Muawiyah bin Abi Sufyan, Sahabat yang Mengikuti Sunnah Nabi dalam Bertoleransi dengan Non-Muslim

Muawiyah bin Abi Sufyan, pendiri negara Bani Umayyah, adalah seorang sahabat Nabi yang memiliki insting dan kejeniusan politik yang luar biasa.

Jika dalam urusan ijtihad keagamaan di kalangan sahabat, kita mungkin bisa menjagokan Ali bin Abi Thalib. Dari ratusan ribu jumlah sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib bisa kita posisikan sebagai sosok yang paling mengagumkan dalam berijtihad soal teks-teks agama. Kebijakan-kebijakan Umar bin al-Khattab yang dikenal kontroversial karena melawan makna lahir al-Quran dan Sunnah tidak lain sebenarnya merupakan masukan dan saran Ali bin Abi Thalib.

Secara singkatnya, dalam pemahaman agama, Ali bin Abi Thalib melampaui kecerdasan para sahabat lain. Bahkan dalam satu riwayat disebutkan bahwa jika Nabi Muhammad SAW diibaratkan sebagai kota ilmu, maka Ali bin Abi Thalib ialah gerbangnya. Terlepas dari sahih atau tidak sahihnya riwayat ini, yang jelas kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan sosok cendekiawan/intelegensia dari kalangan sahabat Nabi yang sangat mengerti betul ajaran-ajaran syariat.

Selain seorang intelegensia, Ali bin Abi Thalib ialah sosok agamawan yang berusaha menundukkan logika politik di bawah nilai-nilai ideal agama. Sayangnya, prinsip beliau yang seperti ini malah menjerumuskannya ke dalam kegagalan. Berkaca dari sepupu Nabi ini, kedalaman pemahaman agama ternyata belum tentu mengantarkan seseorang kepada kesuksesan karir dalam dunia politik. Ali gagal. Demikan juga anaknya, Sayyyiduna as-Syahid, Imam al-Husain pun gagal. Mereka ini merupakan contoh bagaimana semangat untuk menerapkan nilai-nilai keagamaan harus dibarengi dengan pembacaan peta politik yang cerdas. Contoh ini tidak ada pada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Contoh ini malah ditemukan pada sepupu Bani Hasyim, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan dari Bani Umayyah.

Dalam urusan taktik dan strategi bermanuver dalam dunia politik, Muawiyah bin Abi Sufyan  jauh melebih Ali bin Abi Thalib. Sejarah mencatat bahwa Bani Umayyah dan aliansinya seperti Bani Khuzaimah dan Bani Tsaqif merupakan suku-suku Arab yang terkenal dengan kelihaiannya dalam berdagang dan berbirokrasi. Sementara Bani Hasyim hanya kuat dalam tradisi beragama. Singkatnya Bani Umayyah itu sangat jago dalam urusan dunia sedangkan Bani Hasyim jago dalam urusan agama.

Karena itu, ketika terjadi konflik antara Bani Umayyah yang diwakili oleh Muawiyah dan Bani Hasyim yang diwakili oleh Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa Siffin, secara politik Muawiyah dengan berbagai maneuver-manuvernya mampu mengalahkan Ali bin Abi Thalib sampai-sampai tampuk kekhilafahan jatuh ke tangan dirinya. Karena urusan politik mensyaratkan kelicikan (al-harb khid’ah), Ali bin Abi Thalib tidaklah memiliki sifat seperti itu sehingga ia tidak mampu mengatasi konflik internal di kalangan tentara pendukungnya yang terdiri dari berbagai macam suku-suku.

Namun terlepas dari kelihaiannya dalam menggunakan jurus-jurus jitu dalam berpolitik, dalam usahanya membangun kembali negara bersemangat Islam seperti yang pernah dirintis oleh Nabi dan dilanjutkan oleh Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab lalu hancur di masa Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan mencontoh kebijakan-kebijakan Nabi dalam berurusan dengan warganegara yang non-muslim, yakni bersikap toleran.

Dalam catatan sejarah yang dikumpulkan at-Tabari dan al-Mas’udi, karena toleransinya yang luar biasa terhadap non-muslim dan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diberi tempat di masanya (selagi tidak menghunuskan pedang), Muawiyah bin Abi Sufyan diberi julukan al-Mustanir as-Samah (khalifah yang tercerahkan nan toleran). Konon dalam catatan sejarah juga, istrinya yang bernama Maysun binti Bahdal al-Kalbiyyah adalah wanita Kristen. Lebih dari itu, mulai dari sekretaris negara, menteri keuangan, dokter sampai ke para penyair istana, semuanya berasal dari yang beragama Kristen.

Di masa Muawiyah dan beberapa khalifah setelahnya, sang khalifah membebaskan pembangunan gereja dan bahkan memberikan dana negara untuk pembangunan tersebut. Selain itu, dalam Tarikh Suriah wa Lubnan wa Filistin, tercatat pula bahwa Muawiyah pernah mengangkat gubernur wilayah Homs dari kalangan non-muslim. Gubernur tersebut bernama Ibnu Atsal. Gubernur Homs ini beragama Kristen.  Dalam kitab al-Isyarah ila Man Nala al-Wizarah karya Ibnu As-Shoirafi, kita akan temukan bahwa dalam sejarah Islam, banyak sekali pejabat-pejabat dari kalangan non-muslim yang menduduki posisi-posisi penting dimulai dari wazir, gubernur sampai ke struktur negara paling rendah.

Bayangkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh agama kita semisal Habib Rizieq Syihab yang kekeuh mempertahankan ketidakbolehan memilih gubernur non-muslim dengan dalih al-Maidah ayat 51, Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang sahabat Nabi, malah justru menunjukkan toleransinya dengan menunjuk gubernurnya untuk wilayah Homs ini dari kalangan non-muslim. Di masa kita ini, banyak sekali gereja dan tempat peribadatan lainnya dirusak dan dibom, Muawiyah dengan mengikut perjanjian Nabi dengan Kristen Najran malah membantu pembangunan tempat peribadatan.

Saking tolerannya di masa ini, penganut Kristen dari aliran Maruniyyah dan penganut Kristen dari aliran Suriah Ortodoks ketika lama berpolemik soal proses menyatunya tabiat ketuhanan dan tabiat kemanusiaan dalam diri Yesus meminta Muawiyah untuk menerbitkan surat keputusan untuk memilih mana pandangan yang sekiranya dianggap resmi oleh negara. Polemik ini sudah lama terjadi di beberapa ratus tahun sebelumnya, yakni terjadi pada masa konsili Chaldean tahun 451 masehi.

Dua aliran Kristen ini meminta Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menerbitkan surat keputusan. Akhirnya Muawiyah menerbitkan keputusan yang mendekritkan pandangan sekte Kristen Maruniyyah. Kendati demikian, Muawiyah seolah ingin menjaga keseimbangan dan keadilan di kalangan rakyatnya, memberikan dana pembangunan gereja-gereja di wilayah Homs, Hama dan Ma’rah Nu’man yang berafiliasi ke aliran Kristen Suriah Ortodoks, sekte Kristen yang kalah dalam berarbitrasi dengan sekte Maruniyah di hadapan Muawiyah. Ada kata-kata  menarik dari Esoyahb Patriarch III, pimpinan gereja Katolik Babilonia, seperti yang dikutip dalam al-Masihiyyah al-Arabiyyah wa tatawwuratuha dari Liber Epistularum:

إنهم ليسوا أعداء النصرانية، بل يمتدحون ملتنا، ويوقرون قسيسينا وقديسنا، ويمدون يد المعونة إلى كنائسنا وأديرتنا

“Mereka (umat Islam) bukanlah musuh bagi Kristen. Mereka bahkan memuji agama kita, menghormati pendeta-pendeta dan santa-santa kita, dan memberikan dana bantuan untuk gereja dan  biara-biara kita.”

Kenyataan historis ini seharusnya kita jadikan pegangan bahwa Islam sangat menghormati eksistensi agama lain, terutama tempat-tempat peribadatan serta mengecam semua bentuk aksi dan tindakan yang dapat menghancurkan tempat-tempat ibadah tersebut. Bahkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 114 mengecam orang-orang yang ingin menghancurkan tempat-tempat peribadatan dan mencapnya sebagai orang yang paling zalim. Karena itu, fenomena pengeboman gereja dan tempat ibadah lainnya oleh sebagian muslim sebagai wujud kecintaan mereka kepada Islam sangatlah tidak otentik dan tidak berasal dari sunnah Nabi dan sunnah para sahabatnya.

Jadi saudaraku, sunnah itu tidak melulu soal penampilan fisik seperti memelihara jenggot, mencingkrangkan celana, atau soal relasi biologis memperbanyak istri seperti poligami. Ini sunnah yang kelasnya ecek-ecek. Jika kita berfokus pada yang ecek-ecek seperti ini dalam menjalankan sunnah dengan mengabaikan sunnah-sunnah lainnya yang bernilai lebih besar, sama saja kita tidak menghargai ajaran Nabi.

Sunnah itu membangun peradaban Islam, yang salah satunya ialah menjaga kerukunan umat beragama, mengawasi kinerja pemerintah agar tidak korupsi, tidak otoriter, menjalankan keseimbangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Itulah salah satu sunnah Nabi.  Allahu A’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved