Meneropong Negara Khilafah dan Negara Kerajaan di Zaman Islam Klasik
Pada artikel ini kita akan mengulas tentang sistem ketatanegaraan di era Khulafa Rasyidin dan era Kerajaan Bani Umayyah. Namun, untuk melihat secara lebih dekat struktur negara khilafah rasyidah dan struktur negara kerajaan dalam sejarah politik Islam awal-awal, alangkah baiknya kita kutipkan terlebih dahulu di awal artikel ini pandangan Abu Bakar Ibnul Arabi yang dikutip oleh Ibnul Azraq dalam kitabnya yang terkenal Bada’i as-Silk fi Taba’i al-Mulk.
Ibnul Arabi, seorang ahli fikih dari kalangan Madzhab Maliki, mengartikulasikan pandangannya secara jelas mengenai adanya peralihan sistem politik Islam dari sistem khilafah menjadi sistem kerajaan. Peralihan sistem ini berdampak kepada struktur negara dan struktur sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, Ibnul Arabi mengatakan:
كان الأمراء قبل هذا اليوم، وفي صدر الإسلام، هم العلماء والرعية هم الجند، فاطرد النظام، وكان العوام القواد فريقا والأمراء فريقا آخر. ثم فصل الله الأمر، بحكمته البالغة وقضائه السابق، فصار العلماء فريقا والأمراء آخر، وصارت الرعية صنفا وصار الجند آخر فتعارضت الأمور.
“Sebelum masa kita sekarang ini, yakni masa di awal-awal perkembangan Islam, para umara ialah para ulama sekaligus sedangkan rakyat ialah para tentaranya. Lalu struktur sosial ini pada tahap selanjutnya mengalami perubahan. Para komandan militer (yang sebelumnya juga pakar agama namun sekarang tidak) membentuk kelompok sosial tersendiri dan para umara juga membentuk kelompok sosialnya secara tersendiri.
Dan dengan kebijaksanaan dan takdir yang ditentukannya sejak zaman azali, Allah kemudian mengubah lagi struktur sosial ini: para ulama merupakan kelompok sosial tersendiri dan para umara juga membentuk kelompok sosialnya tersendiri. Dan pada tahap selanjutnya, rakyat juga menjadi kelompok sosial yang berbeda dari para tentara. ”
Pandangan Ibnul Arabi ini mengartikulasikan secara realistis perubahan yang terjadi dalam struktur negara dan struktur masyarakat dalam Islam sebagai akibat dari perubahan sistem pemerintahan dari khilafah menjadi kerajaan.
Sebelumnya, negara khilafah yang dirintis oleh Abu Bakar dan dikembangkan lebih jauh oleh Umar bin al-Khattab dapat disebut juga sebagai negara ekspansi atau negara penaklukan yang bercirikan militerisme. Di masa ini, para umara ialah para panglima tentara yang pimpinan tertingginya disebut sebagai amirul mukminin.
Amirul mukminin sendiri dalam struktur negara khilafah ini bisa disebut juga sebagai komandan atau panglima besar atau jenderalnya kaum beriman. Sedangkan rakyatnya ialah kabilah-kabilah yang menjadi tentara atau ditentarakan dan dikerahkan untuk mengikuti perang melawan kaum murtad dan perang melawan imperium Persia dan Romawi.
Karena ekspansi Islam ini dalam bahasa agama bisa juga disebut sebagai jihad menyebarkan agama Islam, tentunya yang menjadi umara atau yang menjadi panglima perangnya ialah ulama atau tokoh agama sekaligus. Kendati demikian ekspansi yang dilakukan tidak sekedar untuk ekspansi. Ekspansi Islam lebih ditujukan untuk penyebaran dan perkembangan ajaran-ajaran Islam. Dengan kata-kata lain, politik di masa ini ditundukkan untuk kepentingan negara.
Menariknya lagi jika dilihat secara struktur sosial, para tentara di masa khilafah rasyidah ini ialah rakyat itu sendiri yang sewaktu-waktu, jika dibutuhkan, dikerahkan untuk berperang menyebarkan Islam. Dengan kata-kata lain, seorang tentara di masa ini bukanlah individu yang secara seragam dan gaya hidupnya berbeda dari warga sipil. Tentara pada masa khilafah ini ialah rakyat atau warga sipil dalam kabilah tertentu yang diikut sertakan dalam perang melawan musuh-musuh agama.
Dalam hirarki sosial tertinggi, kita temukan bahwa dalam masyarakat di bawah sistem khilafah ini umara merupakan ulama secara sekaligus. Umar bin al-Khattab misalnya selain menjadi umara, beliau juga ulama dan dalam hirarki sosial terendah, kita temukan juga bahwa rakyat merupakan tentara negara. Dalam sistem yang tumpang tindih antara umara-ulama dan rakyat-tentara seperti ini tidak mungkin politik dimainkan, entah di hirarki paling puncak atau hirarki paling bawah. Semua kegiatan politik ditujukan untuk kepentingan agama.
Pada hirarki tertinggi, para umara seperti telah disebutkan sebelumnya ialah sosok yang mampu menghasilkan ijtihad-ijtihad keagamaan. Jabatan dalam sistem khilafah seperti amirul mukminin, komandan militer, amil zakat dan lain-lain menunjukkan bahwa para pejabat negara khilafah ialah tokoh-tokoh yang ahli dalam bidang agama. Dalam posisi seperti ini, mereka menggunakan otoritasnya hanya untuk dan demi agama. Agama di masa khilafah ini mengarahkan dan menentukan gerak dan langkah politik dan politik di masa ini tidak lain hanya pengejawantahan dari perintah agama. Politik dalam negara khilafah ini sangat tunduk kepada titah yang diberikan agama.
Selain itu, dalam hirarkti sosial terendah, rakyat ialah warga sipil yang diikut sertakan dalam perang atau dalam ekspansi Islam. Rakyat yang ditentarakan di masa ini terdiri dari kabilah-kabilah bersenjata. Mereka berperang dan melakukan ekspansi wilayah untuk Islam dan perkembangannya. Kondisi seperti ini tidak mungkin memunculkan ruang politik atau public sphere yang jelas di mana ada batas wilayah peranan pemerintah dan rakyatnya. Dengan kata-kata lain, negara khilafah rasyidah ialah negara yang tidak memiliki public sphere atau political sphere.
Negara khilafah tidak lain ialah kelanjutan negara dakwah yang dirintis oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika ekspansi Islam mulai meluas yang dimulai dengan perang terhadap kaum murtad sampai ke perang-perang besar melawan dominasi Persia dan Romawi, muncullah pluralitas sosial dalam masyarakat Islam. Dengan adanya pluralitas ini, muncul pula perbedaan pendapat. Dengan adanya berbagai macam khilaf dan perbedaan pendapat, munculah kerja-kerja takwil dan tafsir di kalangan ahli ijtihad.
Di masa Muawiyah bin Abi Sufyan kondisi seperti ini mengalami perubahan secara total. Kemenangan Muawiyah atas Ali seperti yang diungkap sendiri oleh Muawiyah ialah kemenangan orang-orang yang cakap me-manage pemerintahan atas orang-orang yang pakar berijtihad namun tidak capable dalam mengurusi negara. Karena itu, Muawiyah yang pemerintahannya berdiri di atas pertimbangan kesukuan dalam dirinya telah terpisahkan aspek ke-umara-annya dari aspek ke-ulama-annya.
Keterpisahan ini pada tahap selanjutnya memiliki pengaruh yang cukup tajam terhadap segenap aparatur negara. Para umara di masa Bani Umayyah ini merupakan kelompok sosial tersendiri yang berbeda dari ulama. Ini tentu jika kita mengarahkan analisisnya pada level hirarki tertinggi dalam negara.
Sedangkan dalam hirarki terendahnya, kita melihat bahwa pada masa fitnah, kabilah-kabilah di semenanjung Arab terbagi menjadi dua kubu; kubu Quraisy yang memihak Muawiyah dan kubu Arab dari Yaman dan Rabiah yang memihak Ali bin Abi Thalib. Di antara dua kubu berlawanan ini, ada kubu tengah, yang mengambil jalan aman dalam berkonflik. Kubu ini sering disebut juga sebagai kubu yang mengasingkan diri dari fitnah.
Ketika Muawiyah menang melawan Ali, kabilah-kabilah yang mendukungnya tentunya ialah para tentaranya yang jumlahnya mencapai enam puluh ribu tentara. Sedangkan kabilah-kabilah yang menentangnya atau yang berpihak kepada Ali dan kabilah-kabilah yang menghindari fitnah dengan sendirinya menjadi rakyat dalam kerajaan Bani Umayyah. Dengan kata-kata lain, pada level hirarki terendah, masyarakat di masa Muawiyah terbagi menjadi dua; warga sipil dan tentara.
Simpulnya, di masa khilafah, pada hirarki sosial tertinggi hanya ada umara yang sekaligus ulama dan di hirarki sosial terendah hanya ada rakyat atau warga sipil yang sekaligus tentara negara.
Di masa Bani Umayyah atau Muawiyah terjadi pergeseran yang cukup tajam. Pada hirarki tertinggi, terjadi pemisahan antara umara dan ulama dan pada hirarki terendah terjadi pemisahan antara rakyat dan tentara yang sebelumnya merupakan satu kesatuan. Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy