Mempertimbangkan Ma’hud al-Arab dalam Memahami al-Quran

Salah satu konsep kunci dalam dunia fikih dan tafsir, terutama ketika berkecimpung dalam persoalan makna kata dalam berbagai manifestasinya ialah konsep ma’hud al-Arab. Mungkin saya terjemahkan di sini sebagai ‘yang dikenal oleh Bangsa Arab’. Konsep ini mengandung multi-arti meski hanya terbungkus pada satu frase itu. Karena memiliki multi-arti, konsep ini bisa dijadikan sebagai perangkat pengetahuan yang cukup efektif dalam memahami bahasa al-Quran dan hadis.

‘Yang dikenal oleh Bangsa Arab’ atau yang kita sebut sebagai Ma’hud al-Arab bisa  berarti semua aspek social bangsa Arab dan bisa juga berarti warisan budaya Arab secara keseluruhan. Dari konsep ini, jelaslah bahwa jika yang dikenal Bangsa Arab ini berubah sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu, maka akan berubah pula pemahaman dan penilaian atas sesuatunya.

Karena itu, melalui konsep ini kita tidak bisa menilai kenyataan di masa lalu dengan perspektif yang dikenal di masa kini (ma’hud) dan demikian juga kita tidak boleh menghukumi masa kini dan masa depan melalui perspektif yang dikenal di masa silam.

Kalau kita kontekskan konsep ini dalam kaitannya dengan al-Quran, tentunya rujukan awal dalam memperoleh pemahaman terhadap ayat-ayatnya ialah semua aspek social dan budaya yang dikenal Bangsa Arab di masa al-Quran diturunkan, baik pada tataran bahasa maupun pada tataran persoalan-persoalan kehidupan di masa itu yang dikenal dalam tradisi fikih dan tafsir sebagai ma’hud al-arab.

Hal demikian dilakukan karena ketika Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih, tentunya maksud awalnya ialah agar dapat dipahami oleh orang-orang Arab sesuai dengan latar pengetahuan dan kebudayaan yang dikenal mereka di masa itu. Atas dasar ini, al-Quran menggunakan perumpamaan-perumpamaan, metafora-metafora, imaginasi-imaginasi yang dapat mendekatkan kebenaran kepada pemahaman bangsa Arab di masa itu, terutama kebenaran tentang hari akhirat nanti.

Karena itu, menurut Imam as-Syathibi dalam al-Mawafaqat fi Usul as-Syariah, al-Quran mengabarkan kepada mereka:

“عن نعيم الجنة وأصنافه، بما هو معهود في تنعماتهم في الدنيا، لكنه مبرأ من الغوائل، والآفات التي تلازم التنعيم الدنيوي… وبين من مأكولات الجنة ومشروباتها ما هو معلوم عندهم، كالماء، واللبن، والخمر، والعسل، والنخيل، والأعناب، وسائر ما هو مألوف عندهم ،اضافة الى الجوز، واللوز، والتفاح، والكمثرى، وغير ذلك من فواكه الأرياف وبلاد العجم، بل أجمل ذلك في لفظ الفاكهة”.

 “tentang kenikmatan surga dengan berbagai jenisnya sesuai dengan kenikmatan yang dikenal mereka di dunia, namun dengan catatan bahwa kenikmatan surgawi ini bersifat abadi dan tak lekang oleh waktu. Tidak seperti kenikmatan dunia yang sementara…al-Quran juga memberikan keterangan tentang makanan dan minuman yang ada di surga sesuai dengan makanan dan minuman yang mereka ketahui di dunia Arab seperti air, susu, arak, madu, kurma, dan semua jenis makanan yang dikenal mereka, seperti kacang-kacangan, pohon Badam, apel, buah pir  yang semua itu dinamakan sebagai buah-buahan.”

Selain itu, as-Syathibi dalam kitab al-Muawafaqat fi Usul as-Syariah juga menambahkan demikian:

” قال تعالى “ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجادلهم بِالتِي هِي أَحسَن” (النحل 125). فالقرآن كله حكمة، وقد كانوا عارفين بالحكمة، وكان فيهم حكماء، فأتاهم من الحكمة بما عجزوا عن مثله.وكان فيهم أهل وعظ وتذكير، كقس بن ساعدة وغيره. ولم يجادلهم إلا بالطريقة التي يعرفونها من الجدل”.

Allah berfirman: “Serulah ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta dialoglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik (an-Nahl 125)”. Al-Quran itu semuanya mengandung hikmat dan kebijaksanaan dan orang-orang Arab dulu sudah kenal dengan kebijaksanaan ini. Di kalangan mereka, ada ahli-ahli kebijaksanaan lalu al-Quran mendatangkan kebijaksanaan yang lebih dimana mereka tidak mampu menantangnya. Di kalangan orang-orang Arab juga dikenal ahli penasehat seperti Qass bin Saidah dan lain-lain. Al-Quran tidak mendebatkan mereka kecuali dengan cara debat yang orang-orang Arab kenal di masa itu.

Menurut Imam as-Syathibi, kita tidak semestinya memahami al-Quran di luar yang dikenal masyarakat Arab di masa itu. Misalnya, al-Ghazali dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim, Mahakk an-Nazhar, dan Mi’yar al-Ilm menyatakan bahwa di dalam al-Quran sebenarnya ada ilmu logika.

Imam al-Ghazali lalu mengutip ayat-ayat yang senada dengan kerangka logika yang dirumuskan oleh Aristoteles. Nah, as-Syathibi menyangkal model pendekatan seperti ini, pendekatan yang melihat al-Quran dalam perspektif kekinian, yang di masa turunnya tidak dikenal logika Yunani. Kata as-Syathibi, memahami al-Quran dalam kerangka di luar Ma’hud al-Arab itu bukan maqasid syariah.

Lorem Ipsum

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved