Inisiatif Made in China 2025 dan Soal Rapuhnya Koalisi Sekutu dalam Dominasi Kuasa AS
Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada Kamis 24 Februari 2022 memberikan dampak yang cukup serius bagi matarantai perekonomian global. Invasi tersebut telah menciptakan era baru bagi kehidupan ekonomi domestik negara-negara di dunia. Sejak invasi Rusia ke Ukraina, AS dan negara-negara Barat terlihat cukup solid membangun koalisi internasional, terutama menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Meski terlihat kuat sejak invasi Rusia, ada satu celah yang mungkin dapat menggerogoti soliditas kerjasama internasional tersebut. Celah itu, jika kita melihatnya secara jeli, ada dalam kebijakan AS saat ini yang menargetkan pelemahan industri semikonduktor China. Presiden Amerika Serikat Joe Biden beberapa waktu lalu mengumumkan akan melakukan pembatasan ekspor teknologi yang menjadi ujung tombak AS dalam melawan Rusia dan China, setidaknya selama masa pemerintahannya.
Memang dalam beberapa bulan terakhir, AS terlihat memberikan sanksi yang lebih agresif terhadap perkembangan ekonomi China. Di antara sanksi yang agresif tersebut ialah diterbitkannya serangkaian kebijakan untuk membatasi ekspor teknologi semikonduktor ke China pada bulan Oktober.
Dampak dari kebijakan baru ini ialah larangan penjualan peralatan teknologi ke perusahaan China yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat semikonduktor yang canggih. Semikonduktor yang kurang canggih biasanya digunakan China untuk membuat produk seperti mobil dan mesin cuci sedangkan semikonduktor high-end digunakan untuk komponen teknologi baru seperti komputasi awan (cloud computing) dan peralatan militer canggih lainnya. Ini jelas akan mengancam kepentingan AS dan sekutunya jika penjualan peralatan teknologi ini dilanjutkan.
Jika kita lihat kebijakan sebelumnya, AS hanya berfokus mempertahankan keunggulan produknya atas kapasitas teknologi China. Namun, kebijakan yang diluncurkan akhir-akhir ini cenderung menggunakan pendekatan yang lebih keras dan serius. Tujuannya ialah memukul mundur kemajuan China di sektor pengembangan teknologi mutakhir. Kebijakan terbaru ini secara lebih masif dapat memaksa China untuk mengurangi kapasitasnya dalam memproduksi semikonduktor dan membuat babak belur semua kebijakan teknologi Made in China 2025.
Kegelisahan Sekutu AS
Kebijakan AS terbaru ini, meski dapat memukul mundur perkembangan teknologi China, justru dapat memicu kegelisahan di kalangan sekutu AS sendiri. Kebijakan AS untuk membatasi penjualan peralatan teknologi ke China ini tentunya akan berdampak besar pada sekutu AS. Pasalnya, jika hanya perusahaan AS saja yang dilarang menjual ke China, itu tidak akan berdampak besar bagi China. China dapat mengambil kebijakan untuk mengalihkan perdagangannya ke negara lain yang juga menguasai teknologi semikonduktor.
Namun persoalannya Jepang, Belanda, Korea Selatan, dan Taiwan yang menjadi sekutu AS tampaknya akan dilibatkan pula dalam pembatasan penjualan peralatan teknologinya ke China. Tanda-tanda ke arah itu sudah cukup jelas akhir-akhir ini. Rahm Emanuel, duta besar AS untuk Jepang, mengonfirmasi di awal bulan ini bahwa pemerintahan Biden sedang melakukan perundingan dengan Jepang, Belanda, dan Korea Selatan untuk memperkuat rencana terpadu pembatasan industri semikonduktor China.
Akhir-akhir ini, Biden menjamu Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Gedung Putih.
Belanda, yang cenderung tidak memainkan peran utama dalam urusan global, merupakan Sekutu AS yang cukup menonjol dalam pengembangan teknologi kritis ini. Belanda terlibat dalam desain dan pembuatan semikonduktor maju. Perusahaan Belanda yang bernama ASML merupakan salah satu perusahakan pemasok desain chip dan teknologi manufaktur terbesar di dunia untuk industri semikonduktor. Perusahaan ini juga dinilai sebagai perusahaan teknologi terbesar di Eropa berdasarkan mangsa pasarnya.
Di Asia, perusahaan semikonduktor Taiwan, TSMC, menguasai lebih dari separuh pasar global, sementara pesaing utamanya, perusahaan semikonduktor Korea Selatan, Samsung, berada di posisi kedua dengan mangsa pasar 17,3 persen. Kedua perusahaan ini merupakan perusahaan terdepan dalam pengembangan chip ke arah yang lebih canggih daripada yang tersedia di pasar saat ini. Perusahaan Jepang seperti Tokyo Electron dan Nikon juga memainkan peran penting dalam rantai pasokan semikonduktor.
Sejauh ini, meski menyadari ancaman yang ditimbulkan China begitu besar, negara-negara sekutu AS yang merupakan produsen semikonduktor ini tetap belum siap untuk melakukan pembatasan skala penuh terhadap China. Sementara itu, negara-negara Eropa bisa saja menyetujui pembatasan ekspor teknologi mutakhir ke China yang diberlakukan AS. Namun, apapun alasannya, menuruti kebijakan yang diberlakukan AS ini tentunya dapat memangkas pendapatan besar yang didapat negara-negara sekutu AS dari penjualan pasokan semikonduktor tersebut.
Karena sejauh ini China merupakan pasar semikonduktor terbesar di dunia: Pada tahun 2020, Cina menyumbang 17% persen pendapatan TSMC. Di tengah sanksi AS terhadap China dan meningkatnya upaya untuk mengembangkan industri semikonduktor domestik di China, pendapatan TSMC itu turun menjadi 10 persen meski pernah meningkat lagi menjadi 13 persen dalam beberapa waktu terakhir. Kendati meningkat, AS memberikan batas waktu selama satu tahun bagi TSMC dan Samsung untuk melanjutkan perdagangan dengan China, namun setelah batas waktu ini lewat, pastinya pendapatan kedua perusahaan ini akan turun drastis. Analis juga berpendapat bahwa pendapatan ASML milik perusahaan Belanda bisa turun 10 persen jika sepenuhnya dilarang mengekspor ke China.
Semua ini terjadi pada saat Cina, AS, Prancis, dan Jepang sedang berinvestasi besar-besaran dalam mengembangkan industri semikonduktor mereka sendiri untuk mengurangi ketergantungan pada pihak lain. Dengan kata lain, China bukan satu-satunya fokus persaingan. Pasalnya, ada persaingan global yang sedang terjadi di sektor semikonduktor ini, di mana AS, Prancis, dan Jepang melihat satu sama lain sebagai saingan.
Pastinya, akan ada perpecahan di tengah soliditas relasi AS dan negara-negara sekutunya. Semangat kekompakan yang ditunjukkan negara-negara Barat dalam pemberian sanksi terhadap Rusia lambat laun akan runtuh dan membangun kekompakan serupa dalam menghadapi China tentu tidak akan mudah. Intinya, kekompakan koalisi ini akan retak karena masing-masing anggota koalisi merasa diuntungkan dengan kebijakan ekspor peralatan teknologi ke China.
Berkaca dari Masa Lalu
Dan jika masa lalu dijadikan sebagai bahan pembelajaran secara konsisten, negara-negara sekutu AS pada akhirnya mungkin harus menyerah dan tak perlu lagi menuruti semua kemauannya. Apalagi selama dua dekade terakhir, AS telah menunjukkan batas toleransi yang minim bagi sekutu utama di Eropa dan Asia Timur dalam pengambilan keputusan.
Dalam beberapa kasus, misalnya seperti invasi Irak tahun 2003, AS mengesampingkan saran dari sekutunya seperti Prancis dan Jerman, bahkan mencemooh mereka sebagai "Eropa lama". Pada kesempatan lain, AS pernah juga memberikan sanksi bagi sekutu yang memilih untuk tidak mengikuti jejaknya.
Ketika AS menggunakan sentralitas dolar untuk menjatuhkan sanksi ekstrateritorial atau sekunder pada musuhnya di tahun 2000-an dan 2010-an, sektor perbankan dan regulator Eropa pada awalnya menolak. Institusi keuangan besar di seluruh Eropa terus berinteraksi dengan negara target yang diberi sanksi AS sambil menggunakan berbagai cara menyembunyikan ribuan transaksi dari tahun 2004 sampai 2012 dalam apa yang dikatakan “skema rumit dan luas” (Washington Post).
Akhirnya, dampaknya adalah AS menuntut serangkaian denda bernilai miliaran dolar dan pengenaan peraturan baru terhadap lembaga keuangan utama Eropa tersebut. Pejabat Eropa marah secara pribadi dan bahkan menyampaikan keluhan kepada pemerintahan Presiden AS saat itu, Barack Obama, tetapi tidak berhasil.
Pengawasan AS terhadap BNP Paribas Prancis, bank terbesar di dunia, begitu kejam. Perancis membayar hampir US$9 miliar denda setelah mengaku bersalah atas tuduhan-tuduhan kejahatan selama delapan tahun melanggar sanksi-sanksi perdagangan Amerika terhadap Sudan, Kuba, Iran dan Myanmar. AS memberikan perintah untuk memecat pejabat bank utama dan memberlakukan monitoring untuk mengawasi operasi kepatuhan bank. Kepala perusahaan mengambil cuti karena "stres yang sebagian besarnya diakibatkan oleh penyelidikan bank".
Dari peristiwa ini, tentunya lembaga-lembaga Eropa diwajibkan untuk memperhatikan kebijakan AS dan harus patuh pada sanksi-sanksi yang diberikan kepada musuh-musuhnya. Jika mengabaikan kebijakannya, lembaga-lembaga tersebut terputus dari akses ke dolar AS yang tentunya ini merupakan sebuah hukuman mati yang sangat efektif diberlakukan bagi bank besar dalam ekonomi global modern.
Sekutu AS di Asia dan Eropa tentu akan waspada terhadap kejadian serupa. Memang, pemerintah Jepang baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kuat yang mendukung kontrol ekspor teknologi koordinasi G7 melawan China.
Sama seperti sentralitas dolar AS yang menjadi dasar sanksi keuangan Amerika, posisi AS dalam rantai pasokan teknologi memberikan pengaruh yang tak tertandingi dalam menghukum mereka yang menentang keinginannya. Jika Belanda atau sekutu AS di Asia Timur gagal memenuhi tuntutannya, AS dapat merespons dengan membatasi akses mereka ke ekspor teknologi tinggi AS.
Jika Prancis dan Jerman tidak dapat menolak kebijakan sanksi AS secara signifikan, Belanda, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan tentu tidak akan bisa berbuat banyak dengan kebijakan AS terbaru ini.
Namun, semakin AS merasa sebagai pihak yang paling berkuasa di antara sekutunya ini, semakin menguat pula dorongan kedaulatan strategis di kalangan negara-negara Eropa terutama di bidang teknologi, khususnya, dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan AS yang semakin semena-mena terutama di era pemerintahan Presiden Donald Trump telah memicu perdebatan hangat di kalangan negara-negara Eropa tentang perlunya membuat kebijakan luar negeri dan perdagangan mereka yang terlepas dari ketergantungan pada AS.
Kebijakan pelarangan ekspor peralatan teknologi, terutama chip semikonduktor terhadap China yang dipimpin Biden saat ini dapat memperkuat sentimen tersebut.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy