Kegaduhan Edy Mulyadi, Tumbang Anoi, dan Kemajuan Kalimantan
Oleh : Eddy Sabarudin, M.Si (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial)
Dalam satu minggu terakhir ini bumi Kalimantan dibuat gaduh dengan pernyataan Edy Mulyadi (EM) yang “terkesan” mengandung unsur hinaan terhadap kondisi Kalimantan dalam hal Pemindahan Ibukota Negara (IKN). Protes keras dari berbagai elemen di Kalimantan yang tersinggung atas pernyataan tersebut menghiasi berbagai halaman pemberitaan baik cetak maupun elektronik nasional dan lokal serta menjadi tranding di media sosial.
Dalam catatan ini saya tidak ingin masuk dalam kontoversi pernyataan EM tersebut. Hanya saja saya ingin menggeser konsetrasi berfikir kita kearah masa kedepan. Yaitu bagaimana kontribusikan atau manfaat apa yang bisa diraih warga Kalimantan atas kebijakan pemindakan IKN ke Kalimantan.
Undang-Undang IKN sudah ketuk palu, konsekwensinya tinggal di jalankan sesuai dengan amanat Undang-undang. Sejumlah kajian dan diskusipun telah banyak hadir diberbagai forum, baik kampus, media mainstream maupun media sosial.
Namun saya melihat belum cukup banyak kajian dan diskusi yang membincang kan bagaimana warga Kalimantan dan segala potensi yang ada didalamnya akan mendapat manfaat ketika proses pemindakan ibu kota ini sudah dilakukan.
Masyarakat Penyabar
Dalam perspektif yang lain EM telah membawa kesadaran baru tentang eksistensi warga Kalimantan yang memiliki martabat. Hikmah dari pernyataanya tersebut telah menjadi enemi, bahwa kita tidak ingin diperlakukan seperti apa yang dimaknai dalam pernyataan EM tentang Kalimantan.
Selama ini warga Kalimantan memang dikenal sebagai mayarakat yang memiliki tifikal penyabar. Dalam sejarah perjalanan republik ini, Kalimantan tidak ada protes yang berarti atau melakukan perlawan yang berdampak pada keinginan memisahkan Kalimantan dari NKRI atau meminta sebagai Daerah Otonomi khusus seperti Aceh dan Papua.
Walaupun kasat mata kekayaan Kalimantan di keruk sedemikian rupa namun tidak sepadan dengan dampak pembangunan dan kesejahteraan warganya.
Sebagai ilustrasi saja, ketika hutan Kalimantan yang tinggi dan lebat di gunduli dan akhirnya menjadi hutan-hutan properti yang tinggi-tinggi di Jakarta, warga Kalimantan diam aja.
Ketika barubara Kalimantan dikeruk dan menjadi penerangan di pulau Jawa, tidak ada daerah yang tidak tersentuh listrik serta tidak pernah padam.
Sementara warga Kalimantan diam-diam saja walaupun masih sangat banyak daerah yang saat ini belum dialiri listrik bahkan sering padaman di daerah perkotaan sekalipun.
Kelangkaan BBM pun sering dialami warga Kalimantan dan kita saksikan pemandangan antri di banyak SPBU, sementara di pulau Jawa BBM berupa Bensin pun masih mudah di dapat, sedangkan di Kalimantan sudah langka. Padahal Kalimantan punya kilang minyak besar di Balikpapan, warga Kalimantan tetap diam saja.
Gelombang Perlawanan
Akan tetapi ketika eksistensi yang menunjukkan identidas dan harga diri Kalimantannya terusik seketika itu persatuan warga Kalimantan hadir dan memberikan perlawanan.
Dalam perjalannya selama ini sering terjadi demikian yang berdampak pada disintegrasi sosial di Kalimantan. Tentu ini menjadi pelajaran kita bersama.
Nah, saya tidak akan mengajak larut dalam gelombang protes yang begitu marak belakangan ini atas pernyataan EM. Hanya saja saya melihat ini momentum bagi seluruh entitas yang ada di Kalimantan.
Untuk bisa merefleksikan ulang peran kontributif apa yang bisa dilakukan Kalimantan sebagai Konsekwensi ditetapkannya Kalimantan sebagai Ibukota baru.
Belajar dari Tumbang Anoi
Kalau dulu Kalimantan memiliki sejarah, bagaimana Tumbang Anoi tahun 1894 menjadi momentum penting dalam melakukan revitalisasi kehidupan sosial, budaya dan kelembagaan tanah Borneo.
Hasil kesepatan Tumbang Anoi kemudian menjadi sangat penting dalam menggeser kehidupan masyarakat Kalimantan yang modern dengan memunculkan kehidupan baru yang sangat berkontribusi bagi peradaban Kalimantan saat ini.
Nah mengapa momentum ini kita tidak mengeksplorasi semangat Tumbang Anoi menuju kehidupan bumi Kalimantan yang lebih maju. Pasca ditetapkannya Kalimantan sebagai ibukota baru yang kemudian akan di sebut Nusantara.
Harus ada piagam baru warga Kalimantan sebagai kontrak sosial bagi pembangunan dan kesejahteraan Kalimantan. Karena salah satu spirit dari pemindahan ibuka baru ini adalah pemerataan pembangunan dan tidak mampunya lagi pulau Jawa menjadi penyangga ibu kota negara, karena kepadatan penduduk, kemacetan, banjir dan lain sebagainya.
Relevan dengan semangat Tumbang Anoi 1894 atau Tumbang Anoi jilid II harus segera di hadirkan.
Untuk itu mungkin perlu di hadirkan musyawarah besar Kalimantan untuk membuat piagam baru sebagai cetak cetak biru Kalimantan kedepan dengan spirit yang di hasilkan dalam piagam Tumbang Anoi pada satu abat silam.
Posisioning warga Kalimantan ini yang saya kita lebih mendasar kita fikirkan. Pernyataan EM kita serahkan kepada aparat penegak hukum untuk memprosesnya secara adil dan lembaga adat ada klo memang perlu di proses secara adat.
Fokus Kalimantan saat ini adalah bagaimana merumuskan poin-poin penting kemajuan Kalimantan untuk tidak menjadi penonton di kampung sendiri dan warga kalimantan harus punya peran dalam berbagai faktor pasca IKN Nusantara nantinya.[]