Keberpihakan Ideologis Ibnu Arabi dalam Mengulas Peristiwa Pembantaian Imam al-Husain
Sepuluh Muharram merupakan tanggal yang sangat penting bagi umat Islam, tidak hanya karena Nabi Musa as dan Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk melakukan ibadah puasa di tanggal ini, namun juga karena di tanggal ini, cucu yang sangat disayangi Nabi dan yang pernah dikecup bibirnya, dibantai habis-habisan oleh 3000 tentara pasukan Ubaidullah bin Ziyad. Konon meski masih diragukan informasinya, kepala al-Husain diarak di sepanjang perjalanan menuju Damaskus dan pernah dipajang beberapa hari di tengah kota sampai Abdul Malik bin Marwan meminta menurunkannya dan dikuburkan.
Meski informasi keterlibatan Yazid bin Muawiyah dalam peristiwa pembantaian ini masih simpang siur, jelasnya Imam al-Husain, yang oleh sekte Syiah dan beberapa kalangan Kristen dianggap sebagai simbol revolusi terhadap kekuasaan yang lalim, tewas terbunuh dalam peristiwa paling keji tersebut.
Namun jelasnya, kesyahidan Imam al-Husain ini hanyalah salah satu dari rangkaian peristiwa syahid tokoh-tokoh Islam sebelumnya yang dibunuh oleh umatnya sendiri. Jauh sebelum al-Husain, ayahnya sendiri Ali bin Abi Thalib tewas dipenggal kepalanya oleh Abd ar-Rahman bin Muljam dari Khawarij.
Jauh sebelum al-Husain, suami dari adiknya, Umar bin al-Khattab mati ditikam oleh Abu Lu’lu. Jauh sebelumnya, suami dari bibinya, Uthman bin Affan dibunuh secara memprihatinkan dalam peristiwa yang disebut sejarawan Islam sebagai al-fitnah.
Terlepas dari semua itu, al-Husain tetap menjadi simbol revolusioner bagi generasi selanjutnya, baik di kalangan Syiah maupun di kalangan Sunni (kecuali salafi-wahabi mungkin). Kendati demikian tragedi yang amat memilukan dan menyakitkan hati ini masih menuai pro dan kontra di kalangan ulama Sunni dan Syiah.
Sepanjang penelusuran terhadap beberapa literatur kesejarahan, kiranya Abu Bakar Ibnu al-Arabilah (bukan Ibnu Arabi penulis Futuhat Makkiyah) yang dianggap paling kontroversial dalam melihat tragedi pembantaian al-Husain ini. Di tengah banyaknya simpati yang dikemukakan para ulama, termasuk leluhur Salafi-Wahabi, Ibnu Taymiyyah terhadap kesyahidan al-Husain ini, Ibnu al-Arabi memiliki pandangan lain yang jauh berbeda.
Ibnu al-Arabi dalam bukunya, al-Awashim min al-Qawashim, sebuah buku yang membahas perang saudara yang dialami Islam sejak awal kemunculannya, memiliki pandangan yang cukup mengejutkan, yakni pandangannya bahwa al-Husain sebenarnya mati dibunuh oleh syariat kakeknya sendiri, syariat Nabi Muhammad SAW.
Kenapa imam al-Husain dibunuh oleh syariat kakeknya sendiri? Untuk menjawab ini, Ibnu al-Arabi meriwayatkan sebuah hadis Nabi SAW dalam kitabnya tersebut yang berbunyi demikian:
إنه ستكون هنات وهنات، فمن أراد أن يفرق أمر هذه الأمة وهي جميع فاضربوه بالسيف كائنا من كان
“Akan datang fitnah-fitnah yang terjadi di masa mendatang. Barang siapa yang ingin memecah belah umat yang sedang bersatu ini, maka bunuhlah ia dengan pedang, siapapun orangnya”
Melalui hadis di atas, para ulama memparafrasekan kembali pandangan Ibnu al-Arabi mengenai terbunuhnya Imam al-Husain ini dengan ungkapan singkat:
إن الحسين قتل بسيف جده.
“Sesungguhnya Imam al-Husain dibunuh oleh pedang kakeknya sendiri”.
Lebih jauh lagi, Ibnu al-Arabi berpendapat bahwa para tentara yang ikut langsung membantai al-Husain ini berpegang pada hadis di atas. Selain itu, Ibnu al-Arabi menegaskan bahwa seharusnya Imam al-Husain cukup berdiam diri saja di rumah dan tak perlu melakukan aksi revolusi untuk membela kebenaran karena dengan revolusinya tersebut Islam akan kembali mengalami masa-masa fitnah yang memakan banyak korban seperti yang terjadi sebelumnya pada peristiwa terbunuhnya Uthman bin Affan, perang Jamal, perang Siffin dan terpecah belahnya umat Islam menjadi beberapa sekte yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Bahkan lebih anehnya lagi, ketika mengkritik pemberontakan Imam al-Husain terhadap Yazid bin Muawiyah, Ibnu al-Arabi di pembahasan sebelumnya dalam buku yang sama mendukung sahabat-sahabat Nabi yang memberontak kepada Ali bin Abi Thalib ketika yang terakhir ini menjadi khalifah keempat setelah Uthman bin Affan, kendati yang memberontak tersebut sudah berbaiat.
Dengan berbagai macam dalih, Abu Bakar Ibnu al-Arabi mencoba memberikan banyak justifikasi terhadap tindakan sebagian sahabat yang memberontak kepada Ali bin Thalib. Ibnu al-Arabi dalam al-Awashim min al-Qawashim menegaskan:
فيحتمل أنهم خرجوا لخلع علي لأمر ظهر لهم، وهو أنهم بايعوا لتسكين الثائرة وقاموا يطلبون الحق. ويحتمل أنهم خرجوا ليتمكنوا من قتلة عثمان. ويمكن أنهم خرجوا في جمع طوائف المسلمين وضم نشرهم وردهم إلى قانون واحد، حتى لا يضطربوا فيقتتلوا وهذا هو الصحيح لا شيئ سواه، وبذلك وردت صحاح الأخبار.
“Kemungkinan para sahabat memberontak kepada Ali bin Abi Thalib karena ada kebenaran yang tampak di hadapan mereka. Semula para sahabat Nabi tersebut berbaiat kepadanya hanya sekedar untuk mendinginkan para revolusioner, namun setelah itu, mereka menuntut kebenaran. Kemungkinan lain, para sahabat memberontak untuk mengetahui siapa sebenarnya para pembunuh Uthman. Mereka memberontak kepada pemerintahan yang sah demi untuk menyatukan kembali umat Islam dan mengembalikan mereka ke dalam satu hukum yang disepakati bersama sampai tidak ada lagi keributan. Untuk memperjuangkan persatuan ini, mereka sampai memerangi Ali bin Abi Thalib. Inilah keputusan yang benar. Tidak ada dalil lain yang menunjukkan itu. Yang ada hanyalah hadis-hadis sahih yang menceritakan itu semua.”
Melalui kutipan ini jelaslah bahwa terkait pemberontakan ini, Ibnu al-Arabi memiliki dua pandangan yang cukup berbeda yang semuanya itu menjadikan kesatuan dan keutuhan umat sebagai dalih justifikasi. Namun demikian, pandangan ini juga mengandung ambivalensi. Kita lihat di satu sisi, bagi Ibnu al-Arabi, al-Husain telah memecah belah umat dengan usahanya memberontak kepada Yazid bin Muawiyah sebagai pemerintah yang sah dan karenanya ia wajib dibunuh demi keutuhan umat. Namun di sisi lain, para sahabat Nabi yang memberontak kepada Ali bin Abi Thalib, menurut penulis buku al-Awashim min al-Qawashim ini, dibenarkan juga dengan alasan yang sama, kesatuan dan keutuhan umat.
Di sini kita sedang dihadapkan pada inkonsistensi Ibnu al-Arabi dalam menilai dua jenis pemberontakan; dalam konteks pemberontakan Imam al-Husain terhadap Yazid bin Muawiyah, Ibnu al-Arabi menolak mentah-mentah dan artinya kontra terhadap aksi al-Husain namun sebaliknya, dalam konteks pemberontakan sebagian sahabat Nabi terhadap Ali bin Abi Thalib, Ibnu al-Arabi malah mendukungnya.
Melalui penjelasan ini, kita bisa menebak ideologi yang mendorong Ibnu al-Arabi berpandangan demikian. Melalui teori lingkaran ideologis (ideological square) yang diperkenalkan dalam tradisi Analisis Wacana Kritis, kita bisa membaca arah pemikirannya, yakni dengan kata-kata lain, Ibnu al-Arabi berusaha merepresentasikan al-Husain dan Ali bin Abi Thalib dan memetakannya ke dalam apa yang disebut van Dijk sebagai Bad Other/Them. Dan karenanya al-Husain wajib dikritik dan Ali bin Abi Thalib wajib diberontak.
Imam al-Husain dan Ali bin Abi Thalib di masing-masing masanya merupakan pemimpin atau tokoh besar Bani Hasyim. Sementara itu, jika Ibnu al-Arabi kontra terhadap Bani Hasyim yang dibuktikan melalui kritiknya kepada pemberontakan al-Husain terhadap pemerintahan Yazid bin Muawiyah dan dukungannya terhadap pemberontakan sebagian sahabat kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, sudah tentu bisa ditebak Good Self/Good Us yang sedang dibelanya.
Siapakah kelompok yang dibela Ibnu al-Arabi? Ya siapa lagi kalau bukan Bani Umayyah yang sedari masa Jahiliyyah sampai masa Islam menjadi musuh bebuyutan bagi Bani Hasyim. Dengan demikian, pandangan Ibnu al-Arabi ini dideterminasi oleh ideologi yang sangat pro Bani Umayyah dan karenanya penilaiannya terhadap pembantaian Imam al-Husain sangat bermotif ideologis. Benarkah demikian? Silahkan baca kembali al-Awashim min al-Qawashim secara teliti niscaya asumsi afiliasi ideologis Abu Bakar Ibnu al-Arabi ini akan muncul terutama ketika membaca pada bagian Uthman bin Affan, Muawiyah dan Yazid dan seterusnya. Ala kulli hal, Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy