Idul Fitri itu ‘Kembali Makan dan Minum’, Bukan ‘Kembali Suci’ atau ‘Meraih Kemenangan’
Al-Marhum Prof. Dr. Ali Musfata Yaqub, Khadim Ma’had Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, pernah suatu ketika di pengajian subuh menugaskan kami para mahasantri untuk menelisik lebih jauh makna fitr dan fitrah dalam kamus-kamus bahasa Arab klasik seperti Lisan al-Arab karya Ibnul Manzhur, al-Qamus al-Muhit karya al-Fairuz Abadi, as-Shihah karya al-Azhari serta kamus-kamus Arab Modern seperti al-Mu’jam al-Wasith dan lain-lain.
Hasilnya penelusuran makna fitr dan fitrah ini cukup mencengangkan. Sebab saat itu, kami meyakini secara taken for granted bahwa makna idul fitri ialah ‘kembali ke fitrah’, ‘kembali kepada kesucian’, ‘kembali kepada kemenangan’. Pak Yai, begitu panggilan akrab beliau di kalangan santrinya, mengkritik pemaknaan ‘kembali ke fitrah’, ‘kembali kepada kesucian’, ‘kembali kepada kemenangan’ yang disematkan kepada kata idul fitri. Karena itu, beliau mengajak kami untuk menginterpretasikan kembali makna hakiki idul fitri berbasis kepada pandangan para leksikografer Arab.
Fitr dan fitrah memang merupakan dua kata yang berasal dari tiga konsonan yang sama; f, t dan r namun ternyata dua leksem ini memiliki makna berbeda, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kondisi kesucian dan kemenangan seperti yang sudah jamak kita pahami. Merujuk kepada kamus al-Munjid karya Louis Ma’luf, misalnya, fitr secara asalinya bermakna al-akl wa as-syurb ‘makan dan minum’ sedangkan fitrah secara generik maknanya ialah al-khilqah ‘asal ciptaan’.
Idul fitri tersusun dari dua kata, yakni ‘id dan fitr. ‘Id dalam bahasa Arab bisa diterjemahkan sebagai ‘festival’ atau ‘hari raya’ sedangkan fitr bisa diartikan sebagai ‘makan dan minum’. Secara semantik, idul fitr berarti ‘festival atau hari raya makan dan minum’.
Menariknya, penerjemahan idul fitri ke dalam bahasa Inggris lebih mencerminkan makna asli bahasa Arabnya. Dalam bahasa Inggris, idul fitri diterjemahkan sebagai festival of breaking the fast yang dalam bahasa Indonesia artinya ‘hari raya membatalkan puasa’. Jadi secara semantik, dalam leksem idul fitri, tidak ada fitur makna ‘kesucian’ dan ‘kemenangan’ seperti yang selama ini kita pahami. Yang ada hanya makan dan minum alias buka puasa.
Id juga dalam kamus-kamus tersebut bisa berarti ma ya’udu min hammin wa huzn wa surur dst ‘kondisi kembalinya rasa galau, sedih, bahagia dst’. Ringkasnya, id juga bisa berarti ‘kembali’. Idul fitr berarti ‘kembali makan-minum’ atau kembali tidak berpuasa. Id dengan demikian bermakna ‘keterulangan’. Sebab, idul fitr terus menerus berulang setiap tahun.
Tak lupa untuk menyambut dan meramaikan idul fitri, kita juga diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitr atau sadaqat al-fitr (bukan zakat fitrah, ingat bukan fitrah). Zakat fitr ini dikeluarkan untuk memberi makan bagi orang yang tidak ada makanan di hari itu. Sebut saja, zakat ini dikeluarkan untuk orang yang membutuhkan.
Di sini, dalam semangat idul fitri, ada semangat berbagi yang cukup mendalam. Secara filosofis, puasa ramadhan itu dimulai dengan niat puasa. Niat puasa karena Allah merupakan simbol keharusan kita untuk dekat secara vertical dengan-Nya. Puasa ramadhan juga diakhiri dengan kewajiban membayar zakat. Zakat fitr menyimbolkan kedekatan kita secara horizontal dengan sesama manusia.
Jadi ibadah dalam Islam kebanyakan disetting agar seimbang antara urusan dengan Allah dan urusan dengan sesama manusia. Shalat juga seperti itu. Shalat dimulai dengan takbiratul ihram sebagai simbol menjalin hubungan baik dengan Allah dan diakhiri dengan salam sebagai simbol menjalin hubungan baik dengan sesama manusia.
Gus Dur secara luas mengartikan momen idul fitri ini sebagai ‘Ajakan kepada kita semua untuk memperhatikan nasib kaum yang lemah, memajukan ekonomi rakyat, menegakkan demokrasi yang berarti menegakkan kedaulatan hukum, menerima perbedaan pendapat, karena ini bagian dari ajaran agama. Kalau ini sampai dilupakan berarti kita hanyalah mementingkan agama dalam arti seremonialnya saja.’
Lalu apa makna fitrah? Secara makna, kata fitrah atau fatrah artinya ialah al-khilqah ‘asal kejadian’ dan al-ikhtira ‘penciptaan’. Sepanjang penelusuran beberapa kamus bahasa Arab, tidak ditemukan fitrah ini bermakna qadasah, taharah, naqawah dan seterusnya yang maknanya ialah kesucian.
Demikian pula tidak ditemukan kata fitrah ini bermakna kemenangan dari hawa nafsu melalui puasa di bulan ramadhan. Sebagian ulama, ada yang memahami kata fitrah di sini sebagai agama Islam dengan berkaca kepada hadis setiap anak lahir dalam kondisi fitrah, tinggal bapaknya yang mewarnainya menjadi Yahudi atau Kristen.
Tapi makna ini, kata Imam Nawawi, tidak tepat. Sebab asal fitrah sendiri ialah asal kejadian dan Islam sendiri mengharuskan untuk pengucapan melalui lisan, pembenaran melalui hati, dan pengewantahan melalui amalan. Prasyarat ini tidak ada ketika seorang manusia baru dilahirkan.
Secara ringkasnya, makna hadis ini ialah setiap anak terlahir pada kondisi asal penciptaannya, bukan kesucian. Memang tiap anak tidak berdosa karena belum diwajibkan baginya ketentuan agama. Namun sekali lagi, tidak ada fitur makna kesucian dalam kata fitrah.
Ringkasnya, idul fitri bukanlah kembali kepada kesucian diri dari dosa karena kita telah menang melawan hawa nafsu. Sangat mustahil kita menang melawan nafsu dengan waktu sebulan yang relatif singkat. Siapa yang bisa mengklaim dirinya bisa menang melawan hawa nafsu selain Kanjeng Nabi? Tidak ada.
Idul fitri ialah momen ketika kita kembali makan dan minum seperti biasa setelah berpuasa sebulan penuh/tidak penuh. Perayaan kembali makan dan minum ini harus dibarengi dengan semangat berbagi dengan sesama (zakat fitr), apalagi di tengah virus pandemik Covid-19 ini. Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy