Merayakan Idul Fitri

Oleh : Husain Heriyanto (Dosen Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Jakarta)

Ucapan yang saling kita sampaikan kepada sesama kaum Muslimin pada Hari Raya Idul Fitri adalah minal ‘aidin wal faizin (Selamat kembali kepada fitrah dan memperoleh keberuntungan).   Tradisi ini mendidik kita untuk merayakan kondisi internal diri kita sebagai manusia yang telah kembali kepada fitrah dan kesucian.

 

Perayaan Hari Idul Fitri merupakan simbol kembalinya manusia kepada fitrahnya; dan  subyek peringatan dan perayaan itu adalah manusia itu sendiri, bukan hari 1 Syawal atau kegiatan-kegiatan seperti ritual Shalat Idul Fitri berjamaah, makan ketupat, adanya pakaian baru, dan seterusnya.

Yang menentukan apakah kita sungguh-sungguh termasuk orang yang layak merayakan Hari Raya Idul Fitri adalah kita sendiri, maksudnya segenap amal dan tindakan serta cara berada kita sendiri, bukan hal-hal di luar diri kita.  Dalam pengertian inilah mengapa Nabi Muhammad SAW bersabda : kullu yaumin la yu’sha fihillaah fa huwa ‘id (Hari-hari yang mana Allah tidak dimaksiati di dalamnya, itulah Hari Raya).

Dengan demikian, kita dapat menjadikan Hari Raya setiap hari sepanjang tahun atau sebaliknya, tidak ada Hari Raya selama bertahun-tahun; semuanya bergantung kepada cara hidup dan modus eksistensi kita.

Fitrah sebagai Penemuan Jati Diri

Kembalinya manusia kepada fitrah merupakan proses penemuan kembali jati dirinya sebagai manusia yang eksistensinya berasal dari Wujud Suci dan Wujud Murni.  Kembali kepada fitrah adalah ungkapan akan tumbuhnya kesadaran asasi sebagai manusia dengan segala potensi kemanusiaannya serta tugas dan tujuan hidup.  Proses penemuan jati diri adalah proses penyadaran-diri dan pengenalan-diri.

Menurut Murtadha Muthahhari, tugas para nabi adalah menggubah sejenis kepekaan pada diri manusia ke arah eksistensi sebagai suatu keseluruhan serta memancarkan kesadaran-dirinya sepenuhnya kepada manusia.

Mereka,” kata Muthahhari, “berusaha membangkitkan kecakapan-kecakapan alami (asasi) manusia dan mencerahkan naluri-naluri (potensi-potensi, fitrah) gaib serta cinta-kasih yang tersembunyi pada eksistensi manusia.”

Dengan demikian, proses kembali kepada fitrah sebagai upaya penemuan jati diri merupakan prototipe tugas kenabian, dan kita semua memiliki nabi bathin pada kedalaman eksistensi diri kita sendiri untuk menjalankan tugas mulia tersebut.

Salah satu bentuk proses pengenalan-diri adalah penyingkapan hakekat jati diri  kita sebagai manusia yang mengemban suatu tugas ilahi, atau menurut istilah Jalaluddin Rumi, mengemban Amanat Ilahi.

Dalam Surat Al-Ahzab ayat 72 disebutkan bahwa hanya manusialah yang sanggup mengemban Amanat Ilahi tersebut meskipun kebanyakan manusia itu zhalim dan jahil.  Sesungguhnya telah kami tawarkan amanat ini kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk mengembannya dan takut kalau-kalau mereka mengkhianatinya.  Maka manusialah yang menyanggupinya, sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan bodoh (Q.S. Al-Ahzab: 72).

Menurut seorang sufi, Al-Jilli (w. 1406), bentuk kezaliman yang dilakukan manusia itu adalah mengabaikan dan melupakan Amanat Ilahi itu sebagai tugas utama mengarungi kehidupan ini.

Kebanyakan manusia enggan memikul Amanat Ilahi itu karena menuntut kesungguhan dirinya untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya, seperti pengetahuan, kearifan, kesucian, keberanian, kasih sayang, keadilan, kesabaran, dan sebagainya  yang kesemuanya itu merupakan manifestasi asma-asma Tuhan dalam dirinya (takhallaqu bi akhlaqillah). 

Sedangkan bentuk kejahilan manusia adalah ketidaksadaran dirinya tentang potensi-potensi dirinya yang sungguh luar biasa melampaui perkiraan kita umumnya.

Melalui puasa Ramadhan yang disertai dengan segenap rangkaian ibadah dan amal shaleh kita tengah melakukan sebuah transformasi jiwa.

Diantaranya, puasa menumbuhkan kesadaran akan potensi diri yang sebelumnya tidak kira sadari.  Puasa menyadarkan kita bahwa ternyata potensi diri kita melebihi apa yang kita anggap sebelumnya; bahwa kita mampu menahan lapar dan haus selama 14-16 jam tanpa jatuh sakit, padahal biasanya terlambat makan 3-4 jam saja kita masuk angin dan sakit maag.

Dengan refleksi sedikit kita temukan bahwa terdapat potensi kita yang selama ini tidak terpakai dan tertidurkan, yaitu potensi kehendak (iradah) yang mampu melawan keinginan-keinginan biologis-alamiah.

Kita juga sadari bahwa akal pikiran dan hati nurani selama ini tidak begitu diperhatikan, kita biarkan potensi khas kemanusiaan itu tumpul, jumud, dan beku karena rutinitas sehari-hari.

Kita tersadarkan bahwa dengan kehendak, kearifan, dan kepekaan nurani ternyata kita mampu menanggalkan dosa-dosa dan kelemahan-kelemahan moral yang selama ini telah menghiasi kehidupan kita.

Melalui praktek pengendalian diri  dan pensucian jiwa (tazkiyah an-nafs) dari karat-karat  dan lemak-lemak dosa, muncul kebeningan diri yang membawa cahaya harapan bahwa : “aku mampu menaklukkan dorongan-dorongan hewani dan egoistik, dan kini aku siap menjadi manusia baru dengan semangat baru dan harapan baru menjalani kehidupan yang lebih baik”.

Puasa membakar pesimisme dan keputusasaan.  Puasa menciptakan optimisme akan kemampuan diri untuk meninggalkan dosa, bahkan menghapus dosa sama sekali, dan bersiap melakukan transformasi diri secara total.  Sebuah revolusi diri telah terjadi !

Menuju Manusia Sejati

Melanjutkan refleksi di muka, muncul kesadaran baru pada diri kita bahwa ternyata selama ini kita hidup pada pinggiran eksistensi kita belaka, jauh dan menjauh dari pusat eksistensi kita sendiri.  Ketika disadari bahwa akal, hati nurani dan kehendak merupakan potensi khas kemanusiaan kita, tiba-tiba kita tersentak : “aku selama ini hidup pada pinggiran eksistensiku” yang hanyut oleh dorongan-dorongan biologis, konsumeristik, amarah, sentimen-egoistik.

Kita tersadarkan bahwa selama ini cara berada kita menjauh dari kearifan akal sehat, kepekaan hati nurani dan kekuatan kehendak, yang ketiga hal ini justru merupakan potensi-potensi  khas kemanusiaan kita.

Sayangnya, peristiwa yang menakjubkan ini jarang kita lanjutkan sebagai bahan refleksi terhadap potensi-diri-kemanusiaan kita, dan terlewat begitu saja untuk kembali jatuh ke dalam kebiasaan sebelum puasa.

Salah satu contoh kejahilan kita selama ini dalam pengenalan-diri adalah  adanya keyakinan yang keliru tentang watak manusia yang kerap kita sebutkan sebagai makhluk yang tempatnya kesalahan dan kealpaan.

Banyak di antara kita meyakini sebuah pepatah Arab sebagai hadis yang berbunyi : al-insanu mahallu al-khatha-i wannis-yan ( Manusia itu adalah tempat kesalahan dan kealpaan).

Pepatah yang kerap disebut hadis ini selama ini telah begitu merasuk ke dalam kesadaran kita dan mungkin juga telah bersemayam dalam alam bawah sadar kita.  Kesalahan mendasar terhadap pemahaman watak manusia ini telah meninabobokkan kita selama ini untuk bergelimang dengan berbagai kelemahan moral dan kebiasan buruk seperti malas, tidak bertanggung jawab, keengganan untuk perbaikan diri, dan sebagainya.

Pepatah yang diklaim hadis ini, bahkan, kerapkali digunakan untuk menjustifikasi dan melegitimasi kesalahan dan keburukan akhlak kita.

Kita sering berlindung dengan pepatah ini, dan pada gilirannya makin menjatuhkan diri kita sebagai manusia yang tidak bersedia bertanggung jawab, baik sebagai manusia, sebagai guru, sebagai pelajar, sebagai ulama, dan terlebih sebagai pemimpin.

Jangan-jangan karena keyakinan yang keliru inilah yang menjadikan para pemimpin kita selama ini kurang atau tidak bertanggung jawab menjalankan tugas-tugasnya guna melayani kepentingan rakyat dan bangsanya.

Dengan demikian, salah satu tanda keberhasilan orang yang layak merayakan Hari Raya Idul Fitri adalah tumbuhnya kesadaran akan potensi-potensi kemanusiaannya yang begitu luar biasa.

Dia menyadari akan tugas-tugas mulianya sebagai manusia, sadar akan asal dan pusat eksistensinya, sadar akan Amanat Ilahi yang ia emban.

Kesadaran asasi kemanusiaan ini mendorong seseorang untuk berjuang keras memacu dan mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya dengan segenap cara beradanya menuju kesempurnaan, menuju Yang Maha Sempurna.  Itulah manusia sejati.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved