Kekuatan Politik dan Gagasan Tentang Political Data Mining

Kekuatan-kekuatan politik di manapun, selalu pada dirinya mencerminkan masalah-masalah mendalam kesejarahan dan struktural dimana kekuatan-kekuatan politik itu tumbuh, berkembang dan melakukan peranan. Kekuatan politik kontemporer yang menampilkan diri sebagai partai politik, angkatan bersenjata, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan usaha serta kelompok-kelompok penekan yang lain, sering dikemukakan sebagai bentuk-bentuk luar dari masalah mendalam seperti perkembangan pikiran, ideologi, nilai-nilai, struktur sosial dan ekonomi.

 

Farchan Bulkin, di tahun 1986 membuat sebuah pengantar dalam buku Kekuatan Politik: Perspektif dan Analisa. Buku ini merupakan kumpulan artikel pilihan prisma yang kemudian diterbitkan oleh LP3ES. Menarik, untuk sekali lagi mengkaji ulang pemikiran dan rumusan Bulkin pada buku tersebut. Terutama, bagaimana Bulkin merumuskan tentang kekuatan-kekuatan politik, suatu frasa yang sering kita dengar di ruang publik, terutama dalam berbagai hal yang disangkut-pautkan dengan "politik".

Bulkin menyebutkan bahwa kekuatan-kekuatan politik pada dasarnya memiliki asal-usul di dalam perubahan-perubahan besar sosial, politik dan ekonomi. Di Eropa, setelah abad keenambelas, perubahan-perubahan ini telah menimbulkan pengaruh yang mendalam dan menyebabkan perkembangan ke bagian dunia yang lain. Perubahan-perubahan tersebut telah menampilkan dimensi-dimensi pokok yang menjelaskan pemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan politik kontemporer yang tampil bukan hanya di Eropa, tapi juga di hampir seluruh negara di wilayah lain.

Bulkin menguraikan bahwa konsepsi kekuatan politik di Barat, dalam hal ini dimulai dari Eropa, adalah disebabkan oleh empat dimensi pokok. Dimensi pokok yang pertama adalah bahwa politik, ekonomi dan masalah-masalah sosial yang lain secara pelan-pelan tidak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan, tetapi telah menjadi masalah-masalah masyarakat luas. Terdapat suatu perkembangan yang nyata di Eropa pada masa itu, yaitu adanya suatu perubahan menuju partisipasi politik dan hak pilih. Proses ini juga yang mengawali kelahiran partai politik dan pengelompokan-pengelompokan.

Dimensi kedua adalah semakin kuatnya peranan kelas menengah di hampir seluruh bidang kehidupan. Proses ini dibarengi dengan pengukuhan kebudayaan kota. Tampilnya kelas menengah dan pengukuhan kebudayaan kota inilah yang menandai kelahiran kelas menengah, kaum profesional dan golongan intelektual sebagai kekuatan politik penting yang tidak bisa diabaikan. Dimensi pokok ketiga adalah pemunculan, pertumbuhan dan perkembangan negara modern dalam bentuk seperti yang dikenal dewasa ini. Ini berart bahwa birokrasi dan apartur negara secara pelan-pelan telah pula menjadi unsur penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Termasuk dalam proses ini adalah penampilan angkatan bersenjata sebagai unsur penting negara yang mulai dipimpin dan diorganisasi sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalisme.

Dan, dimensi keempat adalah muncul dan berkembangnya nilai-nilai, filsafat dan ideologi yang memberikan dasar-dasar pengukuhan, pengesahan dan rasionalisasi untuk berjalan dan berkembangnya tata-susunan politik dan konfigurasi kekuatan-kekuatan politik baru itu.

Namun demikian, dimensi-dimensi pokok di atas justru tidak terjadi pada sebagian besar di luar wilayah Eropa atau di negara-negara Dunia Ketiga. Indonesia, termasuk salah satunya. Bulkin menyebutkan bahwa perkembangan konsepsi kekuatan politik di Eropa tersebut tidaklah muncul dan berkembang di luar Eropa, termasuk tidak berkembang di Indonesia, karena beberapa alasan: Pertama, proses defeodalisasi yang terjadi di negara yang mengalami penjajahan, perubahan politik tidak terjadi setegas dan sedramatis yang terjadi di Eropa.

Proses perubahan politik memang terjadi, tetapi karena penjajah, perubahan politik di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, lebih banyak terjadi karena campur tangan politik, birokrasi dan kekuatan-kekuatan ekonomi dari negara penjajah. Ini yang membuat proses defeodalisasi menjadi remang dan kabur. Di Indonesia bahkan yang terjadi adalah penyesuaian dan perubahan peranan kaum feodal yang disesuaikan dengan kepentingan politik dan ekonomi Belanda, sehingga perubahan politik yang terjadi tidak diikuti oleh munculnya kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang mendasari suatu perkembangan menuju suatu perluasan partisipasi politik dan hak pilih.

Kedua, integrasi perekonomian wilayah-wilayah jajahan dalam perekonomian dan pasar dunia tidak memunculkan, apalagi mengukuhkan, kekuatan ekonomi kelas menengah. Walaupun muncul kelompok-kelompok pemilik, pedagang dan komersial sebagai akibat dari perkembangan pasar dan modal dalam perekonomian, namun kekuatan-kekuatan ini ternyata tidak menuju ke arah kemandirian dan koherensi kelas menengah. Selain itu, meskipun di beberapa wilayah tumbuh pula kebudayaan kota, namun kekuatan-kekuatan yang mendasari bukanlah berasal dari kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Pemahaman peranan kelas menengah, kaum profesional, golongan intelektual dan kelompok penekan lain tidaklah memiliki landasan-landasan perekonomian yang kuat, stabil dan mandiri.

Ketiga, proses pembentukan negara. Di Eropa atau Barat, proses pembentukan negara merupakan hasil dari proses di dalam dan megambil waktu yang panjang dan pula sebagai akibat dari proses pertumbuhan unsur-unsur masyarakat. Namun di wilayah bekas jajahan, termasuk Indonesia, proses pembentukan negara telah dicampuri, atau ditentukan oleh kekuatan ekonomi, politik dan birokrasi negara penajajh. Dan keempat, bahwa nilai-nilai, filsafat dan ideologi yang memberikan dasar-dasar pengukuhan, pengesahan dan rasionalisasi untuk berjalan dan berkembangnya tata susunan politik Eropa yang dialihkan ke wilayah bekas jajahan, termasuk di Indonesia, secara substansial berbeda dari asalnya. Pembiasan dan kadang-kadang penyalahgunaan nilai-nilai, filsafat dan ideologi, sangat mudah terjadi.

Di Barat, lahirnya kekuatan-kekuatan politik tidak lepas dari sejarah berakhirnya Zaman Kegelapan di Abad Pertengahan. Renaissance, yang berasal dari bahasa latin Renascari yang berarti kelahiran kembali, menjadi zaman baru kembalinya pengaruh seni dan budaya Yunani dan Romawi Kuno dan menenggelamkan pengaruh gereja yang begitu dominan dalam kehidupan sosial masyarakat. Renaissance ditandai dengan tumbuhnya filsafat antroposentris, filsafat yang sebenarnya telah muncul pada masa Yunani. Filsafat antroposentris didasarkan pada pemikiran bahwa manusia adalah pusat dari eksistensi. Filsafat ini mengembalikan harkat dan posisi akal sebagai pembentuk kebudayaan. Renaissance mempercayai adanya dignity of man.

Masa Renaissance ditandai dengan menguatnya kembali pemujaan pada akal budi, empirisme, munculnya pemikiran saintifik, munculnya pemikiran universalisme, penghormatan pada kebudayaan manusia, pentingnya posisi individu, toleransi, kebebasan dan uniformitas (manusia adalah sama. Sekularisme pemikiran renaissance kemudian menjadi titik tolak perkembangan modernisme di Eropa. Dari sinilah kemudian terjadi bebagai penemuan ilmiah dan pemikiran yang revolusioner.

Salah satu pemikir politik yang muncul pada masa Renaissance adalah Niccolo Machiavelli (1469 – 1527 M), yang merumuskan dasar-dasar bagi politik modern. Machiavelli merumuskan beberapa pemikiran utama, yaitu: Pertama, bahwa kekuasaan dan negara hendaknya dipisahkan dari moralitas dan Tuhan; Kedua, kekuasaan sebagai tujuan, bukan instrumen untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas agama. Sebaliknya, bahwa justru agama dan nilai moralitas harus dijadikan suatu alat untuk mencapai kekuasaan; Ketiga, penguasa yang baik harus mengejar kejayaan dan kekayaan, karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki oleh penguasa; Keempat, kekuasaan merupakan raison d’entre negara. Negara merupakan simbolisasi kekuasaan politik tertinggi yang sifatnya mencakup semua (all embracing), mengajurkan negara kekuasaan (machtstaat), bukan negara hukum (rechtstaat).

Pada masa itu muncul juga pemikiran politik yang merumuskan tentang bentuk-bentuk negara oleh Thomas Hobbes (1588 – 1645). Dalam pandangannya, Hobbes menegaskan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan yang memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak dapat dan tidak boleh dibagi. Kekuasaan yang terbagi akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam negara. Hobbes tidak menyangkal bahwa kekuasaan absolut melahirkan Despotis (negara kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang tanpa ada satupun kekuatan yang dapat mengontrolnya). Meskipun demikian menurut Hobbes, negara Despotis jauh lebih baik daripada terjadinya anarki akibat terbagi atau terbelahnya kekuasaan negara.

Kekuatan-kekuatan politik baru muncul di Eropa pada massa Renaissance. Dimulai kota Florence dan Milan di Italia, yang merupakan pusat perdagangan, menjelma menjadi negara sendiri dengan kekuatan politik di luar dominasi gereja. Kelompok bangsawan, para intelektual, dan para pengusaha mulai menjadi kekuatan politik yang menentukan negara. Bahkan, pada masa ini kekuatan politik baru, yaitu dibentuknya tentara profesional mulai muncul. Konsepsi kekuatan-kekuatan politik ini terus menyebar di seluruh Eropa dan kemudian membentuk negara-negara kontemporer yang kita kenal saat ini.

Kekuatan Politik di Indonesia

Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Pemikiran politik modern baru dimulai pada awal abad XIX yang ditandai dengan munculnya fase Kebangkitan Nasional 1908. Dua organisasi besar lahir, yaitu Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarikat Islam dan Boedi Oetomo dengan pengaruh yang besar di masyarakat. Masa ini dicirikan dengan mulai diperbincangkannya soal-soal yang terkait dengan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang kemudian menjadi awal munculnya kesadaran di kalangan kaum terpelajar terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

Namun pada masa ini, tidak ada kekuatan politik yang muncul. Kalangan terdidik dan pengusaha tidak memiliki kemandirian dalam struktur sosial dan ekonomi. Kekuatan politik yang ada di Indonesia terpusat pada birokrasi yang dibentuk oleh penjajah, yaitu Belanda. Bahkan pada saat Indonesia Merdeka pada tahun 1945 dan awal pemerintahan, kekuatan-kekuatan politik belum terbentuk. Dinamika politik sepanjang masa 1945 hingga 1951, masih diwarnai oleh konflik politik dan perbedaan pandangan para tokohnya.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan yang melatarbelakangi perbedaan konsepsi kekuatan politik di Barat dengan di Indonesia adalah masalah kesejarahan. Eropa memiliki proses sejarah yang panjang dan dramatis, sehingga membentuk kekuatan politik baru. Dramatis yang dimaksud di sini adalah terjadinya masa-masa dimana konflik tidak saja dalam bentuk perbedaan pandangan, tetapi juga dalam bentuk peperangan dan pembantaian (massacre) yang berlangsung cukup lama di akhir Abad Pertengahan dengan korban mencapai jutaan. Masa ini mendorong terciptanya kesadaran baru di masyarakat atas dominasi gereja, yang membentuk kekuatan politik di luar gereja. Terutama di kalangan kaum bangsawan, kaum pengusaha, kaum intelektual dan kelompok penekan yang lain.

Di Indonesia, hingga awal kemerdekaan tahun 1945, kekuatan politik yang telah dibentuk oleh penjajah melalui kekuatan birokrasi dan struktur sosial dalam bentuk feodalisme masih mendominasi kehidupan masyarakat. Kaum intelektual, kaum pengusaha serta kelompok penekan yang lain, juga belum mampu membangun kemandirian dan kekuatan ekonomi. Hal ini karena sejak masa penjajahan hingga awal kemerdekaan, seluruh proses kekuatan politik lebih ditentukan oleh faktor eksternal dibanding muncul dari internal bangsa Indonesia sendiri.

Immanuel Wellerstein (1974) sebagaimana dikutip Bulkin (1986: xi) menyebutkan bahwa untuk memahami transformasi dan berbagai krisis yang bersifat global, maka bisa dilakukan dengan pendekatan Sistem Dunia, yang juga menampilkan suatu wawasan penting untuk memahami kekuatan-kekuatan politik Dunia Ketiga. Dalam perspektif ini kawasan Dunia Ketiga dipandang sebagai entitas yang tak terpisahkan dari sistem dunia --suatu sistem yang telah menggantikan berbagai mini-sistem yang pernah ada di atas dunia.

Sebagaimana sistem-sistem yang lain, Sistem Dunia juga menunjukkan logika internal dan pembagian kerja. Wellerstein mendefinisikan Sistem Dunia sebagai suatu unit (kesatuan) dengan suatu pembagian kerja tunggal dan berbagai macam sistem kebudayaan. Dalam perspektif ini jika orang hendak membicarakan tahap-tahap perubahan, maka ia haruslah membicarakan sistem dalam totalitas. Sedangkan totalitas yang ada atau secara historis pernah ada adalah mini-sistem dan sistem dunia. Sedangkan pada saat ini yang ada adalah Sistem Dunia --suatu sistem yang mulai pertumbuhannya pada abad XVI dan terus berkembang pada abad XIX dan tetap bertahan sampai kini, yaitu ekonomi-dunia kapitalis (capitalist world-economy).

Dunia secara empiris telah menunjukkan munculnya beberapa sistem ekonomi dunia. Namun secara empiris pula ditunjukkan bahwa sistem ekonomi dunia ini merupakan struktur yang tak stabil yang akhirnya menuju kepada disintegrasi atau kemudian ditaklukkan atau dikuasai oleh suatu kekuatan politik yang kemudian mengubahnya menjadi Imperium Dunia. Cina, Mesir dan Roma adalah contoh-contoh dari Imperium Dunia yang pada mulanya merupakan ekonomi dunia. Imperium Dunia dengan demikian merupakan struktur yang berfungsi dengan suatu sistem politik tunggal. Sekalipun dalam imperium ini terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi seperti perdagangan besar dan berjarak jauh, dan dengan demikian memunculkan kelas pedagang, namun --sekalipun besar-- merupakan kelompok minoritas dan secara fundamental tidak menentukan nasib Imperium Dunia.

Dari uraian di atas maka bisa dijelaskan bahwa konsepsi kekuatan politik, baik di Barat maupun di Indonesia tidak bisa lepas dari adanya perubahan yang terjadi secara global. Secara historis, Wellerstein menunjukkan adanya bukti empiris bahwa kekuatan-kekuatan politik, baik di Barat maupun di Dunia Ketiga, akan mengarah pada terbentuknya tujuan bersama yang akan mengurangi, atau setidaknya membentuk kelas-kelas sebagai kekuatan politik baru dalam kehidupan antar-bangsa.

Dalam perkembangan dunia empiris saat ini, yang terlihat secara nyata adalah kemajuan teknologi dan semakin terkoneksi atau tersambungnya berbagai saluran komunikasi yang membentuk masyarakat global. Dengan demikian, maka bisa disimpulkan bahwa berdasarkan pendekatan Sistem Dunia, maka perbedaan konsepsi kekuatan politik antara di Barat maupun di Indonesia, akan semakin mengecil. Teknologi dan komunikasi bukan saja mampu mendistribusikan informasi secara massif dan meluas, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan baru yang membuka terjadinya pemahaman-pemahaman baru yang memunculkan adanya isu-isu global. Inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat dunia.

Netizen, Kekuatan Politik Baru?

Pasca Pilgub DKI 2012, menangnya pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama dari petahana Fauzi Bowo memunculkan beberapa analisis yang menarik. Salah satunya adalah, kekuatan pasangan Jokowi-Ahok dalam memenangkan kontestasi berkat kemampuannya mengelola strategi sosial media. Kedua pasangan tersebut dinilai sukses melakukan digital campaign melalui sosial media dengan melibatkan banyak akun.

Strategi ini bukan hal yang baru, sebenarnya. Pada kontestasi Pilpres di Amerika, kemenangan Barack Obama pada periode pertama juga disebut sebagai kemenangan strategi pengelolaan sosial media. Bukan hanya menang dalam pengertian berhasil menguasai publik di sosial media, bahkan Obama juga disebut mampu menghimpun dana kampanye yang besar melalui "patungan" melalui berbagai platform di sosial media.

Pada dinamika politik di Indonesia, terutama pada masa kontestasi, istilah sosial media menjadi populer. Bahkan, ada semacam sebutan "resmi" bagi mereka yang aktif di sosial media sebagai netizen atau warganet. Wikipedia, merumuskan istilah netizen sebagai "a person actively involved in online communities or the Internet in general. The term commonly also implies an interest and active engagement in improving the internet, making it an intellectual and a social resource, or its surrounding political structures, especially in regard to open access, net neutrality and free speech".

Dalam wikipedia bahasa Indonesia, rumusan itu dijelaskan sebagai: "seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau internet pada umumnya. Istilah tersebut juga umum ditujukan kepada kepentingan dan kegiatan aktif di Internet, menjadikannya wadah sosial dan interlektual, atau struktur politik di sekitarnya, khususnya terkait akses terbuka, netralitas internet dan kebebasan berbicara. Warganet juga umum disebut sebagai warga siber atau cybercitizen, yang memiliki pengartian yang sama.

Istilah tersebut, sebenarnya sudah banyak dipakai pada pertengahan 1990an sebagai cara untuk menyebut orang-orang yang mendiami geografi baru dari Internet. Pionir dan pengarang internet, Michael F. Hauben disebut sebagai orang yang mencetuskan dan mempopulerkan istilah tersebut. Nah, pertanyaan pentingnya adalah: apakah netizen atau warganet sudah menjadi kekuatan politik baru di Indonesia, atau dunia secara global?

Jika rumusan kekuatan politik didasarkan pada pemikiran yang diuraikan di atas, tentu cukup sulit menyebutkan bahwa netizen atau warganet telah menjadi sebuah kekuatan politik baru. Karena, setidaknya terbentuknya suatu kekuatan politik akan meliputi suatu respon terhadap jaman yang membawa perubahan pada masyarakat secara total atau keseluruhan. Pertanyaannya: apakahan netizen dan warganet telah mengubah zaman?

Tentu, masih sulit untuk menyusun indikator atau rumusan perubahan zaman sebagai implikasi dari kekuatan pengaruh netizen atau warganet. Namun, jika dilihat pada dinamika politik, harus diakui bahwa beberapa agenda politik di tingkat nasional, lokal bahkan global, kontribusi netizen dan warganet sulit dipungkiri. Mereka telah menjadikan perubahan yang signifikan terhadap agenda-agenda penting di masyarakat.

Di sinilah poin tulisan ini, bahwa netizen dan warganet setidaknya bisa menjadi kajian baru dalam ilmu politik. Meskipun belum bisa disebut sebagai kekuatan politik yang memiliki pengaruh dalam melakukan perubahan zaman, tapi terlibatnya publik dengan sosial medianya untuk melakukan perubahan-perubahan agenda politik yang berkaitan dengan publik, termasuk di dalamnya adalah kontestasi politik, maka keberadaan netizen atau warganet sulit diabaikan sebagai suatu "kelas baru" dalam kehidupan politik.

Persoalan mendasarnya adalah: bagaimana merumuskan siapa itu netizen atau warganet?

Jawabannya, tentu tidak bisa mengandalkan pada pendekatan konvensional saja. Misalnya, dengan mensurvei siapa itu netizen atau warganet untuk menentukan profil dan identitas mereka. Karena, sosial media yang lekat dengan teknologi digital, bisa membuat berbagai performance atau penampilan bagi setiap orang. Pada titik ini, penggunaan teknologi digital sangat dibutuhkan. Setidaknya, dalam kajian ilmu politik, mungkin sudah mulai harus dirumuskan untuk menganalisis "political data mining" sebagai instrumen penting dalam riset maupun kajian untuk tujuan-tujuan analisis akademis.

Data mining yang dimaksud di sini adalah penggalian data dengan menggunakan seperangkat teknologi untuk membaca profil, kecenderungan perilaku hingga pilihan-pilihan politik melalui algoritma digital. Meskipun agak sedikit meragukan, karena politik harus berhadap dengan "robot" sebagai pembacu perilaku manusia, tetapi setidaknya gagasan ini membuka ruang baru bagi diskusi-diskusi politik secara akademis. Yaitu, peluang kajian politik bisa memprediksi masa depan dengan berdasarkan data digital. Kira-kira begitulah ide dasar gagasan ini.(*)

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved