Membaca Zakat dari Perspektif Politik Kesukuan di Era Awal Islam

Berbagai literatur politik di abad klasik dan abad pertengahan, baik di dunia Islam maupun di dunia lainnya, sepakat mengenai adanya dua fondasi dasar dalam membangun dan menjaga negara: tentara dan dana.

Adagium “negara akan berdiri dengan adanya tentara dan tentara akan kuat dengan adanya dana” selalu terulang dalam berbagai literatur politik dan seolah sudah menjadi aksioma dalam jagad pemikiran politik. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan fondasi lainnya seperti keadilan dan kemakmuran, hal tersebut berkenaan dengan kualitas negara bukan dasar fondasionalnya.

Dakwah Nabi Muhammad SAW di wilayah Jazirah Arab telah berubah menjadi atau paling telah berhasil mendirikan negara yang mampu menjadikan orang-orang sebagai tentara dan pada tahap selanjutnya mendapatkan harta. Semua ini terjadi setelah hijrah ke Madinah: kaum Muhajirin dan Anshar merupakan para tentara negara Dakwah sedangkan donasi harta yang mereka keluarkan secara cuma-cuma digunakan untuk membiayai perang melawan musuh-musuh agama.

Setelah menang, mereka mendapatkan harta rampasan perang. Dengan kata-kata lain, donasi pribadi secara cuma-cuma  dari kaum Muhajirin dan Anshar dan harta rampasan perang yang didapat dari musuh pasca perang merupakan sumber pendapatan negara di kala itu.

Ketika terjadi peristiwa Fathu Makkah dan para kabilah bergegas mengirimkan utusan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengucapkan selamat dan masuk Islam (tahun ke 9 Hijriyyah), praksis Jazirah Arab tunduk di bawah negara Dakwah.

Dan karena zakat ialah semacam ikatan material satu-satuanya yang membuktikan bahwa suatu kabilah tertentu telah masuk Islam, atau dalam bahasa politiknya, masuk ke dalam kekuasaan politik Islam, tentu selain mengutus utusan yang dipilihnya menjadi guru agama ke setiap wilayah, Nabi juga mengutus amil yang mengurusi soal zakat sebagai pemasukan negara. Selebihnya, Nabi hanya mengutus komandan tentara dan hakim jika memang dibutuhkan.

Secara umum, masuknya kabilah-kabilah Arab ini ke dalam agama Islam di masa ini bisa dikatakan sebagai masuk Islam yang bersifat politis, yakni masuk Islam hanya sebagai tanda pengakuan atas negara Dakwah yang didirikan Nabi Muhammad SAW. Kewajiban zakat di mata para kabilah ini posisinya sama seperti upeti yang harus dibayarkan di masa pra –Islam.

Upeti politis ini sebut saja harta yang diambil secara paksa oleh kabilah terkuat yang menang dari kabilah lemah yang kalah. Upeti di masa ini ibarat pajak yang wajib dibayarkan oleh suatu kabilah selagi perimbangan kekuatan menuntut hal demikian. Jika perimbangan kekuatan ini berubah, atau tampak seperti berubah di mata kabilah bersangkutan, maka kabilah ini tidak lagi membayarkan upetinya.

Kabilah-kabilah di Arab ini tidak hanya melihat upeti dari aspek ekonomi semata. Mereka bahkan melihatnya sebagai bentuk ketundukan dan ketaatan terhadap kabilah terkuat. Upeti di kalangan masyarakat kekabilahan merupakan satu-satunya simbol yang dapat membedakan antara kabilah yang kuat dan kabilah yang lemah, antara kabilah yang berkuasa dan kabilah yang tunduk kepada kekuasaan tersebut.

Kabilah yang hidup secara nomaden di gurun-gurun pada awalnya menganggap dirinya sebagai kabilah yang bebas dari semua tekanan dan sekaligus menganggap dirinya sederajat dengan kabilah-kabilah lain dalam soal kekuatan dan kepenguasaan.

Ketika salah satu kabilah menang melawan kabilah lain melalui perang, maka bukti yang menunjukkan relasi kuasa antara yang menang dan yang kalah ini ialah melalui pembayaran upeti. Karena itu, ketika kabilah yang kalah ingin membebaskan diri dari ikatan ketundukan ini, maka untuk mengembalikan kewibawaan dan kejayaannya ialah dengan cara tidak membayar upeti. Tentu fenomena ini menuntut adanya perubahan terlebih dahulu dalam level perimbangan kekuatan.

Dalam konteks seperti ini, kita mungkin dapat memahami kemunculan fenomena murtad setelah kabilah-kabilah tersebut mendengar isu sakitnya Nabi Muhammad SAW dan makin merebak lagi setelah mendengar wafatnya.

Memang benar bahwa ada kabilah-kabilah tertentu yang berambisi  lebih dari sekedar terlepas dari kewajiban membayar upeti/zakat. Misalnya para nabi palsu yang mengikuti model Nabi Muhammad SAW yang bersama kabilahnya berusaha untuk mendirikan organisasi politik baru yang memiliki corak kebangsaan seperti al-Aswad al-Anasi di Yaman, atau bercorak kedaerahan seperti Musailamah al-Hanafi di Yamamah dan bagian timur Jazirah Arab atau yang berambisi untuk menguasai negara Madinah sendiri seperti Tulaihah al-Asadi dan Sajjah at-Tamimiyyah.

Kendati demikian, kabilah-kabilah yang lain tidak memiliki ambisi sebesar kabilah Tulaihah, al-Anasi, Sajjah dan seterusnya. Mereka hanya sekedar ingin lepas dari kewajiban membayar zakat karena zakat bagi mereka hanya hubungan individu mereka dengan Nabi Muhammad SAW dan karenanya tak perlu lagi dibayarkan kepada Abu Bakar.

Ada juga kabilah-kabilah lainnya yang menyembunyikan ambisinya untuk menghancurkan negara Madinah. Mereka menawar Abu Bakar untuk tidak membayar zakat namun mereka masih tetap melakukan shalat. Kabilah-kabilah ini menunggu kesempatan emas tiba dan mencoba mengawasi keadaan dari dekat.

Abu Bakar menolak tawaran ini dengan keras meski sebagian sahabat menasehatinya untuk menerima sementara tawaran tersebut sampai kondisi negara kembali pulih. Maklum kondisi negara saat Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah pertama sedang dilanda krisis perpecahan seperti wafatnya Nabi Muhammad SAW, perseteruan antara Muhajirin dan Anshar seputar khilafah, adanya gerakan-gerakan seperatis murtad dan munculnya nabi-nabi palsu.

Abu Bakar paham betul bahwa tidak membayar zakat dengan sendirinya menandakan bahwa kabilah-kabilah tersebut sudah tidak tunduk dan taat kepada negara Madinah. Atau dengan meminjam istilah moderennya, mereka tidak memiliki nasionalisme yang tinggi. Zakat di masa ini dipahami oleh kabilah-kabilah Arab saat itu sebagai simbol ketundukan kabilah yang lemah terhadap kabilah yang kuat, kabilah Quraish.

Karena itu, sebagai sahabat Nabi yang amat paham dengan tradisi kesukuan di Jazirah Arab, Abu Bakar dapat membaca gelagat kabilah-kabilah Arab yang tidak tunduk secara politik ke negara Madinah. Itulah kemudian dalam sejarah, meski kabilah-kabilah tersebut ada juga yang masih shalat namun tidak membayar zakat, mereka tatap dianggap murtad, bukan murtad agama tapi murtad politik. Allahu A’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved