Makna Thairan Ababil dalam Surat al-Fiil sebagai Virus yang Menghancurkan Tentara Abrahah

Dalam tulisan ini, kita akan mengulas secara ringkas kata-kata penting yang ada dalam surat al-Fiil. Mungkin lebih tepatnya, kita akan melakukan tinjauan secara semantik terhadap kata-kata kunci dalam surat al-Fiil. Ada tiga kata yang akan diulas; pertama, kata “thairan ababil,” kedua, “tarmihim bi-hijaratin,” ketiga, “sijjil”. Ulasan kebahasaan ini masing-masing disajikan secara menarik oleh Muhammad Asad dalam tafsirnya yang terkenal, The Message of the Qur’an.

Tafsir ini dijadikan rujukan karena ulasan linguistiknya yang sangat menakjubkan. Kalau kita gunakan istilah al-Jabiri dalam Bunyat al-Aql al-Arabi, yang dilakukan oleh Asad ini ialah usahanya dalam memerikan tafsir al-Quran secara Bayani. Dan saya kira dengan rujukan ke sumber-sumber Muktazilah, bolehlah tafsir ini kita anggap sebagai puncak rasionalitas Bayani dalam menafsirkan al-Quran. Bayani sendiri, seperti yang diungkap oleh al-Jabiri, merupakan salah satu corak epistemologi dalam kebudayaan Arab yang menjadikan bahasa sebagai cara pandang dan kerangka utama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pengetahuan.

Baiklah kita mulai dengan kata “thairan ababil”. Asad mengatakan bahwa thairan merupakan jamak dari kata tha’ir. Asad mengartikan kata thair ini sebagai flying creatures ‘spesies yang beterbangan’, entah itu burung atau serangga. Dalam hal ini, Asad mengatakan bahwa as regards the noun ta’ir (of which tayr is the plural), we ought to remember that it denotes any “flying creature,” whether bird or insect (Tajul Arus) (Terkait nomina ta’ir (yang bentuk jamaknya ialah tayr), kita harus ingat bahwa kata ini dapat berarti ‘spesies yang terbang,’ baik itu burung atau serangga). Ini karena dalam bahasa Arab, kata ta’ir merupakan bentuk partisipel dari tara-yatiru (terbang).

Asad mendasarkan pemaknaannya terhadap kata ini pada kamus Arab  klasik yang berjudul Tajul Arus. Sementara itu, ababil diterjemahkannya dalam bahasa Inggris sebagai great swarms “kawanan dalam jumlah besar” atau dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai “yang berbondong-bondong.”

Asad menolak kata thairan ababil ini dimaknai secara imaginer. Karena itu, Asad menegaskan neither the Qur’an nor any authentic Tradition offer us any evidence as to the nature of “the flying creatures” mentioned in the above verses; and since, on the other hand, all the “descriptions” indulged in by the commentators are purely imaginary, they need not be seriously considered (baik al-Quran maupun Hadis Nabi tidak memberikan keterangan lebih lanjut tentang hakikat dari “spesies yang beterbangan” seperti yang disebut pada ayat di atas; dan karena itu beberapa penjelasan yang ditawarkan oleh ulama fafsir yang sangat imaginatif tidak perlu dianggap serius).

Meski tidak memastikan makna yang tepat, Asad menyebut bahwa bisa jadi “spesies yang beterbangan” itulah yang menyebarkan dan menularkan penyakit. Dalam hal ini, Asad mengatakan demikian if the hypothesis of an epidemic is correct, the “flying creatures” – whether birds or insects – may well have been the carriers of the infection (jika pandangan yang menyatakan bahwa adanya wabah penyakit ini benar, “spesies yang beterbangan” – entah itu burung atau serangga – bisa jadi yang menularkan penyakit). Lalu penyakit menular apa yang dapat memusnahkan pasukan Abrahah?

Asad menjawab bahwa Abrahah’s army was totally destroyed on its march – probably by an extremely virulent outbreak of smallpox or typhus (Pasukan Abrahah telah dihancurkan secara total dalam perjalananya menuju Mekkah – kemungkinan oleh menjalarnya penyakit cacar atau tipus).

Penjelasan Muhammad Asad terkait makna thairan ababil sebagai ‘spesies beterbangan’ yang menularkan penyakit cacar dan tipus ini menemukan pijakannya dalam narasi sejarah yang dikemukakan oleh Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah. Ibnu Ishak dalam as-Sirah an-Nabawiyyah menyebutkan:

إن أول ما رؤيت الحصبة والجدري بأرض العرب ذلك العام

“Bahwa awal menyebarnya wabah penyakit berupa demam dan cacar di tanah Arab terjadi pada tahun itu”.

Yang dimaksud “pada tahun itu” ialah tahun ketika pasukan gajah hendak menghancurkan Ka’bah. Tepatnya peristiwa ini terjadi di tahun 570 masehi. Jadi secara tidak langsung Muhammad Asad menolak bahwa yang menghancurkan pasukan Abrahah ialah burung ababil yang membawa batu-batu dari neraka.

Setelah mengutip dari Ibnu Ishak, Muhammad Asad kemudian mengatakan bahwa it is interesting to note that the word hasbah – which, according to some authorities, signifies also typhus – primarily means “pelting [or smiting] with stones” (menarik untuk dicatat di sini bahwa kata hasbah – yang menurut beberapa ahli bisa juga bermakna penyakit tipus – dapat juga diekspresikan dengan frase “melempar batu (tarmi bi-hijarah)”).

Jadi menurut Asad, kata hasbah yang menurut ahli disebut juga penyakit tipus bisa diekspresikan dalam bahasa Arab dengan ungkapan lain, yakni “tarmi hijaratan”. Secara literal, ungkapan “tarmi hijaratan” ini mengandung arti “melempar batu” namun dalam bahasa Arab klasik “tarmi hijaratan” bisa juga dianggap sebagai idiom. Idiom ialah frase atau klausa yang artinya tidak bisa dilihat dari masing-masing satuan lingualnya. Karena dianggap sebagai frasa idiomatik, “Tarmi hijaratan” ini, artinya ialah “terkena penyakit tiphus” yang dalam bahasa Arab klasik bisa juga diekspresikan  dengan “asabathul hasbah”. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa menurut Muhammad Asad, kata tarmi hijaratan dalam bahasa Arab artinya ialah bukan “melempar batu” sungguhan tapi ungkapan metaforis yang bermakna “tertular penyakit tipus” atau “menularkan penyakit tipus”.

Nah setelah kita bahas dua kata kunci penting dalam surat al-Fiil, yakni thairan ababil dan tarmihim bi hijaratin, kini kita beralih pada kata berikutnya, yakni sijjil. Kata sijjil sendiri dalam bahasa Arab menurut Asad ialah “catatan” dan karena itu bisa jadi sijjil di sini merupakan sebuah metafor untuk menunjukan “sesuatu yang sudah ditakdirkan sebelumnya (something that has been decreed by God)”. Sampai di sini, Asad sepertinya mengabaikan makna lain dari kata sijjil, ‘tanah berbatu’ (at-tin al-mutahajjir). Namun tampaknya, sijjil merupakan metafor bagi tempat yang tidak nyaman, tidak subur, gersang.

Secara ringkasnya, sebut saja sijjil dalam konteks penggunaannya di surat al-Fiil ini sebagai metafor yang artinya ialah “sumber kesengsaraan” atau “sumber penyakit”. Kira-kira dari sijjil itulah thairan ababil atau ‘spesies yang beterbangan’ inilah mengambil virus untuk menyebarkan dan menularkan penyakit. Pemaknaan ini bisa dilihat dari bagaimana kata sijjil sering digunakan dalam dua ayat lainnya (surat Hud ayat 82 dan surat al-Hijr ayat 74) dalam alquran sebagai sumber siksaan, sumber kesengsaraan, sumber ketidaknyamanan yang tidak lain ialah neraka. Allah A’lam.

*Tulisan ini dimuat pertama kali di bincangsyariah.com dan Islami.co

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved