Ibnu Khaldun Tak Percaya Kemunculan Imam Mahdi di Akhir Zaman, ini Penjelasannya!

Mesianisme merupakan fenomena umum yang menggejala di hampir semua agama dan masyarakat, tak terlebih dalam Islam. Mesianisme atau yang sering disebut dalam islam sebagai tren kemunculan Imam Mahdi dilatarbelakangi oleh sikap kekecewaan suatu masyarakat tertentu terhadap sistem yang ada dan berusaha untuk melampaui kenyataan. Melampaui kenyataan ini diperkuat dengan harapan tinggi akan hadirnya sosok manusia yang dapat mengubah secara total sistem bobrok yang terjadi di masa itu.

Ibnu Khaldun memiliki pandangan menarik berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi. Pandangan mengenai kemunculan Imam Mahdi sebenarnya dapat mengganggu teori Ashabiyyah yang telah dirumuskannya.

Ibnu Khaldun ketika menjelaskan penegakkan sistem khilafah di masa Khulafa Rasyidin dengan menggunakan argumen intervensi ilahi sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan teori Ashabiyyahnya dari kontradiksinya dengan kenyataan. Tak hanya soal khilafah, Ibnu Khaldun juga memiliki sikap yang sama ketika menyikapi persoalan Imam al-Mahdi.

Dalam masalah Imam Mahdi ini, kita dapat melihat hadis-hadis  yang berserakan dalam berbagai bagian kitab al-Muqaddimah. Pengutipan hadis ini untuk dikritik secara sanad dan digunakan untuk menegaskan pandangannya bahwa “dakwah keagamaan tidak akan berjalan mulus jika tidak disertai dengan Ashabiyyah.”

Dengan kata-kata lain, bagi Ibnu Khaldun, baik orang yang melaksanakan dakwah agama ini dari keturunan Nabi maupun dari yang bukan keturunannya, jika prasyarat Ashabiyyah tidak menemu pijakan dalam dakwah keagamaannya maka tentu dakwah tersebut tidak akan membuahkan hasil.

Dan karena Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung muncul  meski sudah lama ditunggu dan sudah lewat masa kedatangan yang dijanjikannya, maka  bagi Ibnu Khaldun, dapat dipastikan pandangan-pandangan seputar kemunculan Imam Mahdi memuat banyak berita bohong dan palsu.

Melalui pandangannya ini, Ibnu Khaldun menegaskan kembali soal teorinya mengenai Ashabiyyah, yakni, usaha apapun baik dakwah agama maupun kampanye politik tidak akan pernah berhasil jika tidak ditopang oleh Ashabiyyah yang kuat, apalagi fenomena Mahdiisme.

Ibnu Khaldun membahas masalah Imam Mahdi secara panjang lebar dalam kitab al-Muqaddimah yang diberi judul “Amru al-Fathimiyy wa ma yadzhabu ilaihi an-nas fi sya’nihi wa kasyf al-ghita ‘an dzalika”. Setelah mengemukakan berbagai macam hadis dan pandangan-pandangan kaum sufi yang menyebutkan soal kemunculan Imam Mahdi, Ibnu Khaldun kemudian mengatakan:

والحق الذي ينبغي أن يتقرر لديك أنه لا تتم دعوة من الدين أو الملك، إلا بوجود شوكة عصبية تظهره وتدافع عنه من يدفعه حتى يتم أمر الله فيه.

“dan kebenaran yang wajib kita yakini ialah kenyataan bahwa dakwah agama atau mobilisasi politik hanya akan berjalan secara lancar jika disertai dengan kekuatan Ashabiyyah dari orang-orang yang membela dan mendukungnya sehingga takdir Allah pun akan benar-benar menjadi kenyataan.”

Setelah menjelaskan poin demikian, Ibnu Khaldun kemudian membantah para intelektual Islam yang berkeyakinan bahwa Imam Mahdi akan muncul dari keturunan Fathimah, keturunan Nabi Muhammad SAW. Ibnu Khaldun dalam hal ini mengatakan:

إن هذا الزعم غير ممكن لأن عصبية الفاطميين بل قريش أجمع قد تلاشت من جميع الآفاق ووجد أمم آخرون قد استعلت عصبيتهم على عصبية قريش.

“Kemunculan Imam Mahdi dari keturunan Fathimah atau keturunan Quraish pada umumnya merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Hal demikian karena Ashabiyyah keturunan Fathimah atau Quraisy pada umumnya telah redup di berbagai daerah. Sementara itu, saat ini ada bangsa-bangsa lain yang ashabiyyahnya melebihi ashabiyyah Quraish.”

Kutipan ini seolah mengimplikasikan bahwa Ibnu Khaldun tidak percaya akan turunnya Imam Mahdi di akhir zaman. Namun agar jangan sampai dituduh tidak percaya akan kehadirannya, Ibnu Khaldun kemudian mengatakan:

إلا من بقي بالحجاز في مكة وينبع بالمدينة من الطالبيين....منتشرون في تلك البلاد وغالبون عليها وهم عصائب بدوية متفرقون في مواطنهم وإمارتهم وآرائهم يبلغون آلافا من الكثرة.

“Kecuali keturunan Ali bin Abi Thalib yang masih tersisa di Mekkah dan Madinah…mereka menyebar di wilayah-wilayah tersebut dan menjadi kabilah dominan. Mereka adalah suku-suku Badui yang tersebar di wilayahnya masing-masing dan membentuk pemerintahannya sendiri. Jumlah mereka mencapai ribuan orang.”

Kemudian Ibnu Khaldun berandai-andai terkait kemunculan Imam Mahdi ini;

فإن صح ظهور هذا المهدي فلا وجه لظهور دعوته إلا أن يكون منهم، ويؤلف بين قلوبهم في أتباعه حتى تتم له شوكة وعصبية وافية بإظهار كلمته وحمل الناس عليها. وأما غير هذا الوجه، مثل أن يدعو فاطمي منهم إلى مثل هذا الأمر في أفق من الآفاق من غير عصبية ولا شوكة إلا مجرد نسبه في أهل البيت، فلا يتم ذلك ولا يمكن.

“Jika benar akan muncul di akhir zaman, kemungkinan Imam Mahdi berasal dari kabilah mereka. Kelak sedemikian rupa hati mereka tersatukan dan membentuk semacam ashabiyyah baru dan memerintah manusia atas dasar Ashabiyyah ini. Adapun selain ini, misalnya, ada seorang keturunan Fathimah yang ingin mendirikan negara dan pendiriannya ini tidak berdasarkan kepada Ashabiyyah dan syaukah tertentu kecuali hanya bermodal keturunan Ahli Bait, maka mustahil hal tersebut dapat terwujud.”

Singkatnya, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa keyakinan akan munculnya ratu adil atau Imam Mahdi yang akan memberikan keadilan dan memperbaiki kondisi terpuruk masyarakat manusia dan keyakinan akan keberadaannya yang mampu mengembalikan  kejayaan moral di masa khulafa rasyidun sangatlah menipu.

Kenyataan bagi Ibnu Khaldun sangatlah kejam. Kenyataan juga tidak akan bisa diubah kecuali di tangan orang-orang yang berfikir realistis. Kebobrokan sistem pemerintahan, atau bahkan bobroknya kondisi kemanusiaan pada umumnya merupakan hasil dari prasyarat dan kondisi objektif tertentu yang tidak akan dapat diubah melalui nasehat,  sihir atau bahkan usaha-usaha membela kebenaran.

Kata Ibnu Khaldun prasyarat yang dapat mengubah kondisi terpuruk tersebut ialah kondisi dan situasi objektif baru yang memungkinkan perubahan secara total, yang di antaranya ialah adanya Ashabiyyah yang kuat yang dapat mengubah situasi ke arah yang lebih baik. Ibnu Khaldun mengatakan:

أحوال الملوك والدول راسخة قوية لا يزحزها ويهدم بناءها إلا المطالبة القوية التي من ورائها عصبية القبائل والعشائر

 “Kerajaan dan negara sangatlah kuat pengaruh dan kekuatannya sehingga tidak dapat dihancurkan kecuali dengan Ashabiyyah yang kuat pula.”

Khilafah dalam Islam yang didasarkan kepada prinsip keadilan dan kesetaraan dan tidak didasarkan  kepada Ashabiyyah  atau hukum sosial memang benar adanya. Namun seperti yang ditegaskan kembali oleh Ibnu Khaldun semua itu terjadi karena adanya intervensi ilahi atau dalam bahasa yang digunakannya “Khawariq al-Adat”. Fenomena Imam Mahdi ialah fenomena yang banyak kebohongannya.

Kendati demikian, jika pun Imam Mahdi ini akan muncul dari keturunan Nabi, maka harus ada prasyarat Ashabiyyah yang kuat. Jika ashabiyyah ini tidak terpenuhi, maka kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi yang akan menegakkan keadilan dan mengubah sistem  yang bobrok hanya angan-angan belaka yang menipu.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved