Merajut Perdamaian Lewat Sufisme

Perilaku keberagamaan sebagian masyarakat muslim modern cenderung terjebak pada perilaku yang bersifat sesaat dan instan.

Ada yang berkecenderungan memaksakan keyakinan atau paham tertentu untuk meletakkan bahwa doktrin dan ajaran yang diyakininya adalah satu-satunya yang bisa dijadikan landasan untuk menyelesaikan segala persoalan kehidupan.
Dan hasilnya, alih-alih menyuarakan ajaran-ajaran Islam, yang ada malah pemaksaan keyakinan. Tak jarang upaya pemaksaan paham itu dilakukan dengan emosi dan kekerasan dengan membawa semangat jihad, sehingga memunculkan penyakit-penyakit fobia (ketakutan obsesif) di masyarakat.

Disorientasi dalam menjalankan kehidupan beragama mungkin menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku keberagamaan masyarakat modern yang demikian. Sebab, perilaku yang cenderung memaksakan keyakinan dan pahamnya terhadap orang lain, bahkan dengan kekerasan, adalah pemasungan terhadap esensi ajaran agama.

Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan pesan-pesan agama. Sejak kelahirannya sebagai agama Ibrahimi, baik Kristen, Yahudi dan Islam, mengusung hal yang sama yaitu pembebasan dan perdamaian untuk umatnya. Dalam Islam misalnya, tak sejengkal hadis dan sepenggal ayat Alquran pun yang mengajarkan pada kejahatan dan keburukan.

Di zaman kehidupan di mana pertikaian sering terjadi, kebencian dan kemurkaan dipelihara, kekerasan dan penindasan ditanamkan, serta kejujuran dan kebenaran selalu diabaikan, kata perdamaian menjadi sesuatu yang sangat didambakan oleh setiap manusia. Apalagi berkembang dunia disesaki dengan tindak kekerasan, intoleransi, hingga lunturnya rasa kesadaran hidup bersama karena sikap egoisme dan individualisme.

Oleh karenanya, keberhasilan perdamaian dan ketenteraman kehidupan dunia sangat ditentukan oleh para pelaku agama, sejauh mana perilaku keberagamaan mereka mewakili pesan-pesan agama yang hakiki, bukan atas dasar tafsir-tafsir agama yang bersifat parsial. Selain juga penyelesaian berbagai persoalan tanpa kekerasan harus dilakukan secara konsisten oleh para penggiat perdamaian.

Ajaran sufisme mungkin bisa menjadi daya tawar yang menarik di tengah kehidupan masyarakat modern saat ini. Sufisme Islam mengusung satu kata kunci yaitu cinta, cinta kepada Tuhan dan cinta kepada sesama manusia. Melalui ruh cinta dan keindahan, sufisme senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai universal dan sangat menghargai pruralitas. Oleh karenanya, melalui kampanye cinta, nilai-nilai sufisme Islam sangat tepat dijadikan sebagai pendorong tercipta dan terbentuknya perdamaian dunia.

Sufisme sebenarnya bukanlah doktrin baru setelah Alquran dan hadis. Sufisme adalah ajaran yang berupaya mencari hakikat kebenaran yang sejati lewat jalan sendiri. Ajaran sufisme senantiasa menempatkan setiap peristiwa dalam kerangka takdir Allah dan menempatkan setiap usaha yang dilakukan dalam kerangka untuk mencari rida Allah.

Dialog dengan Tuhan
Puncak dari ajaran sufi adalah upaya mendekatkan diri pada Allah, intisarinya adalah munculnya kesadaran akan adanya hubungan atau komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhannya. Untuk sampai ke tahap puncak kesatuan dengan yang haq (benar), sufisme mengajarkan tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan jalan menuju ke kebenaran hakiki.

Tingkatan tersebut yaitu takhalli, upaya untuk menjauhkan diri dari berbuat buruk dan kejahatan atau berbuat dosa, kemudian tahalli, upaya menghiasi kehidupan dengan perbuatan baik, terakhir tajalli, puncak dari kesucian hati dan jiwa sehingga menyatu dengan sifat-sifat Tuhan dalam bertindak dan berbuat dalam kehidupan sesama.

Upaya membersihkan hati adalah kata kunci untuk menanamkan cinta dan perdamaian bagi sufisme Islam. Toleransi, rasa saling menghargai, saling menghormati, tolong menolong dan bersikap inklusif atas sesama paham dan ajaran hanya bisa direngkuh dengan semangat cinta, yaitu cinta kepada Tuhan yang kemudian termanifestasi pada perilaku yang mengarah pada cinta akan kedamaian antarsesama dalam kehidupan dunia. Bagi sufi, ideologi kekerasan lahir dan muncul dari hati yang kotor, yang jauh dari kata cinta, sehingga membentuk psikologi dan pemikiran yang mengarah pada tindakan-tindakan buruk, keras dan jahat.

Dalam konteks sufi, upaya mencegah perbuatan jahat hanya boleh dilakukan dengan mulut dan tangan tanpa melibatkan hati. Sebab hati adalah faktor utama pengambil sikap perilaku dan tindakan manusia. Jika hati manusia bersih maka dengan sendirinya tindakan dalam bentuk kejahatan ucapan maupun tindakan akan terhindarkan. Oleh karenanya, sufisme mengajarkan bahwa hati seharusnya hanya melihat persoalan yang terjadi sebagai takdir Tuhan.

Pelibatan hati dalam berbagai penyelesaian persoalan hanya akan membawa pada kemarahan dan kekerasan. Hal ini karena hati manusia masyarakat modern masih dipenuhi dengan kotoran, sehingga sangat jauh dari kesucian dan kelembutan sentuhan cinta dan kasih sayang. Sebab, hanya dengan cinta dan kasih sayanglah kedamaian untuk diri pribadi seseorang bisa didapatkan sekaligus kedamaian untuk alam semesta.

Manusia sebaiknya belajar pada bagaimana sikap dan kodrat laut. Laut adalah tempat berkumpulnya limbah dan sampah, namun ia tidak berubah, tetap tenang dan asin sebagaimana kodratnya. Hati yang suci adalah hati yang bersifat layaknya laut, tenang, toleran, terbuka dan menerima apa saja dengan hati yang lapang dengan penuh cinta dan kasih sayang.(YM)

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved