Menakar Nasib Politik Koalisi Perubahan: Winning Coalition atau Lose Coalition?
Beberapa hari terakhir, media-media nasional diramaikan dengan pernyataan AHY yang secara terang-terangan mengajak Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk segera membentuk Sekretariat Perubahan. Partai Demokrat, melalui Ketua Umumnya, tampaknya mulai serius membangun dan mewujudkan Koalisi Perubahan dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang.
Tak hanya soal ajakan, AHY juga secara resmi mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden Koalisi Perubahan dan menyerahkan bacawapres kepada bacapres: “Untuk itu, Demokrat akan mengajak PKS agar menyerahkan keputusan bacawapres kepada bacapres yang kami usung, sehingga tiga partai memiliki kesetaraan yang sama dalam koalisi,” jelas AHY.
Lebih jauh, dalam berita-berita juga, nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ramai dibicarakan dalam bursa Cawapres Anies. Salah satu partai yang mendukung majunya Khofifah sebagai cawapres adalah PKS. PKS menilai Khofifah layak mendampingi Anies Baswedan di Pilpres 2024. Sementara itu, Partai Demokrat mulai membuka diri untuk menerima Bacawapres selain AHY. Dan nama Khofifah sebelumnya cukup santer disebut di kalangan PKS dan NasDem.
Jika benar Partai Demokrat setuju dengan dua partai lainnya dalam Koalisi Perubahan, Anies-Khofifah merupakan pasangan yang cukup ideal dalam Koalisi Perubahan tersebut. Sebab, sejauh ini basis konstituen Anies ialah Jawa Barat dan beberapa daerah di luar Jawa sementara basis konstituennya di Jawa Tengah dan Timur cukup lemah. Ketika Khofifah digadang-gadang sebagai wakil, kemungkinan besar Anies dapat memperluas konstituennya di Jawa Timur lewat sumbangan electoral Khofifah.
Sudah jamak diketahui bahwa Jawa Timur merupakan penduduk terpadat kedua setelah Jawa Barat. Ada sekitar 30 juta pemilih di Jawa Timur. Ketika Koalisi Perubahan memasangkan Anies-Khofifah, akan tampakm relatif mudah bagi koalisi tersebut untuk memenangkan konstituen di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Mungkin ketika menilik kembali data pemilu-pemilu sebelumnya, di mata Koalisi Perubahan tentunya, jika meraup suara terbanyak pada Pemilu di dua dari tiga wilayah terbesar di Indonesia ini, yakni Jabar (34 juta pemilih), Jateng (27 juta pemilih) dan Jatim (30 juta pemilih), mereka akan memperoleh kemenangan. Karena itu, dengan memasangkan Anies-Khofifah, bagi Koalisi Perubahan, pasangan ini diprediksi kuat dapat memenangkan kontestasi pilpres 2024.
Pertimbangan-pertimbangan inilah yang mendesak PKS untuk tidak lagi mengusung Aher dan Demokrat untuk AHY. Sebab, jika Aher disandingkan dengan Anies, kemungkinan hanya akan menang besar di Jawa Barat dan kalah telak di beberapa wilayah lainnya. Kelemahan lain dari disandingkannya Aher untuk Anies ialah makin memperkuat persepsi publik soal politik identitas yang sering dilekatkan kepada Anies Baswedan.
Sementara itu, jika Partai Demokrat kekeuh memilih AHY, koalisi ini hanya menguntungkan Demokrat dalam coattal effect-nya di samping kecenderungan NasDem untuk tidak memilihnya. Diperparah lagi dengan masa lalu Partai Demokrat yang sering dihubungkan kuat dengan korupsi Hambalang. Namun, terlepas dari itu semua, Koalisi Perubahan ini tetap didorong oleh tiga game changer kawakan dalam jagad politik Indonesia: SBY, JK dan Surya Paloh.
Jika Koalisi Perubahan ini sudah terbentuk, cawapres dan bacawapres sudah ditentukan, ide dan wacana antitesa Jokowi juga sudah mapan sebagai pemantik kontestasi Pilpres, apakah ini berarti sudah cukup untuk melawan musuh politik?
Kita tangguhkan dulu jawabannya. Sekarang kita lirik manuver partai lainnya. Kita akan fokus pada manuver PDIP terlebih dahulu, partai lawan PKS dan Demokrat, setidaknya dalam dua Pemilu terakhir.
Safari Politik Puan
Kita mulai dengan safari politik Puan Maharani dalam enam bulan terakhir. Pada etape pertama, Puan Maharani mengawali safari politiknya ke Partai Nasdem dengan bertemu Ketua Umum Surya Paloh. Kemudian, Puan juga menemui Ketum Gerindra Prabowo Subianto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Dan kita tahu, saat ini, NasDem sudah memilih arah politik berbeda. Lalu, safari politik pada etape kedua akan dilanjutkan dengan sowan Puan ke PAN dan PPP di tahun 2023 setelah HUT ke-50 tahun PDIP. Safari politik Puan ini akan dilanjutkan kembali dalam beberapa waktu dekat. Konon, safari ini juga akan memperluas jangkauannya ke partai-partai nonparlemen.
Berbarengan dengan safari politik Puan, fenomena politik lainnya yang memiliki bobot untuk diamati lebih jauh ialah soal relawan Jokowi yang melakukan musyawarah rakyat di berbagai wilayah di Indonesia. Telah terhitung sampai saat ini, ada 14 Musra yang digelar relawan Jokowi untuk melakukan perhitungan kategori calon presiden 2024 yang menjadi harapan rakyat. Menariknya, di tenggat waktu yang bersamaan pula, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengusulkan ide agar pilpres 2024 diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Lebih dari itu, Hasto mengungkap keinginan Megawati untuk membentuk winning coalition dengan satu kali putaran Pemilu 2024.
Terlihat bahwa manuver politik yang dilakukan PDIP lewat Puan Maharani dan Hasto dan manuver Relawan Jokowi ini dapat dibaca sebagai upaya penjajakan koalisi politik untuk Pemilu tahun 2024, sebuah penjajakan untuk membentuk koalisi jumbo dalam rangka memenangkan pilpres 2024 dalam satu putaran saja, dengan duet maut Megawati-Jokowi sebagai game changer-nya. Jokowi yang dalam survei tingkat kepuasan masyarakat terakhir mendapat 75% tentu dapat menjadi sinyal besar bagi pengaruhnya nanti di gelaran 2024 mendatang.
Dan seperti yang kita tahu, hasil 14 musra (musyawarah rakyat) yang digelar relawan Jokowi ini menempatkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto dalam posisi teratas menurut perhitungan musyawarah kategori calon presiden 2024 harapan rakyat di berbagai daerah yang digelar (Kompas). Kenyataan ini semakin didukung oleh survei-survei nasional juga telah meletakkan dua tokoh politik tanah air ini ke dalam posisi teratas. Survei terbaru SMRC menempatkan Ganjar dalam urutan pertama dan Prabowo dalam urutan kedua.
Tentu dengan melihat fenomena ini, koalisi politik yang nantinya diusung Megawati-Jokowi ini mula-mula diawali dengan bubarnya koalisi Kebangkitan Indonesia Raya terlebih dahulu dan bergabungnya Gerindra ke PDIP dengan mengusung Ganjar-Prabowo atau Prabowo-Ganjar sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dengan kata-kata lain, kemungkinan terjadinya perubahan konstelasi koalisi parpol saat ini akan dimulai dengan bubarnya Koalisi Indonesia Raya (Gerindra-PKB), yakni, saat Prabowo Subianto menyatakan bergabung ke koalisi PDIP-Relawan Jokowi. Oleh karena itu, bubarnya KIR ini akan menjadi cikal bakal munculnya gerbong politik besar yang akan menarik partai politik di koalisi lain untuk masuk ke dalam koalisi superjumbo besutan Megawati-Jokowi. Koalisi ini sangat menentukan kemenangan di Pilpres 2024 dalam satu putaran saja.
Keinginan untuk membentuk Gerbong Koalisi besar ini bertujuan untuk: pertama, secara ideologis ingin meneruskan gagasan politik Bung Karno yang dilanjutkan Mega hingga Jokowi; kedua, melanjutkan legacy pembangunan yang sudah dirintis Jokowi dalam dua periode pemerintahannya; ketiga, menggalang koalisi politik secara nasional. PDIP sadar betul meski Pemilu 2014 telah dimenangkannya dan menjadi partai pemenang pertama namun ia tidak mampu mengendalikan parlemen. Karena itu, Pemilu 2024 harus dijadikan momentum kemenangan PDIP baik pilpres maupun pileg dengan tetap pada upaya menggalang koalisi politik secara nasional.
Winning Coalition dan Lose Coalition
Melihat gelagat politiknya, winning coalition besutan Megawati-Jokowi dengan tiga tujuan di atas tidak akan melibatkan Partai Demokrat dan PKS. Hasto sudah seringkali menyampaikan ketidakmungkinan PDIP berkoalisi dengan kedua partai ini tersebab keduanya tidak memiliki akar historis yang dekat dengan PDIP. Hasto sebelumnya pernah menyatakan bahwa PDIP cenderung bekerjasama dengan partai yang memiliki rekam jejak sejarah perjuangan kemerdekaan seperti misalnya Partai Golkar, yang cikal bakal partai ini muncul dari terobosan politik Sukarno di akhir 1950-an yang membentuk kelompok-kelompok fungsional, Golongan Karya salah satunya.
Selanjutnya berdiri organisasi konfederasi pada 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya—cikal bakal Partai Golkar hari ini. Ia juga menyebut Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang muncul pasca reformasi dimana Gus Dur memiliki kedekatan dengan Megawati, kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berakar dari Nahdlatul Ulama serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang basis utamanya adalah Muhammadiyah. Kemudian ada Gerindra dimana kakeknya Prabowo itu ialah seorang pahlawan nasional.
Dan satu hal lagi, dan ini yang cukup tidak menguntungkan, koalisi partai yang mengusung antitesa Jokowi akan menjadi lose coalition jika koalisi yang diusung duet maut Megawati-Jokowi mampu menarik simpatik koalisi partai lain seperti KIR dan KIB untuk bergabung. Koalisi yang mengusung Anies Baswedan dan Khofifah tentunya akan mengalami kekalahan telak, apalagi tersebab opsi Partai Demokrat dan PKS untuk bergabung dengan partai lain cukup sempit yang diperparah dengan kurangnya dukungan logistic yang memadai.
Dalam konteks Pemilu 2024 ini, kunci kemenangan terletak bukan pada soal elektabilitas paslon, logistik dan presidential threshold semata tetapi juga pada kemampuan menggalang koalisi politik secara nasional. Kata kunci “kemampuan menggalang koalisi politik secara nasional” dalam konteks Pemilu 2024 mendatang perlu ditulis dengan huruf kapital dan tinta tebal, lalu digarisbawahi tinta merah, serta di-stabilo kuning.
Sebab, pengejawantahan kata kunci ini ke dalam ranah praksis merupakan sesuatu yang sedang diusahakan Megawati melalui PDIP-nya dan Jokowi melalui relawannya. Jika terbentuk secara solid, apalagi dengan masuknya Golkar ke koalisi, kerjasama politik ini akan menjadi undefeated coalition dalam Pilpres 2024 mendatang, dan tentu merupakan tantangan berat bagi Koalisi Perubahan yang mengusung antitesa Jokowi.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy