Mengenal Lebih Dekat Konsep Wahyu dalam Tradisi Yahudi
Tiga agama besar dalam tradisi Abrahamik: Yahudi, Kristen dan Islam memiliki konsepsi tersendiri tentang wahyu. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba menilik secara singkat konsepsi Yahudi tentang wahyu yang turun kepada mereka. Jika kita membaca proses cerita dalam Perjanjian Lama, akan kita temukan bahwa proses tersebut tidak dibentuk secara sekaligus namun melalui proses panjang yang terbentuk dalam rentang waktu 1600 tahun.
Dalam proses ini, kita temukan konsepsi wahyu yang khas dalam agama Yahudi yang berkembang melalui dua fase penting: pertama, proses yang dimulai dengan penciptaan alam semesta sampai ke masa Ibrahim dan kedua, proses yang terbentang dari masa Ibrahim (masa Ishak dan Yaqub) sampai ke masa Yesus.
Pada masa pertama, “wahyu” bermakna manifestasi ilahi, yakni keluarnya Allah dari kesendiriannya dari sejak zaman azali. Pada mula yang tidak ada permulaannya, hanya ada Allah dan tidak sesuatu pun bersama-Nya. Kemudian melalui kehendak-Nya, Allah memanifestasikan diri-Nya agar dikenal lalu Ia ciptakan alam semesta dan masa, lalu Ia ciptakan juga manusia. Allah memanifetasikan diri-Nya di hadapan manusia pertama seperti yang dapat kita baca pada kisah nabi Adam AS. Melalui Adam, Allah menciptakan berbagai bangsa manusia.
Allah memanifestasikan diri-Nya di hadapan makhluk-makhluknya dalam berbagai ruang dan waktu tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Allah tetap sebagai Tuhan yang Maha Esa dan sebagai Tuhan yang Esa ini pun Allah mengejawantahkan diri-Nya kepada Bangsa yang Terpilih, bangsa yang senantiasa menunggu kehadiran-Nya.
Lalu disebutlah Allah ini sebagai Tuhan-nya Bangsa yang terpilih. Allah kemudian dianggap sebagai Tuhan-nya Ibrahim, Ishak dan Yakub. Ketika nama Ya’qub berubah menjadi Israil yang artinya “Berjuang bersama Allah”, nama keturunannya kemudian disebut sebagai Bani Israil dan Tuhan yang selalu bersama mereka disebut sebagai Tuhannya Bani Israil.
Itulah manifestasi pertama, perjumpaan Tuhan milik Bani Israil dengan kakek mereka yang bernama Abram. Abram artinya bapak yang agung. Pada perjumpaan di level mimpi atau ru’ya ini, ada perjanjian dan ada ancaman, dan dalam perjumpaan itu pula Tuhan mengubah nama Abram menjadi Ibrahim atau dalam bahasa Ibrani Avraham yang artinya Bapak suatu bangsa.
Manifestasi kedua terjadi antara Bani Israil dan Tuhan mereka di bukit Sinai, yakni, ketika Tuhan berbicara kepada Musa melalui suatu pohon atau min wara’i hijab. Menurut Bani Israil, perjumpaan Musa dengan Tuhan di bukit sinai tersebut merupakan manifestasi ilahi dalam bentuk face-to-face. Manifestasi Tuhan ini terejewantahkan secara lebih jelas dan akan dialami pula oleh nabi-nabi setelahnya.
Itulah wahyu dengan maknanya yang pertama dalam konsepsi Yahudi, yakni wahyu yang bermakna bahwa Allah lah yang mengejawantahkan diri-Nya di hadapan Bangsa yang Terpilih, Allah yang sebelumnya hanya ada Diri-Nya sendiri dan tidak yang lain bersama-Nya.
Setelah manifestasi ilahi ini, wahyu mengambil bentuknya yang lain, yakni, ilham (inspiration). Allah mengutus para nabi ke Bangsa yang terpilih ini. Para nabi tersebut mendapatkan firman atau kalam dari Allah baik melalui mimpi, suara atau pun bisikan dalam diri. Wahyu seperti ini hanya bisa dibaca oleh para tokoh agama Yahudi yang ahli dalam menakwilkan mimpi.
Dalam pandangan Bani Israil, tidak ada konsepsi mengenai penutup kenabian. Wahyu dalam pandangan Yahudi masih selalu terbuka terhadap kehadiran nabi-nabi baru yang besar pengaruhnya, misalnya seperti nabi Musa, sosok yang bisa menyatukan kembali bangsa Yahudi dan mengembalikan mereka ke tanah yang dijanjikan, Kan’an.
Ini artinya bagi Yahudi menunggu kehadiran sang Messiah ialah spirit yang mengisi gerak sejarah mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Wahyu yang diterima para nabi dalam bentuk mimpi atau pun ilham akan selalu menjadi objek penafsiran yang terus menerus. Penafsiran dilakukan untuk mengungkap makna batin yang terdalam yang memberikan makna bagi setiap peristiwa dan kejadian kesejarahan yang dialami. Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy