Kritik Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Islam (Part I)
Filsafat di dunia Islam merupakan ilmu yang banyak dizhalimi ketimbang ilmu-ilmu lainnya. Dalam setiap fase kesejarahannya, filsafat memang tidak pernah tenang karena selalu menjadi sasaran serangan bertubi-tubi baik dari kalangan ahli hadis dan ahli fikih maupun dari kalangan ahli kalam.
Jadi serangan terhadap filsafat di dunia Islam abad pertengahan paling tidak dapat diklasifikasikan menjadi dua tipologi; pertama, ahli fikih dan ahli hadis yang menyerang filsafat tanpa pengetahuan mendasar tentang filsafat itu sendiri dan kedua, ahli kalam yang menyerang filsafat untuk membela aliran kalam tertentu.
Ibnu as-Salah, an-Nawawi dan lain-lain masuk ke dalam tipologi pertama sedangkan Imam al-Ghazali dan as-Syahrastani masuk ke dalam tipologi kedua. Tipologi kedua ini menyerang filsafat dengan menggunakan kerangka pikir dalam filsafat itu sendiri, yakni lewat logika.
Tidak seperti kelompok pertama yang menyerang filsafat tanpa belajar filsafat, kelompok kedua cenderung menyerang dari dalam dengan mempelajari beberapa pandangan filsafat yang bertentangan dengan sistem teologi, teologi Asy’ariyyah terutama. Jadi tipologi kedua ini bisa disebut juga pandangan kefilsafatan tertentu yang menyerang filsafat tertentu, yang dalam hal ini filsafat Yunani.
Untuk tipologi kedua ini, harus dibedakan juga antara sikap al-Ghazali dan as-Syahrastani. Yang pertama cenderung tidak taat asas pada logika yang digunakan dan bahkan cenderung subjektif sedangkan kedua cenderung taat asas pada logika yang digunakan dan bahkan sedikit lebih objektif dari yang pertama. As-Syahrastani memiliki karya yang fokus mengkritik filsafat berjudul Musara’atul Falasifah. Tentu yang dimaksud filsafat di sini ialah filsafat ketuhanan yang diproduksi oleh Ibnu Sina melalui pembacaannya terhadap filsafat Yunani.
Sebenarnya ada tipologi ketiga yang berbeda dari dua tipologi sebelumnya. Tipologi ketiga ini sangat unik dalam mengkritik filsafat. Jika tipologi pertama mengkritik filsafat tanpa tahu filsafat, asal kritik saja dengan menerbitkan fatwa-fatwa haram mempelajarinya, dan tipologi kedua mengkritik filsafat dari dalam dengan menggunakan logika serta membela pandangan aliran tertentu, Asy’ariyyah, misalnya, nah tipologi ketiga ini terlepas dari kepentingan dua tipologi sebelumnya.
Tipologi ketiga ini mengkritik filsafat dengan menghancurkan asas- asas epistemologis filsafat itu sendiri. Ibnu Khaldun dalam karyanya al-Muqaddimah bisa dimasukkan ke dalam tipologi ketiga ini. Oke langsung saja kita coba bahas kritik Ibnu Khaldun terhadap filsafat.
Berbeda dari al-Ghazali dan as-Syahrastani yang masih terkungkung dalam bayang-bayang pembelaan terhadap madzhab Asy’ariyyah dalam mengkritik filsafat, Ibnu Khaldun meski secara teologi beraliran Asy’ariyyah justru tidak menjadikan Asy’ariyyah sebagai paradigma awal dalam mengkritik filsafat. Ibnu Khaldun lepas dari baying-bayang sekat madzhab seperti ini. Terlepas dari asumsi-asumsi sektarian yang sempit, Ibnu Khaldun malah berangkat dari kerangka realisme yang sangat positivistik dalam menghancurkan basis-basis epistemologis filsafat Yunani seperti yang dihadirkan oleh Ibnu Sina. Kritik Ibnu Khaldun ini tentu menarik decak kagum.
Ibnu Khaldun tidak menyerang filsafat dan bersikap memusuhinya seperti ahli fikih dan ahli hadis. Ibnu Khaldun juga tidak mengambil posisi sebagai penganut aliran Asy’ariyyah untuk menyerang persoalan-persoalan filsafat yang tidak sesuai dengan aliran yang dianutnya. Dengan melangkah lebih jauh dari para pendahulunya, Ibnu Khaldun menghantam basis-basis epistemologis filsafat Yunani secara langsung dengan terlebih dahulu menghancurkan aksioma-aksioma metafisis yang menjadi basis bagi setiap pemikiran kefilsafatan di masanya.
Dalam kritik epistemologisnya terhadap filsafat Ibnu Khaldun menghancurkan terlebih dahulu tiga kerangka acuan pemikiran metafisika di masanya. Tiga kerangka acuan pemikiran metafisik ini menjadi acuan para filosof. Jika tiga hal ini dihancurkan, akan runtuh pula tesis-tesis utama filsafat Yunani secara keseluruhan. Dalam al-Muqaddimah, paling tidak, bisa kita temukan tiga asumsi metafisis yang ingin dihacurkan oleh Ibnu Khaldun;
Pertama, wujud, baik yang inderawi maupun non-inderawi, dapat ditangkap entitas-entitasnya, sifat-sifatnya dan sebab-sebabnya dengan menggunakan pengamatan dan penyelidikan yang dilakukan oleh rasio.
Kedua, memahami wujud melalui jalur pengamatan dan penyelidikan rasio dapat memungkinkan filosof untuk berhubungan langsung dengan akal aktif (al-aql al-fa’al). Hubungan secara langsung dengan akal aktif ini dikategorikan sebagai puncak kebahagiaan sejati. Sampai di sini, tujuan berfilsafat bagi para filosof ialah untuk mencapai kebahagiaan.
Ketiga, ada aturan-aturan dan kaidah-kaidah penalaran yang dapat digunakan oleh rasio untuk membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Dan aturan penalaran itu (logika maksudnya) jika digunakan akan mengantarkan para filosof ke tujuan mereka dalam memahami wujud seperti apa adanya, dan dengan memahami wujud seperti apa adanya, mereka dengan sendirinya dapat menggapai kebahagiaan hakiki.
Ibnu Khaldun mendiskusikan tiga postulat yang menjadi kerangka pemikiran metafisis pemikiran filsafat di masanya. Ibnu Khaldun bahkan berusaha membongkar dan membuka kedok kekeliruan yang menyelimuti pemikiran filsafat di zamannya. Kalau pun tidak runtuh secara keseluruhan, paling tidak Ibnu Khaldun sudah berusaha menunjukkan betapa jauhnya kerangka pemikiran filosofis ini dari kepastian dan kebenaran yang menyakinkan.
Oleh karena itu, ketika tiga kerangka pemikiran metafisis ini mulai diragukan, tesis-tesis filsafat pun akan runtuh dengan sendirinya. Bersambung.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy