Mengenal Lebih Dekat Teori Ashabiyyah Ibnu Khaldun

Membaca lembar demi lembar kitab al-Muqaddimah seolah akan mengesankan bahwa Ibnu Khaldun membaca sejarah bangun dan runtuhnya negara dalam sejarah peradaban Islam hanya dengan satu kunci penjelasan; ashabiyyah. Seolah bagi Ibnu Khaldun bangun dan runtuhnya negara ditentukan oleh kuat atau lemahnya ashabiyyah.

Runtuhnya negara merupakan implikasi dari lemahnya ashabiyyah para pemangku negara dan kuatnya ashabiyyah dari pihak yang mencoba menggulingkan negara. Bahkan dalam berbicara mengenai luas dan sempitnya wilayah negara, Ibnu Khaldun selalu membacanya dalam bingkai kuat atau lemahnya ashabiyyah. Ashabiyyah merupakan elan vital bagi gerak lajunya kerajaan atau negara dalam sejarah peradaban Islam.

Ada beberapa catatan berkenaan dengan teori Ashabiyyah yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Hal demikian seperti yang dapat diringkas dalam poin-poin berikut;

Pertama, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa “ashabiyyah hanya terbentuk dari ikatan kuat dengan nasab atau yang semakna dengannya.” Yang dimaksud nasab di sini bukanlah ikatan sedarah. Nasab dengan makna ikatan darah bagi Ibnu Khaldun hanyalah “konsep imaginer yang susah ditemukan dalam kenyataan”. Ibn Khaldun mengatakan bahwa nasab dengan makna ikatan darah murni ini tentu mustahil adanya. Hal demikian bagi Ibnu Khaldun, suatu masyarakat tidak akan lepas dari interaksi dengan masyarakat lain dan ini tentunya akan berimplikasi kepada  perkawinan antara berbagai macam suku baik di masa Jahiliyyah maupun di masa Islam, antara Arab dan non-Arab.  Perkawinan antar suku ini jelas mengaburkan konsep sedarah.

Kendati demikian yang dimaksud dengan nasab ialah nasab yang membentuk kesadaran kolektif dengan pengaruh yang ditimbulkannya, yakni, ikatan kuat yang mengharuskan munculnya kesadaran tinggi dalam diri kelompok sehingga individu-individu dalam kelompok tersebut saling membantu dan saling membela dari serangan luar. Adapun selain di luar pengertian ini nasab tidak ada maknanya sama sekali.

Semua ikatan yang kuat yang mengikat individu-individu dalam suatu kelompok dapat disebut juga sebagai ikatan nasab yang darinya lahir aliansi, koalisi, interaksi dan kongsi dan semua hal-hal yang berkaitan dengan ikatan kepentingan bersama. Jika ikatan tersebut menguat dalam diri individu dalam kelompok, maka akan dihasilkan kekuatan untuk saling tolong menolong dan membela diri dari serangan kelompok luar dan pada tahap selanjutnya akan melahirkan kekuatan politik yang cukup berpengaruh.

Kedua, ikatan ini tidak akan menguat dan tidak akan menjadi Ashabiyyah kecuali jika ada kekuatan yang mengancam eksistensi komunitas atau kelompok bersangkutan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan: “Ketika ada kerabat yang merasa terancam posisinya akibat interaksinya dengan kelompok lain, muncullah kesadaran kolektif suatu kelompok untuk membela anggotanya yang terdzalimi dengan melawan pihak yang dianggap dzhalim dari suku lain.”

Berdasarkan kutipan ini, menurut al-Jabiri dalam Ashabiyyah Ibnu Khaldun, Ashabiyyah dapat didefinisikan sebagai “ikatan sosial-psikologis yang secara sadar dan nir-sadar mengikat individu-individu dalam suatu komunitas tertentu dan ikatan ini didasarkan kepada kedekatan yang sifatnya material atau imaterial secara berkesinambungan dimana ikatan ini akan menguat ketika ada ancaman luar yang mengancam individu atau yang mengancam kelanjutan komunitas secara langsung.”

Ketiga, bangkitnya Ashabiyyah karena adanya ancaman dari luar menunjukkan bahwa efektifitas ashabiyyah hanya akan muncul sebegitu kuatnya ketika ada ancaman yang menyentuh kepentingan bersama suatu komunitas tertentu, dan biasanya ancaman dan gangguan tersebut mengganggu kepentingan yang berkaitan dengan mode-mode produksi ekonomi sebagai kepentingan yang amat mendasar bagi suatu komunitas tertentu.

Karena itu, untuk memahami konsep Ashabiyyah yang diperkenalkan Ibnu Khaldun kita harus menghadirkan unsur-unsur ekonomi yang mewarnai konflik antara suku atau golongan. Tujuan politik dari Ashabiyyah kabilah atau suku tertentu yang menjadi pusat perhatian analisis Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimahnya ialah memperoleh tampuk kerajaan plus dengan keuntungan material yang diperoleh setelah tampuk kekuasaan didapat.

Keempat, ashabiyyah merupakan fenomena yang khusus terjadi di kalangan Arab Badui. Hal demikian karena tempat tinggal mereka yang terbuka membutuhkan semacam perlindungan diri para pemuda-pemudanya yang berani, yakni pembelaan dan perlindungan diri dari serangan luar. Sedangkan penduduk hadhar atau penduduk kota tidak perlu melakukan perlindungan dan pembelaan diri seperti kaum Badui karena benteng-benteng kota dan aparatur negara dapat melindungi mereka dari serangan luar dan karenanya tidak perlu adanya ikatan yang kuat di antara anggotanya. Ashabiyyah di kalangan masyarakat Badui Arab, dengan kata-kata lain, sama seperti benteng-benteng yang melindungi kota dari serangan luar.

Kelima, ashabiyyah terbagi menjadi ashabiyyah khusus dan ashabiyyah umum; ashabiyyah khusus biasanya didasarkan kepada ikatan nasab yang dekat sedangkan ashabiyyah umum didasarkan kepada ikatan nasab yang jauh. Bagi Ibnu Khaldun, Ashabiyyah umum terdiri dari beberapa ashabiyyah khusus.

Singkatnya, ashabiyyah itu didasarkan kepada prinsip keragaman dalam kesatuan dan prinsip persaingan dan konflik dalam sikap saling membantu dan saling membela antara anggotanya. Ashabiyyah kata Ibnu Khaldun tidak akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh kecuali jika beberapa ashabiyyah khusus ini saling bersaing dan memperebutkan kekuasaan dalam naungan ashabiyyah umum. Kendati demikian, ikatan ashabiyyah yang kuat ini mensyaratkan adanya kondisi tertentu yang Ibnu Khaldun sebut sebagai keruntuhan suatu negara atau kerajaan (haram ad-daulah).

Dengan demikian, ashabiyyah bagi Ibnu Khaldun merupakan sebuah keniscayaan karena dengannya manusia dapat membela diri dari serangan luar sekaligus dapat mendorong untuk berdirinya suatu negara. Ashabiyyah jenis ini jelas tidak dilarang dalam agama. Yang dilarang dalam agama ialah ashabiyyah yang membanggakan jalur nasab. Ashabiyyah ini dianggap sebagai ashabiyyah Jahiliyyah yang tidak ada pengaruh positifnya bagi kelangsungan hidup sebuah kabilah atau komunitas.

Kendati ashabiyyah merupakan penggerak bagi jatuh dan bangunnya negara dalam sejarah peradaban Islam, namun sebenarnya faktor ekonomilah yang sangat menentukan arah lajunya sejarah. Jadi Ibnu Khaldun sebenarnya menjangkarkan ekonomi sebagai satu-satunya faktor yang menggerakkan ashabiyyah dari dalam. Sejarah penaklukan Irak, Iran, Afrika Utara digerakkan oleh ashabiyyah Arab jika dilihat dari level permukaannya. Adapun jika kita melihat level dalamnya, kita akan melihat bahwa faktor ekonomi atau ghanimah lah yang menggerakkan kesadaran kolektif Arab untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain. Allahu A’lam.

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved