Menelisik Kuasa Duitokrasi di Balik Wajah Demokrasi Indonesia Saat ini
Menarik sekali membaca hasil survey Indikator Politik Indonesia yang dirilis awal bulan April lalu. Survei tersebut menunjukan bahwa partai politik sebagai penopang kehidupan demokrasi mengalami penurunan kepercayaan publik dibanding dengan institusi-institusi demokrasi lainnya di Indonesia. Terlihat dalam survei tersebut, partai politik hanya memperoleh 54% kepercayaan publik dan hal ini berbeda jauh misalnya jika dibandingkan dengan TNI yang mendapat 93% dan Presiden yang mendapat 85%.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya ialah partai-partai di Indonesia, meminjam bahasa Wolinetz dalam Beyond The Catch-all Party, merupakan partai dengan kecenderungan vote seeking dan rent seeking dan jarang ditemukan yang memiliki kecenderungan police seeking. Karena kecenderungan ini, parpol di Indonesia tidak akan pernah memikirkan kepentingan rakyat yang akan menjadi dasar bagi perjuangan mereka ketika menang pemilu. Partai politik hanya dijadikan kendaraan untuk memperkaya diri dan memperkaya yang membiayai partai.
Jika melihat sejenak terkait pendirian partai-partai politik pasca reformasi, parpol ini banyak diisi oleh akademisi. Bahkan Gus Dur pernah mengekspresikan ketakjubannya ihwal komposisi partai politik saat itu yang sebagian besarnya diisi oleh kelompok intelektual. Sekedar menyebut contoh misalnya: PAN didirikan Amin Rais, PKB didirikan Gus Dur, PKS didirikan Hidayat Nurwahid yang semuanya itu lahir dari latar belakang intelektual.
Pudarnya Partai Intelektual
Hanya saja, tak lama setelah itu, potret partai politik yang didominasi kelompok intelektual ini menjadi pudar lantaran masuknya elit oligarkh, kalangan yang memiliki duit untuk menopang kehidupan partai. Muncul partai Gerindra yang didirikan Prabowo, Perindo oleh Hary Tanoesudibyo, Nasdem oleh Surya Paloh, Hanura oleh Wiranto. Mereka merupakan kalangan elit superkaya yang dulu pernah digembleng dan diperkaya di era oligarkhi sultanistik Soeharto. Sampai di sini, para oligarkh yang semula terpusat di bawah naungan Soeharto mulai menyebar di era Reformasi menduduki posisi-posisi penting di partai politik. Institusi-institusi politik yang menjadi cerminan demokrasi dibajak, dikuasai dan dimonopoli elit oligarkh ini.
Berangkat dari tersebarnya elit oligarkh, Jeffrey A Winters dalam artikelnya Oligarchy and Democracy in Indonesia menjelaskan bahwa titik tolak memahami sistem politik di Indonesia ialah dengan berpegang pada kaidah “extreme material inequality necessarily produces extreme political inequality.” Prinsip ini menegaskan bahwa ketidaksetaraan sumber daya ekonomi yang ekstrim dapat melahirkan ketidaksetaraan akses pada politik secara ekstrem pula. Memahami politik di Indonesia, kata Winters, tak lepas dari ekstremitas ketidaksetaraan pada tataran ekonomi dan imbasnya terhadap ketidaksetaraan akses ke kekuasaan politik. Dengan kata-kata lain, kecepatan rakyat menuju akses kekuasaan kalah jauh, dan dapat dengan mudah dilibas dengan kecepatan oligarkh menuju tujuan yang sama: kekuasaan politik.
Hal demikian tersebab biaya demokrasi di Indonesia cukup tinggi. Biaya politik yang cukup tinggi ini tentu hanya bisa dipenuhi oleh orang-orang berduit. Itulah sebabnya demokrasi di Indonesia dengan mudah dibajak oleh oligarkhi. Meminjam Barenschot dan Aspinall, demokrasi di Indonesia ialah Democracy for Sale. Misalnya, dalam konteks Pilkada seperti yang ditemukan dalam penelitian LIPI, hampir 92 persen kandidat, dibiayai oleh para cukong alias oligarkh. Imbasnya cukup serius: Para oligarkh memiliki hak veto terhadap kekuasaan di daerah-daerah.
Jagad perpolitikan di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari peran para oligarkh, entah sebagai tokoh di belakang layar maupun sebagai tokoh di depan layar.
Para oligarkh merupakan orang-orang yang menggabungkan dalam dirinya kepemilikan kekayaan dan kekuasaan, dan dengan kepemilikan keduanya, mereka mempengaruhi para elit partai politik dan bahkan ada di antaranya yang menjadi elit partai politik itu sendiri. Winters dalam bukunya, Oligarchy, menyebut para oligarkh sebagai “actors who command and control a massive concentration of material resources that can be deployed to defend or enhance their personal wealth and exclusive social position.”
Dengan demikian, para oligarkh ialah orang-orang kaya yang dengan kekayaannya mampu menentukan arah politik. Mereka membeli suara rakyat dan mengendalikan mesin demokrasi elektoral. Berbekal kekuatan duit (money power), para oligarkh menjadi kekuatan penentu dalam pemilu, mendikte ketetapan hukum, dan berbagai kebijakan public. Perilaku demikian tidak hanya membahayakan kehidupan politik namun juga menjadi lonceng bagi kematian demokrasi di Indonesia. Berangkat dari kekuatan duit, kaum elit politik bersifat permisif terhadap jual beli suara. Sistem pengawasan dan penghukuman yang disiapkan oleh UU Pemilu pun misalnya menjadi tumpul.
Lebih jauh lagi, para pemimpin pemerintahan yang berasal dari kalangan oligarkh atau yang terjerat oleh jasa oligarkhi karena dibiayai saat pemilu hanya akan memproduksi kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan orang-orang superkaya tersebut, dan pada tahap selanjutnya, kekuasaan politik berada di genggaman mereka. Dampak buruknya, demokrasi di Indonesia bukan lagi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi demokrasi dari, oleh dan untuk kepentingan oligarkhi. Inilah yang disebut Fukuyaka dalam tulisannya sebagai demokrasi oligarkhi. Oligarkhi mengendalikan arah demokrasi dan mengatur mesin-mesin politik di Indonesia.
Dari Demokrasi ke Duitokrasi
Demokrasi yang dikendalikan oligarkhi tersebut menyebabkan kedaulatan rakyat tidak lagi memiliki tajinya. Kedaulatan rakyat yang merupakan asas bagi demokrasi diganti total dengan kedaulatan duit yang digerakkan oleh kerangka pikir duitokrasi. Demikian, mengingat ongkos demokrasi yang begitu mahal, bahkan pemilihan gubernur saja bisa menghabiskan 50 miliar, demokrasi Indonesia tentunya hanya disetir oleh sekelompok elit yang memiliki kekayaan berlebih. Meminjam istilah Denny JA, demokrasi di Indonesia dibunuh oleh kedaulatan duit: Duitokrasi Kills Indonesia’s Democracy.
Ketika partai-partai politik yang dikuasai oleh para oligarkh ini masuk ke dalam lingkaran pemerintahan, kebijakan-kebijakan yang diproduk pemerintah sudah tidak lagi orisinil untuk kepentingan rakyat tapi untuk kepentingan oligarkh. Jadi oligarkhi dan partai kartel telah menghancurkan demokrasi rakyat dan menciptakan ruang demokrasi yang sangat elitis. Demokrasi elitis inilah yang mengurangi kualitas demokrasi di Indonesia. Akibat dari kekuasaan yang dimonopoli oligarkhi dan kartelisasi partai, Indonesia saat ini sedang mengalami defisit demokrasi. Jamie Davidson misalnya menyebut demokrasi Indonesia dengan sebutan ‘low quality democracy,’ ‘freedom but democractic deficit,’ ‘patrimonial democracy’ dan sebutan-sebutan lainnya yang cukup merepresentasikan mundurnya demokrasi di Indonesia.
Roda pemerintahan pada 2014 melapangkan jalan bagi oligarkh untuk masuk ke dunia politik. Misalnya, Surya Paloh, ketua partai NASDEM, Wiranto, ketua partai Hanura, keduanya masuk ke dalam jajaran pemerintahan Jokowi. Di era sebelumnya, kuasa oligarkhi pun sering menampakkan tajinya seperti dalam kasus sumur Lapindo, Bank Century, dan lain-lain.
Pada periode kedua, cengkeraman para oligarkh ini makin menguat terhadap jalannya roda pemerintahan Indonesia. Prabowo Subianto, Ketua Partai Gerindra, menjadi Menteri Pertahanan. Luhut Binsar Pandjaitan, politisi senior Golkar, menjadi Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi. Sementara itu, Airlangga Hartarto, ketua partai Golkar, menjadi Menteri Koordinator Ekonomi. Mereka merupakan para oligarkh yang muncul di depan layar, belum lagi mereka yang berada di belakang layar, yang menguasai tanah di Indonesia dan simpanan uang dalam jumlah fantastis di luar negeri.
Para oligarkh ini menggunakan partai politik untuk membentuk semacam partai kartel yang pengaruhnya sangat luar biasa dalam jagad perpolitikan di Indonesia. Pengaruh partai kartel ini dapat kita lihat pada dua aspek penting:
Pertama, partai-partai kartel ini membentuk koalisi gemuk di DPR sehingga mereka menjadi partai mayoritas. Karena koalisi ini menjadi partai supermayoritas di DPR, dan lagi tidak ada oposisi yang dapat membendung kekuatan mereka, tiga Rancangan Undang-Undang yang kontroversial dengan secepat kilat disahkan DPR. Rancangan tiga Undang-Undang kontroversial tersebut misalnya amandemen UU KPK yang kemudian dikenal dengan sebutan UU no.19/2019, Omnibus Law yang dikenal sebagai UU No.11/2020 dan UU Pemindahan IKN ke Kalimantan Timur yang dikenal sebagai UU No.3/2022.
Kedua, ada kecenderungan besar di kalangan partai-partai koalisi tersebut untuk memberangus kritik publik dengan cara menjadikan RUU ini menjadi UU. Partai koalisi ini misalnya dengan sangat kilat meloloskan UU Pemindahan IKN hanya dalam jangka waktu 42 hari. Jangka waktu untuk pelolosan UU IKN ini terbilang tercepat sepanjang sejarah Indonesia.
Dampak dari semua itu, di tahun 2022, Indonesia masih dikategorikan ke dalam kelompok negara dengan flawed democracy alias demokrasi cacat oleh Indeks Demokrasi yang dirilis oleh the Economist Intelligence Unit (EIU). Kategori ini mengindikasikan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan berat atas praktik demokrasinya, meski memang dalam rilis tersebut, Indonesia mengalami kenaikan, serta naik peringkat. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi fakta bahwa oligarkhi dan partai kartel masih mencengkeram kehidupan demokrasi kita, dan kedaulatan duit alias duitokrasi kerap merusak kedaulatan rakyat.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy