketimbang dinobatkan sebagai Bapak Sosiologi Arab.
Pasalnya, bagi Taha Husain, analisis-analisis kesejarahan Ibnu Khaldun terhadap sejarah Arab Badui dan Arab Hadhari seperti yang terangkum dalam kitab al-Muqaddimah-nya bukan sekedar deskripsi yang sifatnya tipologis-sosiologis. Bagi Taha Husain, Ibnu Khaldun bahkan lebih dari sekedar deskriptif dalam menjelaskan sejarah bangun dan runtuhnya negara.
Analisis Ibnu Khaldun bagi Taha Husain dapat dikatakan sebagai analisis filsafat yang menyeluruh, analisis tajam yang menjangkarkan gerak dan laju sejarah kepada apa yang disebut Ibnu Khaldun sebagai ashabiyyah. Berbeda dari Derrida yang membaca laju pemikiran sejarah filsafat Barat berdasarkan kegandrungan kepada logosentrisme, Ibnu Khaldun membaca laju sejarah peradaban Arab-Islam sebagai perkembangan yang digerakkan oleh hukum Ashabiyyah.
Dengan meminjam istilah Karl Marx, dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun menjadikan ashabiyyah sebagai infrastruktur yang menggerakan suprastruktur seperti agama, ideologi, ekonomi, politik dan budaya Arab ke dalam batas-batasnya yang rigid. Bagi Taha Husain, model pembacaan yang ditawarkan Ibnu Khaldun ini jelas bukan sekadar penjelasan yang sifatnya sosiologis. Ibnu Khaldun di sini, kata Taha Husain, justru sedang membangun filsafat kesejarahan secara menyeluruh dalam kitabnya al-Muqaddimah.
Taha Husain tidak sendiri dalam hal ini. Sebelumnya, Arnold Toynbee dalam a Study of History mengatakan bahwa dalam tafsirannya atas sejarah Ibnu Khaldun dengan sendirinya telah menciptakan filsafat sejarah. Al-Muqaddimah sebagai karya monumental Ibnu Khaldun bagi Toynbee merupakan karya terbesar yang diciptakan oleh nalar yang mengatasi segala ruang dan waktu dan itu artinya produk pemikiran yang dihasilkan dari telaahnya atas sejarah ialah filsafat sejarah.
Selain Toynbee, Robert Flinth juga mengungkapkan hal senada. Dalam Tarikh Falsafat at-Tarikh seperti yang dikutip oleh Sathi al-Hasri dalam kumpulan tulisan-tulisannya tentang Ibnu Khaldun, Flinth mengatakan:
“Dari sudut pandang ilmu sejarah atau filsafat sejarah ada cendekiawan Arab terkenal dimana Yunani klasik di masa-masa kuna dan Eropa Kristen di masa abad pertengahan tidak mampu menandingi produk pemikiran yang dihasilkan Ibnu Khaldun. Jika kita melihat Ibnu Khaldun sebagai seorang sejarawan semata, kita akan temukan banyak ahli yang melebihinya bahkan di kalangan para cendekiawan Arab sendiri. Adapun jika kita melihatnya sebagai pencipta teori-teori kesejarahan, Ibnu Khaldun jelas tidak ada bandingannya di sepanjang zaman, bahkan popularitas keilmuannya tak terkalahkan oleh Vico yang muncul tiga abad setelahnya. Tak hanya itu, saya menganggap bahwa Plato, Aristoteles atau bahkan St. Agustinus bukan tandingan Ibnu Khaldun. Selain mereka, tidak ada sosok yang layak disebut jika dilihat dari orisinalitas produk pemikirannya…Ibnu Khaldun merupakan cendekiawan yang tidak ada bandingannya dalam menulis filsafat sejarah, baik di kalangan pemikir Islam sendiri maupun di kalangan pemikir lainnya. Hal demikian seperti halnya Dante dalam bidang puisi dan Bacon dalam hal ilmu pengetahuan di kalangan Kristen atau yang semasa dengan mereka.”
Pandangan Taha Husain, Arnold Toynbee dan Robert Flinth ini sering dikutip oleh para pemikir yang menulis tentang Ibnu Khaldun. Fakta yang tak terbantahkan ialah bahwa teori-teori Ibnu Khaldun, atau sebagiannya paling tidak tampak dekat dengan filsafat sejarah dibanding dengan teori-teori ilmu sosial terlebih Ibnu Khaldun sendiri menegaskan dalam al-Muqaddimah mengenai keterkaitan ilmu umran yang diciptakannya dengan filsafat.
Kendati demikian, bisakah ilmu umran atau teori-teori Ibnu Khaldun seperti yang tertuang dalam al-Muqaddimahnya ini dianggap sebagai filsafat sejarah dengan segenap makna yang terkandung di dalamnya?
Tafsiran Taha Husain, Arnold Toynbee dan Robert Flint atas ilmu umran Ibnu Khaldun sebagai sebagai filsafat sejarah perlu penjelasan mendalam dan mendetail terutama jika dikaitkan dengan istilah filsafat sejarah itu sendiri dalam pengertiannya yang rigid. Paling tidak, seperti yang dikemukakan al-Jabiri dalam bukunya Ashabiyyah Ibnu Khaldun ada tiga catatan penting dalam mempertimbangkan teori-teori Ibnu Khaldun sebagai filsafat sejarah;
Pertama, Ibnu Khaldun dalam menulis al-Muqaddimah tidak pernah bertujuan untuk menafsirkan sejarah secara keseluruhan. Ibnu Khaldun tidak pernah menjelaskan persoalan nasib manusia secara umum di setiap ruang dan waktu. Ibnu Khaldun hanya menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi dan menentukan jalannya sejarah dalam fase tertentu, yakni sejarah Islam secara umum dan sejarah Arab-Islam bagian barat (al-maghrib) secara khusus.
Kedua, fondasi nalar yang mendorong Ibnu Khaldun untuk menulis al-Muqaddimah bukanlah karena pertimbangan filsafat namun lebih karena aspek politik dan sosial. Kesadaran kesejarahan yang lahir dalam benak Ibnu Khaldun pasca usaha-usaha yang dilancarkan pemerintah untuk membunuhnya bukanlah soal arah kehidupan manusia secara umum, yakni yang menggayut dalam kesadaran Ibnu Khaldun bukan pada soal kebebasan dan agensinya sebagai subjek sejarah.
Ibnu Khaldun dalam merumuskan ilmu umrannya ini tidak pernah jauh dari batasan-batasan sejarah. Bahkan Ibnu Khaldun sendiri hanya memfokuskan persoalan pada jatuh bangunnya sebuah negara di masa tertentu dalam kesejarahan Islam dan itu artinya bukan filsafat sejarah yang ia bangun. Dengan kata-kata lain, ilmu umran yang diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun ialah ilmu yang dikerangkakan dan dibatasi oleh realitas kesejarahan. Dalam al-Muqaddimah-nya ini, Ibnu Khaldun mendasarkan teori-teorinya kepada fakta-fakta kesejarahan yang terbatas pada masa dan ruang tertentu, bukan kepada dasar filsafat secara umumnya.
Sikap ini jelas bersesuaian dengan pandangan Ibnu Khaldun berkenaan dengan teorinya tentang pengetahuan dan batasan-batasannya. Akal bagi Ibnu Khaldun akan selalu terkungkung oleh pengalaman dan akal tidak akan mampu melampaui batas-batas pengalaman. Manusia tidak akan mengetahui sebab-sebab terjadinya fenomena di alam semesta ini kecuali dalam batas-batas yang tercerap oleh pengalaman indrawi.
Adapun sebab-sebab yang tidak dapat terjangkau oleh pengalaman inderawi hanya dapat dijangkau oleh pengetahuan ilahi. Karena itu, kata Ibnu Khaldun, kita harus berpegang kepada probabilitas pengalaman ketimbang probabilitas akal karena akal tidak akan dapat mengetahui secara pasti semua fenomena di alam semesta ini. Mempelajari sejarah atau kehidupan sosial manusia bagi Ibnu Khaldun sama saja dengan mempelajari fenomena-fenomena dalam jagad raya ini, fenomena yang terjadi secara bergantian dan terkadang bertubrukan.
Ketiga, konsep hukum sosial menurut Ibnu Khaldun merupakan konsep yang sempit jika dilihat dari sudut pandang filsafat. Dengan kata-kata lain, hukum sosial bagi Ibnu Khaldun bukanlah hukum umum yang berlaku bagi semua fenomena kehidupan manusia. Hukum sosial menurut Ibnu Khaldun tak lebih dari karakter internal yang melekat dalam setiap fenomena sosial tertentu secara relatif.
Dengan kata-kata lain, kehidupan sosial masyarakat Badui memiliki karakter dan sifat internalnya sendiri. Kerajaan juga memiliki sifat dan karakteristiknya sendiri. Peradaban dan fenomena yang terjadi di dalamnya memiliki sifat dan karakteristiknya sendiri.
Betul karakteristik sosialnya ini terkadang memiliki hubungan baik yang jelas maupun yang samar dengan karakteristik umum kehidupan manusia pada umumnya, yakni berkaitan dengan ashabiyyah. Namun ashabiyyah ini bukanlah hukum umum yang menentukan arah kehidupan manusia. Ashabiyyah hanyalah relasi sosial yang pengaruhnya terkadang tampak pada kondisi tertentu dan terkadang tidak tampak pada kondisi yang lain.
Dengan semua fakta ini, kata al-Jabiri, tentu sangat sulit mengklasifikasikan ilmu yang diciptakan Ibnu Khaldun ini sebagai filsafat sejarah…filsafat sejarah tentunya ialah filsafat dengan segenap makna dan semua aspek di dalamnya. Sementara itu, ilmu umran sebagaimana yang ditulis Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah terkondisikan oleh probabilitas kenyataan (al-imkan al-waqi’iyy) dan selalu dalam batas-batas pengalaman kesejarahan tertentu, yakni sejarah peradaban Islam dan bukan didasarkan kepada probabilitas akal murni (al-imkan al-aqliyy). Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy