Militer AS Tarik Pasukan dari Afghanistan, Giliran PBB Ambil Alih Kekosongan

Terlepas dari pro dan kontra, militer Amerika Serikat tetap akan meninggalkan Afghanistan. Para pendukung penarikan militer AS dari Afghanistan  berpendapat bahwa AS telah melakukan semua hal terbaik yang dilakukannya secara militer di negara ini. Dan sejatinya, AS memiliki kepentingan keamanan yang lebih penting di tempat lain ketimbang di Afganistan. Selain itu, jika tetap tinggal di Afganistan, AS lebih banyak mendapatkan kerugian daripada keuntungannya.

Namun, di sisi lain,  para kritikus kebijakan penarikan militer AS mengatakan kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan AS di Afghanistan justru akan menyalakan kembali api perang saudara dan melapangkan jalan bagi munculnya gerakan pembersihan etnis, diskriminasi gender, dan kegagalan negara ini dalam mengatasinya.

Kedua pandangan yang saling berseberangan ini, yakni antara pro penarikan dan anti penarikan militer, masing-masingnya memiliki nilai lebih dan kurangnya bagi AS. Namun saat ini, pilihannya bukan lagi soal kelebihan dan kekurangan masing-masing pandangan pihak yang pro dan yang kontra.

Sedari awal harus diakui bahwa pembangunan yang didukung AS di Afghanistan tidak begitu berdampak besar. Dan bisa diprediksi pula bahwa kekosongan kekuasaan dan kerapuhan negara di Afghanistan akan melahirkan pemberontakan, ketidakstabilan, dan kejahatan transnasional.

Meski semua itu bisa saja terjadi, nyatanya yang dibutuhkan Afghanistan sekarang bukanlah kehadiran militer AS untuk beberapa lamanya atau kekuatan militer yang berasal dari gabungan kekuatan eksternal di Afghanistan. Sebaliknya, yang dibutuhkan Afghanistan saat ini adalah kekuatan Pasukan Penjaga Perdamaian internasional yang solid, pembangunan perdamaian dan misi penegakan perdamaian di bawah naungan PBB. AS harus berkontribusi untuk misi ini meski kendali militer tetap harus diserahkan kepada komunitas internasional, bukan AS.

Pasukan Penjaga Perdamaian merupakan pasukan multilateral yang diberi mandat untuk beroperasi dengan persetujuan kedua belah pihak yang sedang bertikai di suatu negara tertentu. Pasukan ini diberi mandat untuk memberikan keamanan, menegakkan perdamaian dan melindungi warga sipil ketika suatu negara tertentu sedang membangun kembali dirinya sendiri pasca konflik. Seringkali kehadiran pasukan ini dilakukan sebagai upaya untuk membangun perdamaian secara lebih luas dengan melibatkan badan-badan sipil PBB dan organisasi non pemerintah. Pasukan Penjaga Perdamaian itu sendiri menggunakan kekuatan militer hanya untuk membela diri atau membela warga sipil.

Tidak seperti misi kontra pemberontakan yang cenderung mendukung pihak pemerintah, Pasukan Penjaga Perdamaian PBB tetap netral secara politik. Mereka berkomitmen hanya untuk melindungi warga sipil dari kedua pihak yang sedang bertikai. Mereka melakukan kekerasan hanya untuk membela warga sipil. Sementara itu, mereka memiliki fungsi penting dalam mengamati proses perdamaian, sehingga memungkinkan pihak yang bertikai dapat mengatasi kesenjangan informasi dan masalah komitmen.

Misi penjaga perdamaian PBB bekerja tidak seperti pasukan kontra pemberontakan milik AS. Virginia Page Fortna, seorang profesor di Universitas Columbia, telah mempelajari 47 misi perdamaian dalam konteks 115 periode perdamaian setelah konflik. Fortna menemukan perdamaian berlangsung secara lebih lama dengan kehadiran misi perdamaian PBB.

Menurut ilmuwan politik Hanne Fjelde, Lisa Hultman dan Desiree Nilsson dari Universitas Uppsala, misi penjaga perdamaian juga memiliki potensi yang cukup untuk mengurangi kekerasan terhadap warga sipil daripada operasi kontrateror selama 20 tahun yang telah dilakukan AS di Afghanistan. Karena banyak negara yang terlibat memikul beban pendanaan dan rotasi pasukan, misi Pasukan Penjaga Perdamaian juga dapat memiliki daya tahan kekuatan yang lebih besar.

Lise Howard, seorang profesor di Universitas Georgetown, berpendapat bahwa Pasukan Perdamaian dari PBB lebih efektif melawan konflik daripada melawan pemberontakan. Sebab, cara penjaga perdamaian membuat pihak yang bertikai mengubah perilaku mereka, terutama menghentikan pertempuran.

Alih-alih menggunakan kekuatan paksa melawan pemberontak, seperti yang dilakukan AS, Pasukan Penjaga Perdamaian dapat memengaruhi kedua pihak yang terlibat konflik. Pasukan Penjaga Perdamaian dapat melakukannya dalam tiga cara: bujukan verbal, bujukan keuangan, dan paksaan selain kekuatan militer ofensif, termasuk pengawasan dan penangkapan.

Diperkuat dengan adanya keterlibatan elemen internasional lainnya seperti gerakan hak asasi manusia, lembaga kemanusiaan dan pembangunan, dan LSM, Pasukan Penjaga Perdamaian dapat menciptakan keamanan yang berkelanjutan di masyarakat pasca konflik. Mereka dapat menciptakan kondisi adanya ruang bagi perdamaian secara berkelanjutan.

Yang terpenting, Pasukan Penjaga Perdamaian dapat juga membantu mengatasi dinamika konflik yang menghalangi perjanjian perdamaian atau mengatasi berbagai macam faktor-faktor batalnya perjanjian. Barbara Walter, dari University of California-San Diego telah menunjukkan dengan menarik bahwa untuk menghentikan perang saudara, sedikitnya ada dua masalah tawar-menawar yang serius: pertama, asimetri informasi, karena masing-masing pihak terdorong untuk melakukan distorsi informasi, dan kedua, kesulitan dalam melakukan penyelesaian secara kredibel, ketika para pihak sebelumnya telah membelot dari perjanjian. Analisis Elizabeth Menninga dan Alyssa Prorok tentang berbagai konflik di Afrika menunjukkan bahwa keterlibatan pihak ketiga adalah kunci untuk menyelesaikan masalah informasi dan komitmen semacam ini.

Dalam makalah baru baru ini di Journal of Indo-Pacific Affairs, Mayor Ryan C. Van Wie dari Angkatan Darat AS berpendapat bahwa misi penjaga perdamaian PBB di Afghanistan dapat menyelesaikan masalah serupa yang saat ini menghambat penyelesaian antara pemerintah Afghanistan dan Taliban dengan menyediakan perantara yang tidak memihak untuk memantau kepatuhan dan mengurangi perselisihan, dengan demikian membantu membangun kepercayaan.

Seperti yang dikemukakan A. Walter Dorn, misi semacam itu dapat memanfaatkan dan membangun bentuk-bentuk resolusi konflik penduduk asli Afghanistan, sehingga memecah pemberontakan dan membawa banyak pihak ke meja perundingan.

Dibandingkan dengan misi kontra pemberontakan AS atau misi pembangunannya di Afghanistan, Pasukan Penjaga Perdamaian PBB mungkin juga tampak lebih ringan bebannya bagi pejuang Taliban karena mereka mewakili komunitas internasional, yang terdiri bukan hanya dari kekuatan Barat.

Pasukan yang membentuk misi penjaga perdamaian berasal dari seluruh dunia, tetapi banyak negara penyumbang pasukan besar berasal dari Dunia Selatan, dan komposisi pasukan untuk misi tertentu dapat disesuaikan dengan dinamika budaya lokal. Sebuah misi ke Afghanistan, misalnya, mungkin mencakup sejumlah besar pasukan dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Bangladesh, sehingga tidak terlalu mengingatkan pada imperialisme Barat.

Misi PBB ini bukannya tanpa kekurangan. Seperti yang ditunjukkan Severine Autesserre dari Universitas Columbia dalam bukunya Peaceland, PBB dapat menciptakan ruang internasionalisme yang dikelilingi oleh lautan perselisihan lokal yang menutup diri dari masyarakat yang mereka layani dan merendahkan keahlian lokal serta cara mengetahui melalui kebiasaan sehari-hari mereka.

Masuknya kekayaan ekspatriat ke dalam ekonomi pasca-konflik selain dapat menciptakan peluang kerja, pendidikan, dan internasionalisasi, tetapi juga dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuatan dan kebencian. Ini adalah masalah yang bisa ditangani, dan seiring waktu sistem PBB akan dapat mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Selain itu, tantangan ini merupakan harga kecil yang harus dibayar untuk keuntungan yang ditawarkan oleh misi perdamaian: membangun kepercayaan, pemantauan, perlindungan sipil, pelatihan polisi, pendidikan dan pengembangan budaya hak asasi manusia.

Jadi mengapa belum ada misi penjaga perdamaian PBB di Afghanistan? Beberapa orang akan mengatakan ada dan telah ada — Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afghanistan, atau UNAMA. Tapi itu bukan misi penjaga perdamaian yang sebenarnya, karena tidak ada pasukan penjaga perdamaian. UNAMA adalah kantor politik kecil yang melakukan beberapa advokasi hak asasi manusia, tetapi UNAMA bukanlah pasukan polisi atau militer. Yang membedakan pasukan penjaga perdamaian dari misi sipil PBB lainnya adalah kekuatan senjata yang siap digunakan untuk melawan salah satu pihak jika perlu.

Penjaga perdamaian memberikan kapasitas untuk melindungi warga sipil dari serangan secara netral dan untuk menanggapi ancaman keamanan yang diperlukan. Kantor seperti UNAMA akan bekerja paling baik jika didukung oleh misi penjaga perdamaian atau penegakan perdamaian serta infrastruktur internasional yang lebih luas untuk pembangunan perdamaian.

Agar efektif, misi semacam itu membutuhkan pasukan yang cukup. Van Wie menyarankan setidaknya 5.000, dengan satu batalion yang berbasis di Kabul dan resimen di tiga kota besar lainnya. Van Wie juga menambahkan bahwa misi 25.000 pasukan yang menjangkau di seluruh pelosok negeri akan dapat mencapai kemungkinan sukses tertinggi.

Namun pengiriman pasukan seperti ini juga membutuhkan mandat yang kuat. Menurut ilmuwan politik Universitas Ohio dan mantan penjaga perdamaian Kofi Nsia-Pepra, mandat yang kuat merupakan satu-satunya alat ukur terbaik untuk keberhasilan misi tersebut. Dan di atas semuanya, misi ini butuh uang. Berbagai solusi yang ditawarkan Van Wie ini tentunya akan menelan biaya antara $ 500 juta dan $ 2 miliar per tahun, tetapi jumlah ini jelas sangat kecil dibandingkan dengan biaya tahunan keterlibatan militer AS di Afganistan ini.

Yang penting, karena penjaga perdamaian bergantung pada persetujuan dari pihak-pihak yang ingin dijaga perdamaiannya, baik pemerintah Afghanistan maupun Taliban harus sepakat dalam mengajak PBB untuk menyebarkan misi tersebut. Meskipun kesepakatan ini mungkin tampak tidak masuk akal, ingatlah bahwa di mata oposisi Taliban, pasukan asing sebagian besarnya dianggap sebagai "imperealis Barat". Namun keterlibatan negara-negara Islam untuk mengirimkan pasukan perdamaiannya mungkin saja bisa meminimalisir konotasi PBB dengan Barat.

Namun, untuk mengubah ide ini menjadi kenyataan, bahkan sebelum mulai merundingkan persetujuan dari para pihak, Dewan Keamanan pada awalnya harus sepakat untuk membentuk dan mendanai misi semacam itu. Sebagai anggota tetap dewan, AS dapat berkontribusi pada persoalan ini. Ini juga merupakan kesempatan bagi pemerintahan Biden untuk menutupi kekurangan pada pemerintahan sebelumnya.

Upaya semacam itu mungkin nilainya terlalu besar tidak hanya dalam menjaga perdamaian, tetapi juga dalam menjadikan perdamaian dapat terealisasikan. Dan AS yang mundur dari keterlibatan militernya di Afghanistan akhirnya membuka peluang bagi terwujudnya perdamaian ini.

 

Penulis: Charli Carpenter, professor Ilmu Politik dan Hukum Universitas Massachusetts-Amherst

Diterjemahkan dari https://www.worldpoliticsreview.com/articles/29632/after-us-war-afghanistan-peacekeeping-mission-deserves-a-chance

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved