Kritik Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Islam (Part II)
Kita mulai pembahasan tentang kritik Ibnu Khaldun terhadap filsafat ini dengan pembahasan mengenai logika dan fungsinya. Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menolak peranan rasio dan logika dalam mencari kebenaran. Namun kritik Ibnu Khaldun dalam hal ini terfokus pada bagaimana para filosof sebenarnya tidak menghargai batasan-batasan rasio dan bahkan cenderung melampaui batasan-batasan tersebut sehingga mereka menggunakannya untuk memahami hal-hal yang tak bisa dicapai oleh rasio sendiri.
Bagi Ibnu Khaldun, rasio hanya mampu mengamati realitas yang dapat tercerap secara inderawi dan tidak bisa digunakan untuk memahami kenyataan non-inderawi atau non-fisik atau sebut saja alam ketuhanan.
Lebih dari itu, kata Ibnu Khaldun, para filosof tidak konsisten dengan standar-standar yang mereka tetapkan dalam logika. Mereka malah mengabaikan standar-standar yang mereka buat sendiri dalam logika ini dan cenderung inkonsisten dalam menggunakannya dalam dunia filsafat.
Bagi Ibnu Khaldun, rasio ialah:
ميزان صحيح، فأحكامه يقينية لا كذب فيها، غير أنك لا تطمع أن تزن به أمور التوحيد والآخرة وحقيقة النبوة وحقائق الصفات الإلهية وكل ما وراء طوره، فإن ذلك طمع فى محال.
“standar yang tepat untuk permenungan. Selain itu, aturan-aturan berpikir menggunakan rasio sangatlah menyakinkan serta tidak ada kepalsuan di dalamnya. Namun, meski fungsinya yang sedemikian sentral, rasio tetap tidak bisa digunakan untuk mendiskusikan persoalan-persoalan tauhid, akhirat, kenabian, sifat-sifat ketuhanan dan semua persoalan-persoalan yang berada di luar ambang batas kemampuannya. Karena, jika rasio digunakan untuk hal-hal demikian, artinya sama saja dengan ambisi untuk menggapai kemustahilan.”
Bagi Ibnu Khaldun, baik objek fisik yang disadari dalam persepsi secara langsung maupun gambaran terindra (sebut saja fantasma) yang menghadirkan objek fisik ke kesadaran - dimana sebelumnya secara inderawi pernah dialami secara langsung - mengandung kemungkinan untuk dipahami dan diketahui. Sedangkan objek non-fisik amat jauh kemungkinannya untuk dapat diketahui oleh rasio.
Jadi peranan rasio sangatlah terbatas pada pengamatan terhadap data-data yang bersifat material. Jika digunakan untuk mengamati persoalan yang sifatnya metafisis, rasio tidak akan mampu menembusnya. Itulah peranan rasio yang amat terbatas, termasuk alat kerja rasio yang bernama logika juga tidak bisa digunakan untuk menembus dunia metafisik-transendental (dzawatul alam ar-ruhani).
Kendati tidak bisa menembus dunia non-materi ini, logika menurut Ibnu Khaldun masih dapat dipergunakan sebagai alat yang dapat membantu rasio, terutama dalam membedakan putusan yang salah dan putusan yang benar. Selain itu, logika bagi Ibnu Khaldun dapat berfungsi:
شحذ الذهن في ترتيب الأدلة في الحجاج لتحصيل ملكة الجودة والضواب في البراهين
“melatih otak untuk menertibkan pikiran ketika berargumen, dan dapat membantu menajamkan keterampilan nalar untuk sampai pada argumen yang tepat.”
Tak hanya itu, logika berusaha menata pengetahuan yang diperoleh dalam setiap langkah pengamatan berdasarkan kaidah-kaidah atau hukum penalaran.
Kendati sedemikian pentingnya dalam menertibkan pikiran dan cara kerjanya yang hanya terbatas pada pengamatan kenyataan material, rasio melalui alatnya yang bernama logika, bagi Ibnu Khaldun, tetap dinilai tidak mampu menjawab pertanyaan apakah putusan-putusan yang diproduksinya itu sesuai dengan kenyataan riil atau tidak. Bahkan Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah menegaskan:
إن صناعة المنطق غير مأمونة الغلط لكثرة ما فيها من الانتزاع وبعدها عن المحسوس فإنها تنظر في المعقولات الثواني. ولعل المواد فيها ما يمانع تلك الأحكام وينافيها عند مراعاة التطبيق
“logika sendiri tidak aman dari kekeliruan. Sebab, putusan-putusan yang diproduksinya kebanyakan jauh dari kenyataan. Logika hanya dapat diterapkan dalam inteligibitas sekunder (?). Dan bisa jadi materi-materi yang ada di dalam logika ini beserta putusan-putusannya mengandung ketidaksesuaian dengan kenyataan riil ketika dicoba diterapkan.”
Berdasarkan kerangka pikir seperti ini, mungkin Ibnu Khaldun dalam benaknya bertanya-tanya bagaimana bisa para filosof sampai keliru meyakini bahwa wujud, baik yang fisik maupun non-fisik, dapat dipahami secara keseluruhan dengan menggunakan logika? Bagaimana mereka bisa sampai yakin mencapai kebenaran ketika memahami entitas-entitas yang ada di alam ruhani, padahal mereka sendiri mengakui entitas-entitas ini sebagai bukan bagian dari materi, dan sementara dalam logika yang mereka terapkan standar-standar penalarannya, semua entitas yang bukan materi tidak bisa dibuktikan dengan menggunakan rasio?
Untuk pertanyaan-pertanyaan ini, Ibnu Khaldun menjawabnya demikian:
أنهم عثروا أولا على الجسم السفلي بحكم الشهود و الحس ثم ترقى إدراكهم قليلا فشعروا بوجود النفس من قبل الحركة و الحس في الحيوانات ثم احسوا من قوى النفس بسلطان العقل. ووقف إدراكهم فقضوا على الجسم العالي السماوي بنحو من القضاء على أمر الذات الإنسانية.ووجب عندهم أن يكون للفلك نفس و عقل كما للإنسان ثم أنهوا ذلك نهاية عدد الآحاد و هي العشر، تسع مفصلة ذواتها جمل و واحد أول مفرد و هو العاشر.
“Pertama-tama, berdasarkan pada proses pengamatan dan penalaran, mereka menemukan adanya substansi bagian bawah (kehidupan di bawah bulan, yakni bumi). Dari sini kemudian pemahaman mereka mulai meningkat tahap demi tahap. Dengan mengamati adanya gerak dan pencerapan inderawi pada tubuh binatang, mereka berkesimpulan mengenai adanya kekuatan jiwa.
Kekuatan jiwa, pada tahap selanjutnya, membuat mereka memahami dominasi kekuatan rasio. Dan pada tahapan ini, persepsi mereka seketika berhenti. Mereka mencoba melihat benda-benda langit dan membandingkannya dengan spesies manusia. Pada akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan, bahwa benda-benda langit, seperti halnya manusia, ternyata juga memiliki jiwa dan akal. Dan kemudian mereka batasi jumlahnya menjadi sepuluh jenis: sembilan jika dilihat secara esensinya bersifat plural, sementara, yang satu, yakni urutan kesepuluh, jika secara esensi dan hakikatnya ialah Yang Esa dan yang menjadi inti.”
Yang Esa dan yang Inti (wahidun mufradun) dalam bahasa Pseudo-Aristotelian disebut Secretum secretorum atau dalam istilah Roger Bacon dinamakan Opera hactenus inedita dan dalam bahasa Arab disebut Sirr al-Asrar (lihat terjemahan Franz Rosenthal untuk Muqaddimah Ibnu Khaldun Volume III h. 249).
Untuk memahami kutipan di atas, perlu disampaikan bahwa Ibnu Khaldun itu paham betul metafisika Yunani. Metafisika Yunani, menurut Ibnu Khaldun, secara epistemologis sebenarnya didasarkan kepada konsep penganalogian antara yang ada pada diri manusia dan yang ada pada alam. Manusia memiliki jiwa dan rasio. Konsepsi ini dapat pula berlaku bagi benda-benda langit. Oleh karena itu, sama seperti manusia, benda-benda langit juga memiliki jiwa dan rasio. Menurut konsepsi Yunani yang seperti ini, benda-benda langit (misalnya seperti planet-planet dan bintang-bintang) dapat pula digambarkan sebagai entitas-entitas hidup yang memiliki ruh, jiwa dan rasio.
Jenis analogi seperti ini kata Ibnu Khaldun jelas tidak rasional, dan tentunya baginya ini adalah kekeliruan. Hal demikian karena entitas-entitas alam ruhani (dzawat al-alam ar-ruhani) amat jauh dari pengamatan dan penyelidikan inderawi kita sehingga kita tidak mungkin bisa menganalogikan realitas yang jauh dari pengamatan kita ini dengan kenyataan riil yang kita alami. Bagi Ibnu Khaldun kedua-keduanya, baik manusia maupun benda-benda langit, tidak bisa dianalogikan (muqayasah) seperti itu.
Inilah sekelumit pandangan Ibnu Khaldun tentang batasan-batasan rasio dan logika yang inti perannya hanya terbatas pada sesuatu yang tercerap secara inderawi. Kita akan eksplor lebih jauh pandangannya tentang fisika dan teologi dalam tulisan berikutnya. Tentu ulasannya tentang dua hal ini masih dalam kerangka kritiknya terhadap batasan-batasan rasio dan logika.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy